Sunday, January 16, 2011

KERJASAMA NEGARA ISLAM “KONFLIK DARFUR”

Oleh :Ahmad Yoni Setiawan/07260050 PERAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DARFUR SUDAN SEJARAH Sudan adalah sebuah Negara terbesar di benua Afrika yang merdeka pada 1 Januari 1956, Sudan masih di anggap sebagai bagian dari timut tengah karena sebahagian besar penduduknya memeluk agama islam dan berasal dari keturunan Arab, dan sejarah juga mencatat bahwa etnis Arab di Sudan memegang peranan penting dalam pemerintahan Sudan dan Mendominasi militer. Negara Sudan senantiasa dihadapkan kepada masalah-masalah internal, baik yang bersumber dari kemajemukan etnik maupun perbedaan agama. Secara garis besar Sudan terbagi dalam dua bagian. Utara dihuni oleh ras Arab, berdarah dan berbahasa Arab, dan yang non-Arab (suku Nubia) tetapi memeluk agama Islam dan dekat dengan ras Arab karena kesamaan akidah, serta bahasa sehari-hari. Pengaruh Arab dan Islam sangat kuat dan mengakar di bagian Barat dan Timur Sudan. Sedangkan di Selatan, terdapat berbagai suku dari berbagai ras. Mereka mengaku sebagai penduduk asli Sudan dan Afrika, yang terdiri dari suku-suku Dinka, Nuer, Shiluk, dan Azande. Mereka juga dianggap kelompok suku besar Nilote, karena wilayah geografis mereka berada di lembah hulu sungai Nil. Mayoritas dari mereka memeluk agama Kristen dan sebahagian kecil tetap mempertahankan agama tradisi Afrika.1 Dominasi Utara yang Muslim Arab (kecuali Muslim Nubia) dan selatan yang non-muslim, nyaris tak pernah henti menyulut perlawanan dan pemberontakan bersenjata, sekaligus menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan. Maka sejak merdeka tahun 1956, Sudan telah mengalami berkali-kali pergolakan, sebagai dampak dari kemelut antar kelompok yang berpengaruh terhadap stabilitas sosial, ekonomi, politik dan keamanan . Perang sipil pertama di Sudan terjadi pada tahun 1983 antara pemerintahan pusat di Khartoum dengan fraksi terbesar pemberontak Sudan People Liberation Movement (SPLM) di wilayah Selatan Sudan, pimpinan John Garang. Jutaan warga Sudan telah mengungsi dan pemerintahan dituduh telah menghalangi pergerekan pertolongan untuk kamp-kamp pengungsi di selatan. Konflik besar Sudan Selatan bersumber dari keputusan Khartoum memberlakukan tatanan yang tidak bisa diterima oleh warga Selatan. Hukum Shariah Islam diundangkan dan pemerintah Sudan mengusahakan terbentuknya sebuah Negara Islam. Konflik tersebut bisa diselesaikan dengan kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang ditandatangani di Nairobi bulan Januari 2005. Perjanjian damai tersebut mengakhiri konflik berdarah yang telah berlangsung 21 tahun di Sudan Selatan, serta menewaskan dua juta orang, terutama akibat kelaparan dan serangan penyakit. Kesepakatan tersebut tidak terlepas dari upaya tidak kenal lelah UA sebagai penengah pihak yang bersengketa. Protokol kesepakatan tersebut miliputi gencatan senjata permanen. Berdasarkan persetujuan tersebut, Partai Kongres Nasional yang berkuasa di Khartoum, dan SPLM akan membentuk pemerintahan koalisi sementara, juga akan dilakukan desentralisasi kekuasaan, pembagian hasil minyak, dan mengintegrasikan kekuatan militer kedua belah pihak. Pada akhir periode pemerintahan transisi tersebut, wilayah Selatan dapat memutuskan untuk memisahkan diri atau tetap menjadi bagian dari Sudan. Ketika proses perdamaian Utara-Selatan sedang berlangsung, di propinsi Darfur, Sudan bagian Barat pecah pemberontakan. Pada Pebruari 2003, dua kelompok bersenjata Sudan Liberatian Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM) memulai perang di Darfur. Kelompok-kelompok ini menyerang kota-kota, fasilitas-fasilitas pemerintah, dan warga sipil di daerah tersebut. Kebanyakan pemberontak tersebut berasal dari dua atau tiga komunitas seperti suku Fur dan Zaghawa. Para pemberontak menyatakan perlawanan mereka disebabkan karena keterbelakangan dan marginalisasi yang dialami Darfur selama ini. Menghadapi aksi pemberontakan di Darfur, pemerintah Sudan dikabarkan memobilisasi milisi untuk membela diri. Salah-satunya dengan milisi Janjaweed, meski pemerintahan Sudan menolak keterkaitannya dengan milisi Arab tersebut. Militer Arab janjawed dalam beberapa tahun terakhir menerima support baik dana maupun persenjataan dari pemerintah Sudan dalam usahanya untuk menyingkirkan dan menumpas penduduk yang disinyalir tidak loyal terhadap pemerintah. Janjaweed pada mulanya dibentuk oleh pemerintahan Sadiq Al Mahdi (1986) dari suku Messiriyi dan Rezeigat (dua suku besar keturunan Arab) yang bertugas untuk mengamankan Darfur. Milisi ini terus berkembang dengan nama Janjaweed. Pada massa pemerintahan Presiden Omar Al Bashir Janjaweed tidak dilikuidasi walaupun sudah diketahui tindakan-tindakannya sering di luar kendali angkatan bersenjata resmi pemerintah. Kondisi inilah yang ikut mendorong lahirnya pemberontakan penduduk darfur. Muncul milisi-milisi tandingan untuk melawan Janjaweed. Milisi-milisi bersenjata yang mengunakan ciri etnis non-Arab, walaupun sama-sama muslim. Konflik di Darfur yang terjadi pada tahun 2003 baru mendapat perhatian dunia internasional ada awal 2004. Lambatnya respon internasional karena pada waktu itu perhatian masyarakat internasional tertuju pada serangan Amerika Serikat ke Irak. Sedangkan krisis yang terjadi di Darfur menjadi terabaikan. WHO memprediksi sedikitnya 500 ribu orang meninggal dalam konflik Darfur. Meski pemerintah Sudan sendiri hanya mengakui 9000 orang diantaranya. Dan 2,5 juta penduduk Darfur tidak terlepas dari aktifitas milisi-milisi bersenjata, baik kelompok SLA dan JEM, maupun milisi-milisi lain yang menyerang penduduk sipil. Kekerasan yang terjadi di Darfur berdasarkan data Human Rights Watch (HRW) akibat ulah Janjaweed dan berdasarkan sejumlah keterangan yang yang dikumpulkan dari sejumlah NGO seperti Amnesti internasional, tindakan milisi Janjaweed didukung oleh pemerintahan Sudan. Para pengungsi mengatakan pasukan pemerintah menyerang dari udara, dan milisi Janjaweed menyerbu kampung mereka membunuh para lelaki, memperkosa perempuan dan membakar rumah-rumah dan kampung, serta mengambil apa saja yang bisa mereka ambil. Akibat dari peristiwa itu ribuan orang dari kampung disekitar Darfun pun memutuskan mengungsi untuk mencari perlindungan. Pengungsi dari wilayah Darfur ini melarikan diri ke Chad, negara tetangga Sudan yang wilayahnya berbatasan dengan Darfur, kamp-kamp pengungsi di Darfur antara lain di Farchana dan Bredjing. Tuduhan telah melakukan aksi Genosida pun dilontarkan kepada milisi Janjaweed, yang berimbas kepada pemerintahan Sudan. Menurut Internasional Crisis group, serangan militer oleh pemerintahan tersebut tidak hanya semata-mata bertujuan untuk menghancurkan pemberontakan dan melakukan kebijakan pembersihan etnis Afrika, tetapi ada tujuan lain di balik itu, yaitu mengusir populasi yang berada di sekitar area minyak bumi, yang merupakan tujuan jangka panjang pemerintah, dengan alasan untuk riset lebih lanjut terhadap sumber minyak bumi dan pembangunan infrastruktur. Salah satu penyebab terus berkobarnya perang di Darfur adalah dengan membiarkan milisi Janjaweed bergerak bebas. Masyarakat internasional telah menekan telah menekan pemerintahan Sudan agar milisi Janjaweed segera dilucuti, tetapi pemerintahan Sudan tidak merespon tuntutan tersebut. Atas sikap dingin pemerintahan Sudan, tuduhan bahwa Janjaweed didukung oleh pemerintahan Sudan semakin kuat . Tuduhan ini diperkuat oleh Human Rights Watch yang mempublikasikan wawancara dengan Musa Hilal, yang diidentifikasikan AS sebagai pimpinan milisi Janjaweed mendapat instruksi dari komando Al-Fashir maupun dari pemerintahan Khartoum untuk melancarkan serangan kepada warga sipil. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa apa yang terjadi di Darfur itu adalah krisis kemanusiaan paling buruk di dunia pada saat ini, bahkan Amerika menyebutkan telah terjadi pembantaian etnis di sana,11 karena dalam kurun waktu 3 tahun konflik tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban yang sangat banyak. Kondisi tersebut membuat Sudan semakin tersudut, terutama saat ini pemerintah harus bekerja keras menjaga stabilitas keamanan Selatan pasca perdamaian setelah konflik 21 tahun antara Sudan People Leberation Movement (SPLM) dengan pemerintahan pusat Sudan. Apalagi dengan penolakan pemerintahan Al Bashir terhadap masuknya pasukan penjaga keamanan PBB ke Darfur. Menurut Khartoum, konflik Darfur akan sulit diselesaikan bila tidak memahami latar belakang kehidupan suku-suku yang tinggal di daerah tersebut. Di Darfur tinggal 80 suku dan kelompok etnis yang terbagi antara komunitas pengembara dan petani yang sudah menetap. Atas dasar pertimbangan tersebut pemerintahan Sudan merasa bahwa konflik Darfur hanya dapat diselesaikan oleh Uni Afrika. Sebagai sesama negara Afrika dengan latar belakang sosial budaya yang sama, Uni Afrika dianggap telah memahami betul latar belakang permasalahan dan kondisi lapangan yang sangat penting dalam menentukan mekanisme yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian di Darfur. Di tengah ketidakpastian penyelesaian konflik dan krisis kemanusiaan di Darfur dan lambatnya respon dari dunia internasional, muncullah titik terang pada tahun 2004 dari pihak Uni Afrika sebagai organisasi regional di wilayah Afrika. Uni Afrika memebentuk sebuah badan yang bertugas untuk menangani konflik di Sudan yang disebut AMIS (African Union Mission In Sudan), tetapi kemampuan AMIS dalam melindungi penduduk dan melindungi operasi bantuan kemanusiaan masih kurang optimal dikarenakan oleh kapasitasnya yang masih terbatas . PERAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DARFUR Uni Afrika (UA) sadar mereka tidak mempunyai kemampuan yang besar untuk menyelesaikan konflik di Darfur yasng sangat kompleks, untuk itulah mengapa UA meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengambil alih pemeliharaan perdamaian di Darfur. Dan pada tanggal 31 Juli 2007 Dewan Keamanan PBB bersepakat untuk menjalankan resolusi nomer 1769 yang berisikan pembentukan UNAMID (United Nations African Mission In Darfur). Di bawah resolusi ini, pasukan penjaga keamanan diberikan hak untuk menggunakan kekuatan mereka guna mencegah serangan, melindungi warga sipil dan pekerja sukarelawan serta mendukung segala bentuk perjanjian perdamaian di Darfur. Sekjen PBB dalam pernyataannya dalam sidang dewan keamanan PBB mengatakan, pembentukan UNAMID adalah “ Mengirimkan sinyal yang kuat dan jelas dari komitmen PBB untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Darfur, dan menutup episode tragis dalam sejarah kelam Sudan.” Ia juga mengatakan keputusan itu “bersejarah dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya“ tetapi ia mengingatkan juga bahwa “Hanya melalui proses politik para pihak yang bertikai kita akan mendapatkan solusi yang terbaik dari konflik ini . UNAMID merupakan badan yang dibentuk oleh PBB dan UA yang berfungsi menstabilkan keamanan di Darfur dan memberikan bantuan kemanusian. Misi ini merupakan misi terbesar dan juga merupakan pertama dalam sejarah misi perdamaian PBB yang menelan dana sebesar US$ 2 miliar pada tahun pertama. Selain mengupayakan pembentukan penjaga perdamaian, DK PBB juga tengah meretas jalan untuk mencapai perdamaian di Darfur. Mereka akan melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun pemberontak, untuk berdamai dan menjalin kerja sama politik dan kemanusiaan. Kekuatan UNAMID berjumlah 26000 personil yang terdiri dari 20000 tentara dan lebih dari 6000 polisi dan juga komponen sipil lain . Dewasa ini Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menunjuk utusan khususnya untuk Myanmar, Ibrahim Gambari, sebagai ketua baru misi pemelihara perdamaian PBB-Uni Afrika di Darfur, kata kantor Ban Kamis di laman internetnya. Veteran diplomat Nigeria itu akan mulai tugas barunya sebagai perwakilan khusus bagungan misi UNAMID pada 1 Januari 2010, kata PBB. Dia menggantikan diplomat Kongo, Rodolphe Adada, yang mengundurkan diri Agustus lalu. Dia mengaku telah mencapai beberapa hasil dalam membendung aksi kekerasan yang banyak menelan korban di wilayah Sudan itu. Para diplomat dan pengamat mengecam kinerja UNAMID sebagai tidak efesien, membentrokkan Adada dalam menjalankan tugas perdamaiannya dengan penguasa Sudan, yang dituduh oleh negara-negara Barat melakukan pembantaian di Darfur. Pemerintah Sudan yang didominasi etnis Arab dan para pemberontak di wilayah selatan yang sebagian besar menganut Kristen dan animisme, telah menanda-tangani kesepakatan bagi kekuasaan pada 2005, untuk mengakhiri perang sipil Afrika yang diklaim telah menewaskan 1,5 juta orang selama 21 tahun. PENUTUP Banyak pihak menyatakan bahwa dunia setengah hati dalam menyelesaikan krisis Darfur. Walau jumlah korban yang tewas dalam krisis di Sudan ini sudah begitu besar, dunia belum mengambil langkah konkrit dan tegas untuk mengatasinya. Dalam kritiknya itu, Annan menyebut 'banyak kepura-puraan di semua pihak' dalam upaya menyelesaikan konflik yang disebut sebagai krisis kemanusiaan terbesar dunia itu. Menurutnya, banyak pihak yang hanya 'omong besar' tapi tak bertindak apa pun di lapangan, terutama negara-negara besar dunia. Apa yang dikemukakan Annan itu memang sangat tepat. Kita memang tak melihat upaya dunia yang benar-benar serius dalam menyelesaikan konflik di Sudan ini. Bahkan upaya internasional dalam kasus ini boleh dikatakan sangat aneh. Dunia, melalui Dewan Keamanan PBB, sebenarnya telah menyetujui pengerahan pasukan internasional yang terdiri dari pasukan Uni Afrika, yang mayoritas, dan sejumlah pasukan internasional lainnya yang jumlahnya mencapai 26.000 tentara. Tapi kenyataannya, hanya segelintir pasukan yang ada di lapangan, itu pun dengan peralatan yang seadanya. Penyebab utama masalah ini disebut akibat tidak adanya dana yang memadai untuk pasukan perdamaian tersebut, akibatnya negara-negara Afrika, yang sebagian besar miskin itu, tak mampu untu mengerahkan pasukan mereka secara penuh. Kondisi ini diperparah oleh keengganan negara-negara besar dunia untuk mengerahkan pasukan mereka, padahal pasukan negara besar seperti AS dan Eropa Barat, sangat efektip dalam melakukan tugas penjagaan keamanan karena sumber-sumber daya mereka yang sangat memadai. Dan yang semakin menyulitkan, selain enggan mengirim pasukan, negara-negara besar dan makmur dunia tak bersedia memberikan bantuan peralatan, seperti helikopter, kepada pasukan yang ada di lapangan, padahal perangkat tersebut sangat dibutuhkan dan telah berulang kali diminta oleh PBB. Dengan kejanggalan ini maka tepatlah apa yang dikatakan Annan bahwa dunia memang 'berpura-pura' untuk mau terlibat dalam penyelesaian konflik ini. Kalau kita lihat lebih jauh, kepura-puraan ini merupakan bagian dari konflik Darfur itu sendiri. Walau konflik ini sebenarnya murni konflik dalam negeri Sudan, tapi begitu banyak kepentingan dunia yang ikut masuk dalam konflik ini, yang saling bertolak belakang. Di satu sisi ada Amerika Serikat yang menginginkan konflik ini menjadi batu loncatan untuk menggusur pemerintah Sudan saat ini yang masuk kategori 'Islam garis keras', model pemerintah yang menjadi musuh AS terutama dalam kampanye perang melawan terornya. Tidak hanya itu saja faktor minyak bumi di sudan adalah salah satu faktor tambahan bagi negara-negara yang membutuhkan akses terhadap sumber minyak bumi di masa yang akan dating, salah satu negara yang paling berkepentingan terhadap sumber minyak bumi ni adalah Amerika Serikat (AS). Di sisi yang berlawanan, terdapat sejumlah negara seperti negara-negara Arab, negara Eropa termasuk Rusia serta China yang malah sebaliknya ingin membangun hubungan yang lebih erat dengan pemerintah Sudan saat ini. Negara-negara Arab ingin pemerintah Sudan saat ini tetap eksis karena alasan politik dan budaya, maklum pemerintahan saat ini yang dominasi etnis Afrika keturunan Arab. Sementara bagi negara seperti Eropa, Rusia dan China, berusaha terus untuk tetap mesra dengan pemerintahan Sudan untuk mendapatkan konsesi minyak negara Afrika ini. Dengan dua kubu yang saling berbeda ini, dengan masing masing kubu mempertahankan kepentingan masing-masing, tak heran jika tak pernah ada kata sepakat dunia dalam mengatasi masalah Darfur. Di berbagai konferensi perdamaian semua pihak pun lebih fokus pada kepentingan mereka bukan pada penyelesaian konflik. Semua komentar dan upaya perdamaian memang hanya pura-pura.

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam