Sunday, January 16, 2011

Kerja sama Negara-negara islam

oleh: Viki arvian arif/Dos santos/Firdaus as/Indro bramanto/Devid setiawan 072600 Turki, Awal Perjalanan Panjang Menjadi Bagian Eropa Pengantar Perjalanan Turki untuk masuk menjadi bagian Eropa memasuki babak baru. Pemimpin Uni Eropa akhirnya bersepakat memulai pembicaraan keanggotaan Turki ke Uni Eropa (UE). Babak baru itu memang tidak akan berjalan mulus. Masih sangat panjang jalan yang harus ditempuh negeri berpenduduk 71 juta jiwa itu untuk diterima sebagai bagian dari UE. Wartawan Pembaruan Heri S Soba dan Willy Masaharu mengulas masalah tersebut dalam dua tulisan di bawah ini. AP/OSMAN ORSAL MELAMBAI BERSAMA - Bendera Turki dan Uni Eropa berkibar di depan masjid di Istanbul, Turki. Uni Eropa menyetujui untuk memulai membahas keanggotaan Turki, ke dalam UE. PERJALANAN panjang Turki menjadi bagian dari Eropa, memasuki babak baru setelah Senin (3/10) tengah malam lalu di Luksemburg. Dalam pertemuan petinggi Uni Eropa (UE), diraih kesepakatan memulai negosiasi keanggotaan Turki ke organisasi yang beranggotakan 25 negara itu. "Hubungan kami dengan Eropa dimulai pada 1963, suatu masa yang lebih dari 40 tahun. Kami harus tiba hari ini pada acara bersejarah," kata Menteri Luar Negeri Turki Abdullah Gul, yang terbang ke Luksemburg Senin malam itu juga untuk menghadiri upacara resmi yang menandai akan dimulainya negoisasi keanggotaan tersebut. Acara tengah malam itu hanyalah pembukaan resmi berupa upacara. Masih dibutuhkan beberapa waktu lagi untuk memulai perundingan. Sebagai permulaan, pegawai sipil Turki akan diundang ke Markas UE Brussels untuk mempelajari aspek hukum UE. Pada saat bersamaan, pejabat- pejabat UE akan mempelajari secara detail perundang-undangan Turki, guna menentukan bidang apa saja yang bisa menjadi konsentrasi negosiasi pada fase pertama. Diperkirakan negosiasi bisa makan waktu sepuluh tahun. Perundingan itu adalah proses yang terbuka dan hasilnya belum bisa dipastikan. Paling cepat Turki diterima pada 2014, karena anggaran 2007-2013 yang kini sedang diperdebatkan tidak mencakup biaya aksesi Turki. Waktu yang realistis bagi penerimaan Turki masih jauh, tahun 2020. Pada tahun itu, Turki harus sudah mengadopsi 80.000 halaman UU UE. Niat Turki mendekatkan diri dengan Barat dimulai sejak kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk. Saat itu Turki mulai membangun diri dari kehancuran Kekaisaran Ottoman dengan mengikuti pola Barat yang sekuler. Perjalanan yang dimulai pada 1959 itu terhenti pada 1997, ketika UE menghapuskan Turki dari daftar kandidat anggota. Namun, pada 1999 nama Turki muncul lagi dalam pertemuan UE di Helsinki. Perundangan Turki akan memasuki proses panjang. Ada berbagai "persyaratan" yang harus dibenahi seperti sistem perundang-undangan, demokrasi dan memperbaiki kinerja militer. Salah satu sistem perundang-undangan yang menjadi hambatan adalah RUU Perselingkuhan. Paket RUU yang akan menggantikan hukum pidana Turki yang berumur 78 tahun itu disambut positif kalangan UE. Di dalamnya terdapat hukuman yang lebih berat bagi yang melakukan penyiksaan maupun pemerkosa. Juga terdapat klausul soal genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang untuk pertama kali diatur dalam undang- undang Turki. Namun, RUU itu menimbulkan kontroversi karena meletakkan masalah perselingkuhan di bawah pengadilan sipil. Turki diancam tidak bisa menjadi anggota UE jika tetap mengegolkannya. RUU itu pun dikaji ulang seluruh paket hukum pidana tersebut agar memenuhi "criteria Copenhagen dan kriteria Maastricht". Kriteria itu merupakan syarat bagi setiap negara yang ingin menjadi anggota UE. Pada akhir September 2004 dalam kunjungan ke pemimpin UE di Brussels, Perdana Menteri (PM) Turki Recep Tayyip Erdogan akhirnya menegaskan, RUU Perselingkuhan dibatalkan dan Turki akan mengadopsi paket hokum pidana baru. Kendati masih banyak yang skeptis, akhirnya pada pertemuan puncak UE pada Desember 2004 yang diikuti seluruh 25 kepala negara, masalah Turki mulai masuk agenda. Siprus Friksi lain yang muncul adalah tuntutan Parlemen Eropa agar Turki mengakui membantai etnis Armenia pada 1915 yang dilakukan Ottoman. Masalah pembantaian itu merupakan isu signifikan bagi Prancis, khususnya dari pihak oposisi. Ganjalan lain terkait dengan Siprus yang sudah lebih dulu menjadi anggota UE. Padahal, Turki belum mengakui negara Republik Siprus Yunani. Siprus terbelah berdasarkan etnis pada 1974, ketika pasukan Turki menguasai wilayah utara Siprus. Saat ini hanya Siprus-Yunani di sebelah selatan yang menikmati keanggotaan UE sejak pulau itu bergabung pada 1 Mei 2004. Sejumlah ganjalan tersebut menyebabkan Austria dan Denmark pada awalnya hanya menginginkan Turki cukup mendapatkan status "mitra khusus", tak perlu menjadi anggota penuh UE. Turki menolak status itu. Masuknya Turki ke UE dianggap akan menyulitkan penyatuan politik dan ekonomi UE sendiri. Turki, juga dianggap terlampau besar dan karena itu akan memiliki lebih banyak kekuasaan di dalam UE. Turki dipandang miskin sehingga masuknya Turki akan menelan banyak dana UE. Ekonomi Turki yang berpenduduk 71 juta jiwa ini notabene lebih miskin dibanding rekan-rekannya di Barat juga dikhawatirkan menjadi ancaman bagi UE. Masuknya Turki akan menyulut gelombang imigran Turki ke negara-negara UE. Paling tidak membanjirnya tenaga kerja murah ke negara-negara Eropa Barat yang lebih makmur akan mempengaruhi perekonomian Eropa secara umum. Hal itu pula yang memunculkan kewenangan UE membatasi arus migrasi Turki sampai waktu tak terbatas, namun hal itu masih diperdebatkan. Ancaman tersebut sangat wajar jika dikaitkan dengan penolakan kaum pekerja Prancis terhadap konstitusi UE pada pertengahan tahun ini. Salah satu penolakan itu karena bergabungnya Prancis dalam UE justru meningkatkan angka pengangguran. Perusahaan-perusahaan lebih memilih tenaga kerja murah dari Eropa Timur. Para pendukung Turki mengatakan, sekalipun kekhawatiran akan tenaga kerja muda dan murah, Eropa harus melihat itu sebagai berkah yang dapat membantu mengatasi krisis demografi, di mana populasi penduduk dewasa Eropa meningkat dan tingkat kelahiran turun. Beberapa pekerja mengatakan hal itu menyangkut hal penting yakni membangun kompetisi seperti Cina dan India yang memasuki abad kekuatan ekonomi. Tanpa Turki, Eropa akan "gagal membiayai kebutuhan dari penduduk dewasa", kata analis luar negeri Cunyet Ulsever ketika berkomentar di Turkish Daily News. Prasangka Memang panjang jalan yang harus dilalui Turki. Bahkan apabila negosiasi selesai, Prancis dan Austria sudah mengatakan akan menggelar referendum untuk menentukan meratifikasi atau tidak traktat aksesi Turki. Apabila ada di antara 25 negara anggota yang tidak mau meratifikasi traktat tersebut, Turki tidak akan bisa bergabung dengan UE. Salah satu hambatan besar yang harus diselesaikan adalah yang menyangkut "kultur dan identitas Eropa." Turki yang merupakan Negara Islam terbesar di Eropa dianggap bisa menjadi ancaman terhadap kultur dan identitas yang selama ini melekat dengan Eropa. Turki secara kultural dianggap bukan "Eropa." Pandangan bahwa UE sebagai klub orang Kristen masih melekat di tengah beberapa partai Demokrat Kristen di sekeliling Eropa. Presiden Perancis Jacques Chirac mengatakan, Turki harus melakukan "revolusi budaya" untuk diterima menjadi anggota UE. Chirac mengkhawatirkan berkembangnya fundamentalis Islam melalui Turki. Menyadari hal itu, Tayyip Erdogan menegaskan, dimulainya pembahasan keanggotaan Turki merupakan kemenangan atas prasangka agama. Dengan demikian anggapan UE merupakan "Klub Kristen" pun ditepis. "Kesepakatan yang dicapai pada 3 Oktober lalu adalah kesuksesan Turki. Dengan mulai membicarakan Turki membuktikan UE bukanlah sebuah Klub Kristen," kata Mehmet Ali Talat, Presiden Republik Siprus Utara (Turki). Bahkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengatakan, dimulainya pembicaraan itu sebagai jalan mendorong dialog antara kewarganegaraan. "Langkah ini meningkatkan rasa percaya diri dan keteguhan hati di antara negara-negara dari dunia Islam, untuk mengikuti proses demokrasi dalam mengonsolidasi perdamaian di kawasan dan dunia," kata Ketua OKI Ekmeleddin Ihsanoglu. Hal senada diungkapkan editorial The Financial Times, yang membeberkan kepada pembacanya, dimulainya pembicaraan agenda Turki akan mengucurkan manfaat melimpah. "Itu menunjukkan UE bukanlah hanya eksklusif 'Klub Kristen' tetapi dapat menerima negara yang mayoritas penduduknya Muslim," tulis harian ekonomi berpengaruh tersebut. Seperti dikatakan Menlu Gul, apa yang baru terjadi bukan hanya kemenangan Turki, tetapi juga kemenangan Eropa Berdasarkana teori Keynesian political economy, Keynesian ekconomics, libralisme versi keynesian ( mendominasikan ekonomi politik international 1960-an 1970an) memperjuangkan pasar bebas diberbagai bidang termasuk perdagangan dan keuangan international, tetapi peran positif pemerintah diyakininya dapat bermanfaat mengatasi persoalan yang tidak bisa tangani oleh pasar seperti inflansi dan pengganguran. Ketika muncul suatu kekuatan hegomoni yang bersedia menanggung “ beban” penyediaan barang-barang public tersebut, maka ekonomi dunia cenderung mengalami pertumbuhan tinggi dan kemakmuran karena manfaat dari perdanganggan bebas, keamanan dan perdamaian, maupun mata uang yang sehat merangsang perkembangan pasar dimana-mana. Melalui perspektif liberalism dapat kita

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam