Teori-teori Utama Foreign policy adalah Realisme Neorealisme Idealisme Liberalisme Neoliberalisme Marxisme Teori dependensi Teori kritis Konstruksivisme Fungsionalisme Neofungsiionalisme
Secara garis besar teori-teori foreign policy dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologis “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” foreign policy adalah tidak mungkin.
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif terhadap foreign policy, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam foreign policy “tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama periode akforeign policyr 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga.
Pengertian Konstruktivisme (Sosial konstruktivisme)
Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior),sedangkan konstruktivisme sosial muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan intelektual atas neorealisme dan liberalisme. Teori ini muncul sebagai penjembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori.
Konstruktivisme sosial berada pada posisi tengah antara meanstream utama realisme, neorealisme, liberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan teori, konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan postmodernisme. Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut pandang antara kaum rasionalis dan reflektivis (Zehfuss : 252). Dengan demikian, konstruktivisme sebenarnya mencoba memposisikan dunia material tidak independen tetapi selalu berinteraksi dengan dunia sosial dalam konteks sentral intersubyektivitas dalam memposisikan mazhabnya sebagai penengah dari berbagai teori HI.
Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia. Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya alamiah dan tidak juga sepenuhnya nihil. Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh fakta yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).
Kritik Konstruktivisme terhadap Neoliberal & Neorealis
Kritik terhadap neoliberalisme
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor
Dalam kelanjutannya mengenai teori konstruktivisme, kritik terhadap rasionalisme tentu secara tidak langsung turut membantu konstruktivisme dalam mebangun dan mengembangkan teorinya. Kritik terhadap salah satu teori yang rasional, yaitu neoliberalisme. Secara mendasar, ada tiga asumsi orang-orang neoliberal yang dipersoalkan oleh orang-orang konstruktivis. Asumsi-asumsi itu adalah, pertama, neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara ter-generasikan oleh sistem anarki internasional. Yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor
Kritik terhadap neorealisme
Neorealisme menurut pandangan Konstruktivisme adalah matrealistis,yang dimaksudkan disini adalah power (kekuatan militer) dan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh suatu negara sebagai pembentukan identitas yang dimiliki, tentu hal ini sangat bertentangan dengan konstruktivisme. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neoliberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neorealis dan neoliberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan
Asumsi dasar Konstruktivisme
Pandangan tentang negara
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap rekannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Pandangan Konstruktivisme mengenai negara menurut Alexander Wendt adalah sebagai berikut :
(1) Negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik internasional
(2) Struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif, daripada bersifat material
(3) Identitas dan kepentingan negara lebih membangun struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.
Pandangan anarki dalam sistem Internasional
“Anarki adalah hal yang diciptakan oleh negara-negara dari hal tersebut”. Yang dimaksudkannya adalah bahwa struktur anarkis yang diklaim oleh para pendukung neo-realis sebagai mengatur interaksi negara pada kenyataannya merupakan fenomena yang secara sosial dikonstruksi dan direproduksi oleh negara-negara. Sebagai contoh, jika sistem internasional didominasi oleh negara-negara yang melihat anarki sebagai situasi hidup dan mati (diistilahkan oleh Wendt sebagai anarki “Hobbesian”) maka sistem tersebut akan dikarakterkan dengan peperangan. Jika pada pihak lain anarki dilihat sebagai dibatasi (anarki “Lockean”) maka sistem yang lebih damai akan eksis. Anarki menurut pandangan ini dibentuk oleh interaksi negara, bukan diterima sebagai aspek yang alami dan tidak mudah berubah dalam kehidupan internasional seperti menurut pendapat para pakar HI non-realis. Para pendukung pasca-positivis mengatakan bahwa fokus terhadap negara dengan mengorbankan etnisitas/ras/jender menjadikan konstrukstivisme sosial sebagai teori positivis yang lain.Bagi Wendt, tidak ada logika anarki, tetapi anarki adalah sebuah efek dari praktik pemikiran konstruktivis reguler “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara”
Peranan Ide dalam Hubungan Internasional
Bagi perkembangan hubungan internasional teori mengenai konstruktivisme memberikan suatu “brainstorming” bagi teori-teori yang lainnya. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai perantara antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup diperhitungkan ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara.
Pandangan tentang perang dan damai
Konstruktivisme memberikan sumbangan untuk mengkaji persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan memberikan pemahaman bagi negara untuk merespon kondisi sekitarnya. Konstruktivisme beranggapan bahwa perang terjadi akibat adanya pilihan secara sadar dari suatu negara.Interaksi yang terjadi antar negara saling mempengaruhi sistem internasional.Perang tetap dapat terjadi atas dasar keputusan negara,sedangkan keputusan yang telah dibuat negara dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan yang dimiliki oleh negara tersebut. Faktor penyebab perang datang dari berbagai aspek mulai dari ekonomi,politik dan sosial
Pandangan tentang Individu
Dalam teori Konstruktivisme Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.
Varian-varian Konstruktivisme
Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama, konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik.
- Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan neorealis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. (Alexander Wendt, Anarchy is what states make of it ,1992).
- Konstruktivisme Level unit berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini, Katzenstein berusaha menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda.( Peter Katzenstein, Cultural Norms and National Security: Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999))
- konstruktivisme holistik berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini, gagasan, norma maupun budaya dipahami memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia.
· Realisme sebagaimana seperti sebuah teori yang lain, memiliki landasan pemikiran yang mendasar. Realisme sejak pertama muncul sebagai sebuah teori terus mangalami perubahan, terutama perubahan dalam memahami konsep dasar, mulai dari teori realisme klasik yang dikemukakan oleh Thucydides pada tahun 430-400 sebelum masehi sampai dengan teori neorealisme yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz pada tahun 1979 masehi.
· Seiring perkembangan dalam studi Hubungan Internasional, maka terjadi pula perkembangan atau mungkin juga perubahan dalam teori realisme. Realisme klasik sebagai teori realisme yang pertama muncul secara perlahan kemudian berkembang dan berubah menjadi teori neorealisme. Dalam realisme klasik dan neoklasik, pandangan subjektif dari para pemimpin negara merupakan pusat perhatiannya. Realisme klasik begitu menekankan pada asumsi dasar manusia yang bersifat pesimis dan skeptis. Bahkan Morgenthau merincikannya bahwa manusia itu jauh lebih mementingkan dirinya sendiri. Namun sebuah teori realisme baru pada tahun 1979 muncul dengan pendekatan yang berebeda dari realisme klasik dan neoklasik. Teori itu dinamakan teori neorealisme yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz. Kenneth Waltz memfokuskan pada struktur sistem dan bukan pada manusia sebagai pencipta dan pengoperasi sistem.
· Inti dari ajaran realisme adalah mengenai keamanan dan kelangsungan hidup negara dimana hal ini semua dirangkum dalam satu kata yang disebut “power”. Perbedaan pendekatan mengenai gambaran power inilah yang akhirnya membedakan aliran teori realis. Ketika para penganut teori realisme klasik dan neoklasik berpendapat bahwa sesungguhnya power itu adalah kekuatan militer, maka pro kontra mucul sebagai bagian dari kritik terhadap realisme klasik dan neoklasik. Perkara mengenai kekuatan militer sebagai power tidak dibenarkan seluruhnya oleh para penganut realisme lain. Neorealisme muncul sebagai pembenahan dari pendekatan realis klasik mengenai power tersebut. Neorealisme melihat power bukan hanya sekedar kekuatan sumber daya militer tetapi juga dengan kemampuan memaksa dan mengontrol negara lain yang berada dalam sistem, Adapun perbedaan mendasar lainnya antara realisme klasik dan kontemporer, yaitu sikap negara menghadapi kondisi anarkis. Bagi realis klasik, sistemlah yang akhirnya menciptakan kondisi anarkis tersebut. Namun sangat berbeda dengan neorealis yang melihat bahwa kondisi anarkis itu adalah sistem itu sendiri. Maksudnya seperti ini, dalam persepsi realis klasik, interaksi yang tercipta dan diciptakan oleh aktor-aktor hubungan internasional -seperti negara dan pelaksana berwenangnya, NGO, MNC, dll- telah melahirkan sebuah sistem. Sistem inilah yang akhirnya menciptakan kondisi anarki. Padahal kondisi anarki internasional menurut realisme klasik yaitu tidak ada kekuatan (negara) yang mengatur dunia ini sebab tidak boleh ada kekuasaan yang berlebihan. Namun semua kembali kepada sifat dasar manusia yang selalu merasa cemas akan keamanan negara serta kepentingan nasionalnya, maka sistem yang diciptakan manusia tersebut menjadi anarkis sebab banyak terjadi pengabaian dalam pelaksanaan sistem tersebut. Namun bagi neorealisme, negara-negara adalah para pencari kekuasaan dan sadar keamanan, bukan karena sifat dasar manusia tetapi lebih disebabkan karena struktur sistem internasional mendorong mereka melakukan demikian. Sejak dimulainya pemikiran mengenai tatakelola hubungan antar negara terutama ketika teori realisme lahir, sebuah agenda utama telah ditetapkan secara tidak langsung, yakni keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Agenda itu masih tetap dipertahankan oleh seluruh saliran realisme, entah itu realisme klasik maupun neorealisme. Mungkin terdapat sedikit perbedaan dari cara melihat akar permasalahan serta kesimpulan yang diambil.
Perspektif-perspektif dalam Hubungan Internasional
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :
1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.
2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak yang lainnya, termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang
mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
III. REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama. I. CURRENT HISTORY
Hubungan internasional sebagai ladang penyelidikan intelektual sebagian besar dipengaruhi fenomena abad ke-20. Akar-akar sejarah disiplin ini terletak pada sejarah diplomatik.
Sejarah diplomatik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami HI yang berfokus pada deskripsi kejadian-kejadian sejarah, bukan eksplanasi teori. Untuk kemudahan, aliran ini disebut pendekatan Current History terhadap studi HI.
Lingkungan pada awal abad ketika lahirnya studi HI dimulai dengan optimisme. Banyak orang yakin bahwa perdamaian dan kemakmuran akan hadir. Hukum internasional menguat dan konferensi perdamaian Den Haag 1899 dan 1907 dipicu oleh harapan bahwa persenjataan bisa diawasi dan Eropa takkan mengalami perang lagi.
Namun harapan itu hancur karena Perang Dunia I yang pecah mulai 1914. Pengalaman menyakitkan ini melahirkan pencarian pengetahuan mengenai sebab-sebab perang, misalnya, dalam konteks teori. Oleh karena itulah para pengambil kebijakan dan pakar memerlukan sebuah
teori untuk meramalkan pecahnya perang dan bagaimana mencegahnya.
IDEALISME POLITIK
Perang Dunia I membuka pintu terhadap revolusi paradigma dalam studi HI. Sejumlah perspektif HI berusaha menarik perhatian para peminatnya pada periode ini. Meskipun demikian aliran current history masih memiliki pengikutnya.
Secara kolektif kelompok idealis memiliki keyakinan yang sama seperti :
1. Yakin bahwa fitrah manusia adalah “baik”. Oleh karena itulah manusia mampu saling membantu dan bekerja sama.
2. Perhatian fundamental manusia terhadap perang memungkinkan terjadinya kemajuan. Pendapat ini seperti keyakinan kaum Pencerahan tentang kemungkinan perbaikan peradaban.
3. Perilaku buruk manusia adalah produk, bukan manusianya yang jahat tetapi lembaganya
yang buruk dan pengaturan struktural yang memotivasi orang untuk bertindak egois dan merusak yang lainnya, termasuk perang.
4. Perang bukan tidak terhindarkan dan sering dapat dicegah dengan menghapuskan lembaga yang
mendorongnya.
5. Perang adalah masalah internasional yang memerlukan usaha
kolektif atau multilateral dan bukannya usaha nasional saja, oleh
sebab itulah
6. Masyarakat internasional harys mengakui usaha untuk menghapus
institusi yang mendorong terjadinya perang.
REALISME POLITIK
Perspektif Realisme lahir dari kegagalan membendung Perang Dunia I dan II. Aliran ini semakin kuat setelah Perang Dunia II, terutama di Amerika Serikat. Pacuan senjata yang marak ketika Perang Dingin semakin mengukuhkan perspektif Realisme.
Pandangan-pandangan yang jadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan mereka yang menganut idealisme. Misalnya, perspektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu jahat, berambisi untuk berkuasa, berperang dan tidak mau kerja sama.
PENDEKATAN PERILAKU (THE BEHAVIORAL APPROACH)
Aliran realisme klasik menyiapkan secara serius pemikiran teoritis mengenai kondisi global dan kaitan empiris. Namun demikian ketidakpuasan karena kurangnya data, reaksi tandingan, kesulitan dalam peristilahan dan metode, mendapatkan momentum pada tahun 1960-an dan awal 1970-an.
Disebabkan pendekatan perilaku terhadap studi hubungan internasional maka banyak mempengaruhi pendekatan terhadap teori dan logika serta metode penelitian.
Aliran Perilaku dalam hubungan internasional bagian dari gerakan besar yang menyebar dalam ilmu-ilmu sosial secara umum. Sering disebut pendekatan ilmiah (scientific approach), behavioralisme menantang model-model yang ada dalam mempelajari perilaku manusia dan basis teori-teorinya yang disebut tradisionalisme.
Perdebatan panas sering mewarnai para ilmuwan mengenai prinsip-prinsip dan prosedur yang paling tepat dalam meneliti hasil-hasil fenomena internasional. Debat itu berpusat pada makan teori dan syarat-syarat teori yang memadai dan metode terbaik yang tepat untuk pengujian teori.
Sebagian besar perdebatan berlangsung antara penganut perilaku dan kubu tradisionalis sangat hangat. Memang benar “berteori mengenai teori” dan berteori tentang hubungan internasional sering bercirikan perdebatan. Literatur pada periode ini diwarnai dengan isu-isu metodologis, bukannya masalah substantif.
Asumsi yang sama dan preskripsi analitik merupakan ini dari gerakan perilaku. Aliran Perilaku mengusahakan generalisasi seperti hukum mengenai fenomena internasional. Yakni, pernyataan mengenai pola-pola dan keteraturan melintasi waktu dan tempat.
Ilmu, kata kaum penganut perilaku, adalah aktivitas membuat generalisasi. Oleh sebab itu tujuan penelitian ilmiah adalah menemukan pola-pola ajeg perilaku antar negara dan penyebab-penyebabnya.
Bertolak dari perspektif ini sebuah teori hubungan internasional harus berisi pernyataan hubungan antar dua atau lebih variabel, khusus untuk kondisi dimana hubungan berlangsung dan menjelaskan mengapa hubungan itu bisa berlangsung.
Untuk menemukan teori-teori itu, penganut perilaku condong kepada analisa komparatif lintas nasional tak hanya sekedar studi kasus negara tertentu dalam waktu tertentu seperti terlihat dalam pendekatan Current History.
Kubu perilaku juga menekankan perlunya mengumpulkan data mengenai karakteristik negara dan bagaiman berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itulah gerakan perilaku ini diwarani dengan studi kuantitatif hubungan internasional.
PENDEKATAN NEOREALISME STRUKTURAL (THE NEOREALIST STRUCTURAL APPROACH)
Pendekatan realisme politik masih penting sebagai perspektif teoritis yang mendasari analisa masalah keamanan nasional. Namun juga mendapat popularitasnya setelah terbentuk dalam teori umum politik internasional yang disebut neorealisme atau realisme struktural.
Neorealisme membedakan antara eksplanasi peristiwa politik internasional di tingkat nasional seperti negara yang diketahui sebagai politik luar negeri dengan eksplanasi peristiwa di tingkat sistem internasional yang disebut sistem atau teori sistem.
Apa yang neorealis inginkan adalah “mensistemasikan realisme politik kedalam teoris sistem yang kuat, deduktif dari politik internasional.”
Seperti dikemukakan Kenneth M Waltz dalam bukunya yang berpengaruh Theory of International Politics (1979) dan dianggap sebagai karya utama pemikiran neorealis, “struktur internasional muncul dari intreraksi negara dan kemudian hambatan yang dihadapi dalam mengambil tindakan tertentu saat terdorong ke negara lain.”
Seperti dalam realisme klasik, anarki dan ketiadaaan lembaga sentral (sebuah pemerintah) menjadi ciri struktur sistem. Negara masih menjadi aktor utama. Mereka bertindak sesuai dengan prinsip menolong diri sendiri dan semuanya mengusahakan agar bisa bertahan.
Oleh karena itu menurut realisme struktural, negara tak berbeda dalam tugas-tugasnya yang dihadapinya. Yang berbeda adalah kapabilitasnya. Kapabilitas mendefinisikan posisi negara dalam sistem dan distribusi kapabilitas mendefinisikan sistem struktur.
Demikian pula perubahan dalam distribusi kapabilitas merangsang perubahan dalam struktur sistem seperti dari konfigurasi kekuatan multipolar ke bipolar atau dari bipolar menuju unipolar.
Kekuatan juga masih menjadi konsep sentral realisme struktural. Namun demikian, masalah merebut kekuasaan tak lagi dianggap tujuan seperti dalam realisme klasik. Hal itu juga tidak dilihat sebagai karakter manusia.
Seperti dijelaskan Waltz, “negara berusaha dalam cara yang lebih kurang masuk akal menggunakan cara yang ada untuk mencapai tujuan yang terjangkau”.
Cara-cara itu digolongkan dalam dua kategori yakni usaha internal seperti meningkatkan kemampuan ekonomi, kekuatan militer, mengembangkan strategi yang lebih pintar serta usaha eksternal seperti memperkuat dan memperluas aliansi atau memperlemah dan membubarkan aliansi musuhnya.
Keseimbangan kekuatan (balance of power) muncul lebih kurang secara otomatis dari instink untuk bertahan. “Kencenderungan keseimbangan kekuatan untuk membentuk apakah sejumlah negara semua negara secara sadar bertujuan membentuk dan mempertahankan keseimbangan atau apakah sejumlah atau beberapa negara bertujuan dominasi universal,” tulis Waltz (1979).
Sekali sistem internasional terbentuk, sistem itu “akan menjadi kekuatan yang dimana unit-unit didalamnya tak mampu mengontrol, sistem itu membatasi perilaku mereka dan menempatkan mereka antara niat mereka dan hasil dari tindakan mereka.”
INSTITUSIONALISME NEOLIBERAL
Seperti halnya neorealis, institusionalis neoliberal menggunakan teori struktural politik internasional. Mereka terutama berkonsentrasi kepada sistem internasional, bukannya karakteristik unit atau sub unit didalamnya.
Namun mereka memberi lebih banyak perhatian cara lembaga internasional dan aktor non negara lainnya mempromosikan kerja sama internasional.
Daripada hanya menggambarkan dunia dimana negara-negara di dalamnya enggan bekerja sama karena masing-masing merasa tidak aman dan terancam oleh yang lainnya, institusionalis neoliberal membuktikan syarat-syarat kerja sama yang mungkin dihasilkan dari kepentingan yang tumpang tindih diantara entitas politik yang berdaulat.
Sebagai tambahan dari idealisme klasik, akar intelektual pendekatan yang biasa disebut pula neoliberalisme dapat dilacak dari studi integrasi regional yang mulai merebak pada tahun 1950-an dan tahun 1960-an saat para pakar berusaha memahami proses dimana unifikasi politik negara bedaulat mungkin bisa dicapai.
Untuk mengkaji konsep dalam pemikiran neoliberalis, perlu kita
lihat tiga perspektif yang berdekatan dengannya.
Interdependensi yang kompleks (Complex Interdependence)
sebagai sebuah Pandangan Dunia
Sebagai sebuah perspektif analitik yang eksplisit, inderdendensi kompleks (complex interdependence) muncul pada tahun 1970-an untuk menantang asumsi-asumsi kunci kerangka teoritis saingannya, khususnya realisme klasik.
Pertama, menantang asumsi yang ada bahwa negara bangsa hanya satu-satunya aktor penting dalam politik dunia. Lalu mereka memperlakukan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan bank-bank transnasional sebagai “penting bukan karena hanya kegiatannya dalam mengejar kepentingan mereka, namun juga karena
mereka bertindak sabuk transmisi sehingga membuat kebijakan pemerintah di sejumlah negara lebih sensitif terhadap negara lain (Keohane dan Nye, 1988).
Dalam pengertian ini, interdependensi kompleks sebagai sebuah “holistik”, konsepsi sistem yang melukiskan politik dunia sebagai jumlah interaksi banyak bagian dalam “masyarakat global” (Holsti, 1988).
Kedua, intedependen kompleks mempertanyakan apakah isu keamanan nasional mendominasi agenda keputusan negara bangsa. Berdasarkan kondisi interdependensi, agenda politik luar negeri menjadi “semakin luas dan beragam” karena jangkauan luas kebijakan “pemerintah”, meskipun sebelumnya dipandang sebagai kebijakan domestik.
Ketiga, perspektif yang dipertikaikan dalam konsep populer bahwa kekuatan militer satu-satunya alat dominan dalam menggunakan pengaruh di politik internasioal, khsusnya diantara negara industri dan masyarakat demokratis di Eropa dan Amerika Utara.
2. Rejim-rejim internasional
Meskipun sistem internasional masih memiliki karakter anarkis, sifatnya dapat lebih dikonseptualisasikan sebagai anarki yang tertib dan sistem secara keseluruhan sebagai “masyarakat anarkis” karena kerja sama, bukan konflik, sering hasil yang dapat diamati dalam hubungan antar negara.
Karena realitas ini, masalah baru muncul : bagaimana prosedur dan aturan yang terlembagakan untuk manajemen kolektif masalah kebijakan global dapat dibentuk dan dipertahankan ? Kepentingan dalam masalah itu muncul dari dua tujuan motivasi kebanyakan analis neoliberal. Pertama, “keinginan memahami seberapa jauh hambatan bersama mempengaruhi perilaku negara”. Kedua, kepentingan dalam merancang strategi untuk menciptakan “tatanan dunia” yang lebih tertib.
Menuru sebuah definisi, rejim adalah sistem terlembaga kerja sama dalam isu-isu tertentu. Krasner (1982) menjelaskan, “ini adalah pemasukan perilaku dengan prinsip dan norma yang membedakan aktivitas rejim yang diperintah dalam sistem internasional dari aktivitas yang lebih konvensional oleh kepentingan sempit yang terukur”. Oleh karena itu esensi dari sebuah rejim adalah terdiri dari “sistem aturan perilaku internasional”.
Sistem moneter global dan sistem perdagangan yang tercipta setelah Perang Dunia II merupakan ekspresi jelas dari rejim-rejim internasional.
Teori Stabilitas Hegemoni
Seperti ditekankan oleh perspektif institusionalis neoliberal, aktor-aktor non negara memainkan peran penting dalam kerja sama internasional yang menjadi karakter Tatanan Ekonomi Internasional Liberal.
Perspektif ini juga mengajak memperhatikan peran menentukan kekuatan besar Amerika Serikat dalam mempromosikan stabilitas dan operasi efektif rejim moneter dan perdagangan pasca Perang Dunia II.
Masalah yang muncul adalah: Apa pengaruh menurunnya kekuasaan AS seperti dipersepsikan banyak pihak tehadap lembaga rancangannya untuk mendorong kerja sama internasional ? Apakah menurunnya pengaruh itu bisa menjelaskan ketidaktertiban tatanan ekonomi global yang muncul sejak 1970-an ? Masalah-masalah inilah yang jadi perhatian khusus bagi analis yang tertarik pada stabilitas hegemoni.
Teoritisi stabilitas hegemoni membedakan definisi hegemoni dengan menekankan kapasitas kekuatan militer untuk mengendalikan tatanan dunia dan kapasitas kekuatan ekonomi untuk menentukan dan mendikte aturan yang mengendalikan perdagangan, keuangan dan investasi internasional.
Dalam konteks institusionalisme neoliberal, teori stabilitas hegemoni didedikasikan terutama pada tugas menjelaskan bukan perang dan damai namun menerangkan mengapa negara-negara penting (hegemonik) di hirarki tertinggi (seperti AS setelah Perang Dunia II) termotivasi mempromosikan rejim internasional yang menguntungkan
yang tak hanya menguntungkan diri tapi juga negara lain.
No comments:
Post a Comment
silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam