Sunday, January 16, 2011

PERAN PBB DALAM MENCIPTAKAN PERDAMAIAN KONFLIK NEGARA ISLAM DITIMUR TENGAH (ISRAEL-PALESTINA)

Oleh: FIRDAUS ASMARINDA/07260030 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung sumber daya mineral dalam jumlah yang banyak, telah menjadikan kawasan ini sebagai hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan akan energi. tidak hanya itu, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan berasalnya tiga agama Samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam yang sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan suci bagi ketiga agama. Fakta ini pula yang melatarbelakangi terjadinya Perang Salib dalam kurun waktu ratusan tahun. Dalam era modern, berbagai krisis terjadi di wilayah ini, seperti perang Iran-Irak, Irak-Kuwait, invasi Amerika Serikat ke Irak, dan konflik Palestina-Israel yang telah lebih dari lima dekade masih berlangsung hingga saat ini. Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung di wilayah Timur Tengah (dengan mengenyampingkan Perang Salib), yang menyebabkannya menjadi perhatian utama masyarakat internasional. Sebagai contoh, konflik antara keduanya menjadi agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ketika PBB baru terbentuk dan sampai saat ini belum terselesaikan meski ratusan resolusi telah dikeluarkan. Kedua entitas politik ini telah “bertarung” di kawasan Timur Tengah semenjak berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Dalam beberapa waktu belakangan, telah terjadi serangkaian peristiwa penting yang menandai proses perdamaian antara kedua entitas ini. Tugas yang diberikan LBB kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom, ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina, khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan oleh Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri, sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina. Dalam kurun waktu hampir 30 tahun selama pemerintahan Mandat Inggris, telah terjadi beberapa bentrokan diantara bangsa Arab dan Yahudi yang berada di wilayah Palestina, antara lain Palestine Riots 1920, Palestine Riots 1929, Arab Revolt 1936-1939, Jerusalem Riots 1947. Dalam kurun waktu ini pula, terjadi Perang Dunia II di wilayah Eropa yang telah melahirkan tragedi holocaust, sehingga semakin menguatkan niat bangsa Yahudi di Eropa untuk kembali ke tanah Palestina. Keberadaan Inggris di wilayah Palestina untuk membantu warga di Palestina menjadi otonom, justru menimbulkan resistensi dari Arab, sehingga keberadaannya tidak berfungsi maksimal dan jauh dari tujuan awal yang diharapkan ketika LBB menugaskan Inggris. Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB, khususnya Majelis Umum, berinisiatif untuk mebuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat partisi atau pembagian wilayah Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan dibawah penguasaan Arab ataupun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB. Proposal menjadi Resolusi 181 Majelis Umum PBB, atau lebih dikenal dengan UN Partition Plan, memberikan 55% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi, dan 45% sisanya untuk negara Arab. Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan Arab. Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan. Bab II Pokok permasalahan 1.2 Peran PBB dalam konflik israel-palestina Hukum internasional bukanlah sebuah rejim hukum yang mempunyai lembaga-lembaga yang rigid. Berbeda dengan rejim hukum nasional, yang mempunyai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, rejim hukum internasional tidaklah memiliki konsep separation of powers. Hukum internasional dipraktikkan dengan pemahaman koordinatif, yang mengutamakan kedaulatan masing-masing negara. Tanpa adanya lembaga yang bertugas untuk melaksanakan law enforcement, hukum internasional sering dikatakan bukan merupakan suatu hukum. Terlepas dari itu semua, masyarakat internasional tetap mengakui eksistensi hukum internasional dalam mengatur interaksi antara subyek hukum internasional. Tidak bisa dipungkiri, hukum internasional saat ini sebagian besar direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merupakan organisasi antar-pemerintah yang mempunyai anggota paling besar, dan juga memiliki cakupan sektor pembahasan yang paling luas jika dibandingkan dengan organisasi internasional lain yang lebih cenderung memfokuskan diri kepada salah satu sektor saja (ekonomi, solidaritas Islam, regionalisme, dan lainnya). PBB pun didirikan dengan berdasarkan kepada hukum internasional, dapat dilihat dari dokumen hukum yang menjadi landasan berdirinya PBB, sistem koordinatif yang dianut oleh PBB, dan berbagai konsep lain yang dianut oleh PBB. Hukum internasional yang direpresentasikan oleh PBB dapat dilihat melalui kebiasaan-kebiasaan dalam PBB, dan juga resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh badan-badan utama PBB. Resolusi PBB, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetap dianggap sebagai salah satu sumber hukum internasional dan diterima oleh negara-negara. Fakta bahwa PBB lebih merupakan sebuah organisasi politis ketimbang sebagai law-maker dalam rejim hukum internasional, tidak mengenyampingkan peranannya dalam perkembangan hukum internasional. Kehadiran hukum internasional dalam hubungan antar negara, pada awalnya diharapkan mampu hadir sebagai pemecah kebuntuan bagi memberikan keadilan bagi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam konteks masyarakat internasional. Namun pad perkembangannya, tidak jarang hukum internasional justru dibuat tidak berdaya dihadapan kepentingan negara-negara besar. Dalam berbagai konflik yang telah hadir di ranah hubungan internasional, negara-negara adidaya tidak pernah meluputkan sedikit kesempatan pun untuk menanamkan pengaruhnya diantara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Kubu Barat dan Timur selalu menjadi dua dunia yang berusaha untuk menyebarkan pahamnya di berbagai belahan dunia. Karena itu dasar Pembentukan PBB ialah untuk menciptakan dan memelihara perdamaian melalui pembentukan suatu organisasi kerjasama Internasional dengan suatu keamanan kolektif. PBB sendiri dibentuk dari delapan Konferensi, dan pada tanggal 24 Oktober 1945, piagam PBB itu telah mempunyai kekuatan hukum dengan penyampaian ratifikasi lima Negara anggota Tetap Dewan Keamanan dan sebahagian besar dari Negara yang hadir . pada Konfresi di San Fracisco. Sehingga tanggal ini ditentukan sebagai hari PBB. Tujuan dan Asas PBB 1. Memelihara Perdamaian dan Keamanan 2. Mengembangkan hubungan persahabatan diantara bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak-hak dan penentuan nasib sendiri dari semua rakyat dan mengambil tindakan-tindakan lain yang tepat guna memperkokoh perdamaian dunia. 3. Mewujudkan kerjasama Internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional di Bidang Ekonomi, Sosial, Budaya atau Aspek kemanusiaan lainya dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan terhadap hak-hak Azazi manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. 4. Menjadi pusat untuk menyerasikan tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama. Dewan Keamanan (Security Council) sebagai badan utama keamanan Fungsi dan kekuasaan dewan keamanan adalah : 1. Menjaga perdamaian dan keamanan Internasional sesuai dengan prinsip dan tujuan PBB. 2. Menyelidik pertikaian apa saja, atau keadaan yang dianggap dapat menyebabkan sengketa, pertentangan dan pertikaian internasional 3. Memberikan rekomendasi mengenai cara dan metode penyelesaian pertikaian dan atau menghentikan agressi 4. Menyerukan kepada Negara-negara anggota untuk melaksanakan sanksi-sanksi ekonomi dan tindakan lain tanpa menggunakan kekerasan untuk mencagah atau menghentikan agressi 5. Mengambil tindakan militer. Jika dilihat dari fungsi, kewenangan dan asas berdirinya PBB, maka PBB sangat berkepentingan dalam penyelesaiaan konflik Palestina-Israel sebagai Organisasi yang bertanggung jawab dalam memelihara perdamaian dunia sebagai komitmen bersama. 1.3 Teori Resolusi Konflik Resolusi konflik menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Resolusi konflik juga berupaya menciptakan suatu mekanisme penyelesaian konflik secara komprehensif dalam tiap-tiap tahap eskalasi konflik. Pada intinya, teori resolusi konflik mengedepankan prinsip-prinsip bahwa; 1, Konflik tidak dapat dipandang sebagai suatu fenomena politik-militeristik namun juga harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial, 2, Konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear, sangat bergantung pada dinamika lingkungan konflik, 3, Sebab-sebab konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat melainkan harus dilihat sebagai fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor, 4, Resolusi konflik hanya diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng. Perang sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan konflik dan wajibnya digali alternatif-alternatif penyelesaian konflik dengan cara damai, menjadi dua prinsip utama kaum “peace researcher” yang berupaya mengembangkan beragam mekanisme resolusi konflik. Salah satu pemikir teori resolusi konflik adalah John Burton yang mengembangkan kategori baru bagi penyelesaian konflik yang dikenal sebagai problem-solving approach. Menurut Burton, konflik tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata dan juga dengan negosiasi antarpihak yang bertikai. Resolusi konflik tidak berakhir di merja perundingan namun merupakan suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, penyelesaian konflik Palestina-Israel akan lebih tepat dengan menggunakan pemikiran strukturalis dan resolusi konflik. Namun tak dapat dipungkiri bahwa hal terakhir ini membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian konflik yang komprehensif, yang bisa jadi melibatkan juga “mekanisme” dari pemikiran realis dan liberalis terutama dalam upaya menurunkan eskalasi konflik untuk mencapai tahap yang lebih lanjut dari proses resolusi konflik. Bab III Penutupan Banyak pihak mempertanyakan peran Dewan Keamanan PBB ketika konflik Israel-Palestina semakin memanas. Sebagai sebuah organisasi di bawah naungan PBB yang menangani tentang keamanan internasional, perannya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat internasional untuk mencari solusi yang terbaik bagi kedua pihak. Israel tidak mengindahkan Resolusi DK PBB Nomor 1.860 yang menyerukan gencatan senjata. Bagaimana agar DK PBB tetap efektif dalam menghadapi konflik Israel-Palestina yang berkarakter Malignancy (sulit diatasi). Dewan Keamanan PBB adalah salah satu dari enam organ pokok PBB yang bertanggungjawab atas perdamaian dan keamanan internasional. Karena tanggung jawabnya yang besar terhadap terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional itulah, maka Dewan Keamanan diberi tugas dan kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan tugas dan kewenangan organ-organ pokok lainnya seperti Majelis Umum, Ecosoc, Mahkamah Internasional, sekretariat ataupun Dewan Perwalian. menghadapi masalah yang sulit di atas, seperti konflik Israel-Palestina, Underdal menawarkan solusi agar DK PBB tetap bisa efektif yaitu: Pertama, pemberian incentive. Dalam rangka membantu Israel mewujudkan impian negara Israel Merdeka, Amerika, dan negara-negara Barat lainnya menekan Palestina dengan berbagai cara, seperti politik dan militer serta terakhir dengan embargo ekonomi. Tapi cara penekanan ini tampaknya tidak membuahkan hasil, Palestina tetap tidak mau mengalah, bahkan perlawanan semakin sengit di antara kedua belah pihak. Pemberian incentive baru dilakukan sebagai bargaining atas penyesuaian konflik. Incentive apa yang sebaiknya diberikan, tergantung pada apa yang paling dibutuhkan pihak yang konflik. Untuk kasus Palestina mungkin yang sangat dibutuhkan sekarang adalah bantuan ekonomi akibat embargo dari AS dan negara-negara barat lainnya. Kedua, pengembangan isu demokrasi. Isu pokok dalam konflik Israel-Palestina adalah isu wilayah/teritori. Kedua pihak saling mengklaim wilayah yang sama sebagai wilayah negaranya. Palestina di bawah Hamas tidak mau mengakui keberadaan Israel, begitu juga sebaliknya. AS yang berada di belakang Israel, tidak mau mengakui negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Walaupun akhirnya AS mengakui tetapi dengan syarat tertentu. Syarat yang diajukan oleh oleh AS, Uni Eropa, Rusia, serta PBB sulit untuk diterima Palestina. Ada tiga syarat yaitu Palestina harus mengakui keberadaan Israel, menerima kesepakatan PLO-Israel dan tidak akan melakukan perlawanan kekerasan. Selama tidak ada saling pengakuan, konflik akan terus berlangsung. Untuk itu perlu adanya isu lain yang lebih mudah diterima oleh semua pihak dan isu demokratis lebih realistis untuk diangkat. Negara Persatuan Nasional Palestina dibentuk atas dasar pemilu yang demokratis. Mestinya sebagai negara pelopor demokrasi AS menerima Palestina tanpa syarat apa pun. Jadi dengan mengembangkan isu demokrasi diharapkan AS bisa ditekan untuk mengakui Palestina, dan nantinya diharapkan berimbas pada Israel. Selain kedua hal di atas perlu terus dikembangkan dialog terus menerus baik secara bilateral maupun multilateral, baik dengan tokoh-tokoh kunci terkait seperti Fatah, Hamas, maupun tokoh-tokoh dari Israel, AS, Uni Eropa, Rusia dan PBB, serta tokoh-tokoh dari negara- negara Arab, negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), IGO, maupun INGOs dari berbagai kawasan. Dewan Keamanan PBB bisa mengadopsi diplomasi ASEAN yang selama ini sudah dijalankan oleh beberapa negara anggota ASEAN ketika ada konflik dikawasannya, yaitu dengan ciri khususnya Personal Contact. Tokoh-tokoh ASEAN selalu berhubungan, dan berkomunikasi secara berulangulang melalui media apa pun ketika menyelesaikan suatu konflik di kawasannya, baik melalui telepon, fax maupun email secara terus-menerus dan selalu berusaha untuk menjaga agar tidak terjadi konflik terbuka dan konflik tetap dijaga agar tidak meluas ke negara lain.

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam