Saturday, January 15, 2011

MEMBEDAH GLOBALISASI: MeretasPeran Mahasiswa dalam Perubahan Bangsa

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad. Esai ini semula berjudul "Bergulat Melawan Globalisasi: Meretas Peran Mahasiswa dalam Membangun Bangsa," mengisi halaman di buku "QUO VADIS: PRAGMATISME vs. IDEALISME" oleh Jamsari, Astar Hadi, Awang Darmawan,dkk., diterbitkan oleh Forum Mazhab Djaeng dan HMI Cab.Malang Komisariat Fisip-UMM bekerjasama dg Litera Buku,Yogyakarta. Januari 2009. Sebagai sebuah konsep, globalisasi adalah di antara yang paling banyak diperbincangkan. Sementara sebagai sebuah fenomena, ia adalah satu yang paling ditakuti sekaligus dinikmati oleh umat manusia saat ini, di mana pun, siapa, individual maupun kelompok. Beragam persepsi muncul tentang “mahluk” yang satu ini, yang menyebabkan beragam respon pula terhadapnya – ada yang pro, dan tidak sedikit pula yang kontra. Selama ini, globalisasi sering dikaitkan dengan beragam persoalan kemanusiaan. Secara politik, “kesalahan” globalisasi misalnya terlihat pada perang melawan teroris yang dilakukan Amerika dalam satu dekade terakhir ini dan pemerintah kita. Letak kesalahannya adalah pada fakta bahwa kelompok-kelompok teroris seperti Al Qaidah dan Noordin cs. memiliki visi serupa, mendirikan negara Islam vis-à-vis Barat yang “kafir.” Padahal mereka memiliki latar belakang sosial, pendidikan, dan sejarah yang berbeda. Bahkan mereka tinggal di petak-petak negara yang berbeda. Secara ekonomi, borok globalisasi sering dikaitkan dengan ketimpangan kesejahteraan di negeri seperti kita ini. Jarak antara si kaya dan si miskin sangat lebar akibat kekeliruan pemerintah mengelola perekonomian. Inti persoalannya terletak pada fakta bahwa pemerintah Indonesia, terutama sejak krisis 1997, nekad menceburkan diri dalam kubangan sistem ekonomi global yang kapitalistik. Sejak saat itu, pemerintah di bawah pengaruh IMF memaksakan liberalisasi ekonomi melalui deregulasi, privatisasi dan liberalisasi pasar1. Kebijakan ini menyebabkan gempuran barang-barang impor, modal asing dan MNCs (Multinational Corporations). Ketidaksiapan rakyat, dan pemerintah sendiri, melahirkan kesengsaraan bagi rakyat kecil akibat anarkisme dalam persaingan pasar, distribusi profit dan perebutan sumber-sumber produksi. Selanjutnya, globalisasi menyerang aspek kultural masyarakat. Pada aspek ini, globalisasi kerap dirangkaikan dengan fenomena revolusi teknologi yang meruntuhkan sekat-sekat pembatas lalulintas informasi, ide dan orang (masyarakat). Dalam bidang komunikasi, berbagai perangkat canggih seperti televisi, internet dan handpone menjadikan segala macam informasi accessible bagi siapa saja di mana saja. Dalam bidang transportasi, beragam jenis sarana transportasi yang tersedia yang terus berkembang serta terjangkau memperderas arus mobilitas masyarakat antarpulau, antarnegara bahkan antar benua. Kesemuanya ini meningkatkan intensitas persinggungan antarbudaya dan peradaban yang melempangkan jalan bagi proses pertukaran gaya hidup, ilmu pengetahuan, pemikiran dan ideologi melalui imitasi atau learning. Masalah yang muncul kemudian adalah kekacauan identitas kultural, moralitas hingga relijiusitas dalam isu-isu seperti kriminalitas, kenakalan remaja, liberalisasi agama. Sedemikian besarnya kaitan globalisasi dengan seabrek problematika manusia zaman sekarang. Maka pembacaan yang komprehensif tentang konsep atau fenomena tersebut perlu dilakukan. Kesimpulan apapun yang nantinya dihasilkan, hendaknya dijadikan sebagai kerangka berpikir dan bertindak secara proporsional, baik kita sebagai individu maupun bagian dari komunitas sosial tertentu, lepas dari pro atau kontra terhadap fenomena tersebut. A. Mengurai Globalisasi Globalisasi adalah konsep yang multitafsir. Sejak mulai dipopulerkan pada dekade 60-an, hingga kini belum ada kesepakatan di antara para ahli mengenai term tersebut. Ketidaksepakatan ini dikarenakan “kebingungan” mereka tentang aspek apa yang fundamental dari konsep tersebut apakah ekonomi, teknologi, kultur atau ideologi. Secara umum, Marlin Albrow mendefinisikan globalisasi sebagai “sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia semakin tersatukan menjadi sebuah masyarakat dunia atau masyarakat global.”3 Definisi ini masih belum memberikan kejelasan aspek apa dan dalam bentuk apa penyatuan itu terjadi. David Held memberikan keterangan sedikit lebih jelas tentang globalisasi, yakni “sebuah fenomena multidimensional yang mencakup berbagai bidang aktivitas dan interaksi manusia termasuk ekonomi, politik, teknologi, militer, legal, kultural dan lingkungan.”4 Pada kesempatan lain, profesor Ilmu Politik di London School of Economics ini mendefinisikan konsep globalisasi secara lebih komprehensif sebagai “sebuah proses atau kumpulan proses transformasi dalam pola pengorganisasian ruang hubungan dan transaksi sosial – yang mencakup ekstensitas, intensitas, kecepatan and hasil/akibat – yang menyebabkan terjadinya arus dan jaringan aktivitas, interaksi dan pendayagunaan kekuatan yang bersifat transcontinental dan interregional.5 Dari ketiga definisi itu dapat kita lihat, bahwa ruang dan jarak adalah unsur utama dalam globalisasi. Proses global ini lebih semacam eliminasi secara gradual masalah perbedaan ruang dan jarak yang selama ini acap kali menjadi hambatan bagi kelancaran hubungan antarpersonal dan kelompok. Globalisasi mempermudah lalulintas segala sesuatu: orang, barang, ide dan informasi antarpulau, antarnegara dan bahkan antarbenua. Definisi lain mengenai globalisasi dikemukakan Anthony Giddens, yaitu “the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa (intensifikasi hubungan masyarakat di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang ada, dimana peristiwa-peristiwa lokal bisa mendunia dan peristiwa dunia masuk ke ruang-ruang lokal)”6 Dalam definisi Giddens ini, terlihat bahwa teknologi informasi merupakan unsur utama dalam proses intensifikasi hubungan antarmasyarakat secara global ini. Peristiwa-peristiwa seperti pelanggaran HAM, narkoba dan terorisme yang terjadi di satu tempat atau negara, misalnya, dapat menjadi isu global dalam sekejap. Contoh yang paling gamblang adalah peristiwa 11 September 2001 di New York. Dari sebuah isu nasional aksi terorisme di jantung peradaban Amerika itu secepat kilat menjadi isu yang menarik perhatian umat manusia di segala penjuru dunia. Dari segi aktor, Osama bin Laden, tertuduh sebagai dalang aksi berdarah itu, hanyalah seorang pengusaha asal Arab Saudi yang terjangkit paham radikal Islam. Aksi terornya itu mungkin saja dirancang dengan peralatan seadanya, bukan dengan persenjataan canggih yang lazim digunakan militer negara. Tapi, dunia pers dengan perangkat teknologi informasinya membuat aksi “seadanya” Osama itu menjadi begitu “fantastis.” Atas jasa pers dengan teknologinya pula perang kontra-terorisme Amerika bisa mengglobal secepat kilat. Mengenai vitalnya peran teknologi ini ditegaskan oleh Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, bahwa globalisasi “pada prisipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh (menjadi hal-hal) yang bisa dijangkau dengan mudah.”7 Dengan media komunikasi seperti facebook dan twitter, misalnya, seseorang bisa menjalin contact dengan orang-orang di segala sudut dunia cukup dengan duduk santai di depan PC di warnet atau kamar masing-masing dengan biaya yang relatif terjangkau. Bahkan, situs jejaring sosial itu dapat difungsikan lebih dari sekedar media komunikasi personal. Ia dapat pula menjadi media advokasi, kampanye politik, bisnis bahkan kriminalitas – apalagi jika berbicara tentang Google atau Yahoo, dua mesin pencari cerdas yang menyediakan infomasi tentang (hampir) semua yang dibutuhkan oleh semua orang. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan,“Your desk goes with you everywhere you are now (meja kerjamu akan selalu di samping di mana pun kamu berada).”8 Kita bisa berbisnis dengan rekan-rekan kita di luar negeri kapanpun di manapun. Dalam bidang ekonomi, para analis berargumen globalisasi tidak lain merupakan transformasi sistem ekonomi global. The European Commission pada 1997 mendefinisikan globalisasi sebagai “proses dimana pasar dan produksi di negara-negara yang berbeda semakin terhubung terkait satu-sama lain (interdependensi) karena dinamika perdagangan barang, jasa dan arus kapital dan teknologi.”9 Sementara Adreas Bieler mengartikan globalisasi ekonomi sebagai fenomena yang ditandai oleh “peningkatan jaringan produksi transnasional, munculnya pasar finansial global yang terintegrasi, perluasan informalisasi dan deregulasi pasar-pasar buruh, dan munculnya neoliberalisme sebagai ideologi ekonomi yang dominan.”10 Dalam dua pengertian ini, globalisasi memiliki tendensi idelogis. Artinya, interdependensi perekonomian negara-negara merupakan bentuk “kemenangan” ideologi ekonomi liberalisme-neoliberalisme atas ideologi-ideologi ekonomi lainnya. Menurut ideologi ini, keterbatasan setiap negara dalam hal teknologi, sumber daya alam dan manusia, serta infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rakyatnya, memaksa setiap negara untuk menjalin kontak dengan negara-negara lain. Maka supaya proses sosial dan transaksi berjalan mulus – setiap pihak sama-sama diuntungkan – setiap negara harus bermain terbuka dan fair. Negara harus memperkecil perannya dalam pasar sehingga kompetisi akan berjalan sehat dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk bermain dalam persaingan pasar. Oleh karenanya, menurut Frederick S. Mishkin, bagi negara-negara berkembang dan miskin seperti Indonesia ini, globalisasi menjadi kesempatan emas untuk bangkit dan maju. “Melawan globalisasi berarti melawan rakyat miskin di belahan bumi lain, dan sikap ini secara moral tidak boleh dipertahankan. Negara-negara yang kurang maju tidak akan bisa kaya kecuali jika mereka mengglobalkan diri, khususnya mengglobalkan sektor finansialnya. Globalisasi finansial bukan merupakan pilihan, namun merupakan fokus untuk menghadapi era globalisasi besar selanjutnya.”11 Pemahaman globalisasi dalam konteks ekonomi ini kemudian dikenal sebagai economic globalization. Jagdish Bhagwati mendefinisikan globalisasi ekonomi sebagai “integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi internasional melalui perdagangan, direct foreign investment (oleh korporasi dan perusahaan multinasional), arus capital jangka pendek (short-trade capital flows), arus buruh internasional dan manusia pada umumnya, serta arus teknologi.”12 Dalam pengertian inilah globalisasi menjadi nampak begitu seram bagi sebagian orang. Melalui prinsip kebebasan pasarnya, globalisasi membuka celah ketidakadilan. Membebaskan pasar berarti membiarkan anarki mengatur pasar. Tidak ada norma dan institutusi yang mengatur para pelaku pasar kecuali “siapa kuat dia menang, siapa lemah dia mati.” Karena modal adalah unsur utama di dalamnya, sementara para pemilik modal jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan buruh, maka hasilnya jelas: yang kaya yang minoritas menjadi semakin kaya, yang miskin yang mayoritas menjadi kian miskin. Maka disimpulkan,globalisasi adalah wajah lain kapitalisme. Kapitalisme itu buruk. Harus dilawan dan dihentikan – demikian reaksi para mahasiswa kiri yang turun ke jalan dengan slogan “Anti-Globalisasi!”13 Budaya (culture) adalah aspek penting lainnya dalam fenomena globalisasi. Sebagaimana dikatakan Hugh Mackay, “pada beberapa dekade terakhir ini, terjadi pertumbuhan fenomenal dalam sirkulasi global barang-barang kultural (cultural goods) baik dalam segi jarak maupun volume.”14 Barang-barang kultural mencakup ragam yang sangat banyak, jika kita memahami budaya/kultur sebagai lingkungan tempat manusia membuat kehidupannya menjadi bermakna, baik secara individual maupun kolektif, yang mencakup praktek-praktek yang membentuk makna dan bentuk-bentuk material yang menciptakan budaya seperti popular culture, film, seni, sastra, dan lain sebagainya.”15 Bila diperinci, bentuk material budaya tersebut mencakup ilmu pengetahuan, fashion, praktek keagamaan, gaya hidup, arsitektur, ideologi politik dan teknologi. Maka, secara kultural globasisasi merupakan proses distribusi elemen-elemen kebudayaan antarpulau, antarnegara, antarbenua, antaragama, antarsuku, antarras, dan lain sebagainya. Sirkulasi kultural secara global ini tentu memiliki dampak transformatif terhadap kultur setiap masyarakat di seluruh penjuru dunia termasuk negeri kita ini. Persinggungan antarkultur yang intens dalam proses globalisasi ini merupakan kenyataan yang memiliki manfaat dan sekaligus ekses negatif. Tentu kita bersyukur dengan kualitas layanan internet saat ini sehingga kita, misalnya, bisa mengakses referensi-referensi keilmuan seperti jurnal-jurnal ilmiah internasional dan buku-buku dengan harga terjangkau bahkan gratis. Kita bisa mengikuti perkembangan ilmu di Amerika dan Eropa tanpa harus secara fisik hadir di sana. Sebaliknya, kita patut bersedih, malu, dan tergugah dengan maraknya cybercrimes seperti penipuan, perampokan, pelecehan seksual dan lain sebagainya. Kita pun jadi mengernyitkan dahi dengan fenomena kenakalan remaja dan pergaulan bebas akibat penyalahgunaan konsumsi informasi dari media-media cetak seperti majalah maupun elektronik seperti televisi dan internet. Sampai di sini penulis berasumsi bahwa teknologi adalah elemen fundamental dari fenomena globalisasi. Teknologi merupakan sarana transportasi unsur-unsur globalisasi baik manusia (orang), barang, informasi dan ide. Revolusi teknologi transportasi berupa mobil, kereta api dan pesawat membuat mobilitas individu dan masyarakat semakin luas dan cepat. Sementara kemajuan pesat teknologi informasi seperti internet dan televisi membuat transfer informasi, ide, ilmu pengetahuan hingga uang menjadi kian mudah dan cepat. Terlaksananya forum-forum global, terciptanya lembaga-lembaga regional-internasional, menjamurnya MNCs (Multinational Corporations) dan TNCs (Transnational Corporations) sangat didukung oleh kemudahan, kecepatan dan efisiensi dalam mobilitas para pemimpin negara dan pemilik perusahaan, serta kemudahan, kecepatan dan efisiensi proses komunikasi dalam bisnis dan diplomasi. Globalisasi dalam semua aspeknya baik ekonomi, politik maupun budaya ditopang oleh perkembangan kualitas dan kuantitas teknologi terutama transporatasi dan komunikasi. Teknologi pun menentukan jenis-jenis isu yang berkembang dalam sejarah globalisasi. Terkait dengan ini, Thomas L. Friedman membagi globalisasi ke dalam tiga tipologi.16 Pertama adalah Globalisasi 1.0, yang berlangsung dari 1492 – saat Columbus berlayar mencari Dunia Baru – hingga 1800. Tema besar globalisasi era ini adalah tentang seberapa besar kekuatan negara untuk menaklukkan dunia. Pada era ini, setiap negara berkompetisi memperluas wilayah taklukkannya. Elemen utama dalam pertarungan global era ini adalah armada dan teknologi perang baik di laut maupun di darat, seperti kekuatan kuda, jumlah dan keterampilan pasukan, jumlah kapal, dan lain-lain. Di era Globalisasi 1.0 ini, politik menjadi faktor utama yang menggerakkan ekspansi, sedangkan ekonomi, budaya termasuk agama adalah faktor turunan. Tahun 1800 hingga 2000 adalah tahap Globalisasi 2.0. Agen kunci dalam proses integrasi global ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Wacana yang berkembang pada era ini adalah seputar ekonomi, yakni (pencarian) pasar dan buruh secara global. Unsur yang mendukung perkembangan ini adalah teknologi transportasi dan telekomunikasi, di samping tentunya teknologi industri, yang bermula dari penemuan mesin uap. Selanjutnya, akselerasi integrasi global ini berjalan seiring dengan perkembangan dua bidang teknologi ini seperti kereta api, kapal, telegrap, telepon, komputer/PC, satelit,fiber-optic cabel, dan versi awal www (the World Wide Web). Ekonomi adalah penggerak utama tahap globalisasi 2.0. Pada tahap inilah diskurus-diskursus seperti kapitalisme, liberalisme, neoliberalisme, sosialisme, demokrasi dan komunisme muncul dan berkembang. Sejak sekitar tahun 2000, tahap mutakhir fenomena intergrasi global atau Globalisasi 3.0 mulai berjalan – saat dimana dunia susut dari kecil menjadi sangat kecil dan kian datar.17Lokomotif era Globalisasi 3.0 ini adalah perpaduan tiga perangkat teknologi, yaitu personal computer (yang memungkinkan setiap orang mengolah data-data digital kapan saja di mana saja), fiber-optic cabel (yang membuka lebih banyak akses bagi pemilik komputer atau laptop terhadap konten-konten digital), dan work flow software (yang memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan rekan-rekan mereka, mengolah konten digital yang sama tanpa persoalan jarak dan waktu di antara masing-masing pihak). Perkembangan terbaru ini membuka jalan bagi aktor baru dalam kompetisi global yaitu individu. Di era Globalisasi 3.0 ini, tidak hanya negara dan korporasi, seorang individu pun berhak dan mampu “mengglobalkan” diri, bersaing dengan individu-individu lain di seluruh dunia, bahkan bersaing dengan korporasi dan negara. Fenomena ini terjadi secara merata di seluruh penjuru dunia termasuk di negara belum maju seperti kita ini. Setiap orang bisa mengakses internet kapan saja di mana saja di warnet, kampus dan kafe yang menyediakan layanan Wi-Fi gratis, atau dengan blackberry dan bahkan hape. Maka pada tahap ketiga globalisasi ini, tahap dimana akses telekomunikasi terbuka bagi siapa saja, isu-isu yang mewarnainya tidak melulu ekonomi dan politik, tetapi lebih beragam seperti moralitas, agama, gaya hidup dan identitas lokal. B. Aktor-Aktor Globalisasi Benang merah yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa, globalisasi saat ini adalah fenomena tentang semua orang. Artinya, aktor yang berperan dalam proses global tersebut adalah banyak: negara, kelompok negara, invidividu, kelompok individu dan korporasi. Aktor-aktor global ini bermunculan seiring dengan perkembangan tahapan globalisasi seperti diceritakan Friedman di atas – Globalisasi 1.0: negara, Globalisasi 2.0: negara dan korporasi, Globalisasi 3.0: negara, korporasi, individu. Perpindahan Globalisasi dari fase 1.0 ke 3.0 bukan berarti hilangnya unsur-unsur dan agen-agen pendukungnya masing-masing. Unsur-usur dan aktor-aktor itu tetap ada, berkembang, berkelindan. Dari segi cultural goods -nya, kapal dan kereta api, misalnya, sebagai mode awal transportasi modern hingga kini masih ada dan telah mengalami kemajuan pesat baik jumlah maupun kualitasnya. Sebagian perangkat teknologi mungkin sudah dimusiumkan seperti telegrap, namun fungsinya telah digantikan dengan perangkat lain yang jauh lebih canggih seperti faximili dan email. Sementara dari segi aktor, negara yang pada mulanya (Globalisasi 1.0) adalah pemain utama dan satu-satunya dalam hubungan internasional, kini masih ada. Namun seiring dengan bermunculannya aktor-aktor lain, negara pun akhirnya harus mendefiniskan ulang dirinya, berbagi keuntungan dan tugas dengan aktor-aktor baru tersebut.18 Maka, deklarasi Kenichi Ohmae bahwa negara telah “mati” terasa terburu-buru dan berlebihan.19 Pada kenyataannya negara masih hidup. Namun dalam sistem internasional kontemporer, ia memang tidak sendiri, tapi memiliki banyak teman.20 Perannya dalam sistem global masih tetap vital, paling tidak sebagai penjamin terlaksananya hak-hak asasi warga negaranya dari ketidakadilan yang mungkin dihadapi saat bergaul dengan komunitas global. Gambaran paling jelas misalnya terlihat dalam peristiwa terorisme 11 September 2001. Sesaat setelah peristiwa berdarah itu, diskursus tentang perang melawan terorisme berkumandang dari Washington. Perang AS-Afghanistan (Taliban) pada 2001 dan AS-Irak pada 2003 sebagai buah dari diskursus tersebut kemudian menjadi ajang pengukuhan negara-negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional. Contoh lain tentang supremasi negara yang lekat dengan kita adalah kasus-kasus penyiksaan TKW kita di luar negeri. Dalam kasus Sumiati, misalnya, perempuan asal Dompu, NTB, yang disiksa majikannya di Arab Saudi, yang menjadi garda terdepan untuk membela dan menyelamatkan perempuan malang itu adalah negara. Maka pemerintah Indonesia segera melakukan upaya diplomatik menuntut pertanggungjawaban pemerintah Arab Saudi – terlepas manjur atau tidaknya upaya tersebut. Benang merah lain yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa, globalisasi adalah anarki. Proses global tersebut tidak lain merupakan puncak ekspresi kebebasan manusia. Kebebasan tanpa batas. Kebebasan tanpa aturan. Siapa kuat dia berjaya, dan siapa lemah dia binasa. Siapa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dia survive, dan siapa yang tidak, dia terlindas. Secara hakiki, fenomena globalisasi berangkat dari kebutuhan manusia untuk memenuhi hasrat-hasratnya yang tiada batas, yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kemampuannya untuk mengolah akal pikiran mendorong manusia untuk menciptakan perangkat-perangkat untuk memudahkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan mencapai mimpi-mimpinya. Dari sinilah berbagai perangkat teknologi komunikasi, transportasi, industri dan lain sebagainya yang saat ini ada tercipta. Dengan perangkat-perangkat tersebut, mereka dapat dengan relatif bebas mempergunakannya untuk apa saja. Maka secanggih apapun pemerintah menyensor konten-konten tertentu internet, misalnya, selalu ada cara untuk mensiasatinya. Bahkan, badan intelejen sekaliber CIA pun bisa dibobol, bukan oleh negara atau bandan intelejen negara lain, tapi oleh wikileaks.com, situs milik sebuah organisasi internasional. Contoh-contoh ini mengindikasikan bahwa, siapa saja bisa berperang dengan siapa saja: negara vs. negara, individu vs. negara, atau individu vs. individu. Wikileaks.com berperang dengan Amerika dan negara-negara sekutunya, begitu pula Osama bin Laden cs. juga berperang melawan Amerika – individu/kelompok individu vs. negara. Sementara China dengan inovasi-inovasinya dalam ekonomi, politik, budaya dan teknologi berupaya merebut tahta superpower dunia dari Amerika – negara vs. negara. Di lain pihak, Google dan Yahoo, atau facebook dan twitter bersaing memperebutkan pasar maya dunia – korporasi (individu/kelompok) vs. korporasi. Jadi jelas, di era Globalisasi 3.0 ini negara tetap sebagai pemain vital dalam kancah global terutama politik dan ekonomi. Namun, kini negara tidak lagi memiliki cukup vitalitas untuk memonopoli permainan. Ia harus mengakui bahwa ia lemah tanpa bantuan dari aktor-aktor lain. Ia juga harus mengakui bahwa dirinya bukan lagi pemain satu-satunya dalam kancah internasional. C. Membingkai Globalisasi Dari perbincangan di atas dapat diasumsikan bahwa, globalisasi tidak lain merupakan fenomena yang akan terus berlangsung selama manusia masih berpikir dan berinovasi untuk memenuhi hasrat-hasratnya. Memahami globalisasi sebagai sebuah fenomena alamiah akan menghilangkan perdebatan apakah hal itu baik atau buruk bagi kita sebagai individu maupun bangsa, sehingga tidak ada lagi persoalan setuju atau tidak akan fenomena tersebut. Globalisasi bukan sebuah pilihan. Bukan juga keharusan. Ia adalah kebutuhan, dan kenyataan sejarah yang harus dihadapi yang merupakan konsekuensi dari fitrah manusia sebagai mahluk berkebutuhan dan berpikir – kebutuhan manusia yang terus berubah/bertambah dari waktu ke waktu, pikiran manusia yang terus berkembang. Maka, soal yang muncul kemudian adalah, bagaimana kesiapan kita sebagai individu maupun negara/bangsa menghadapi globalisasi 3.0 ini? Pertanyaan seperti itu adalah penting untuk disampaikan, ditemukan jawabannya sekaligus solusinya, karena sebagaimana dipaparkan di atas, globalisasi adalah anarki. Kebebasan yang diusungnya akan melahirkan ketidakbebasan. Artinya, jika kita tidak memiliki kompetensi, sebagai individu kita tidak akan memilki masa depan yang cerah. Jika kita tidak memiliki modalitas teknologi, politik, ekonomi, militer dan budaya, sebagai negara kita akan selalu tergilas oleh negara-negara lain yang memilikinya. Mau tidak mau, siap tidak siap, saat ini kita dihadapkan pada kondisi dunia yang menuntut kesigapan setiap entitas hidup, secara individual maupun kelompok, untuk bertahan dan berkompetisi. Negara tetap menjadi entitas puncak yang bergulat dalam kompetisi tersebut, karena negara adalah puncak otoritas yang dimiliki manusia. Melalui social contract, manusia melabuhkan kebebasannya untuk menjamin tercapainya kebutuhan-kebutuhannya.21 Atau dengan penjelasan lain, negara adalah puncak identitas kolektif manusia, dimana sekelompok individu memiliki cerita bersama (joint narrative) tentang dirinya sebagai aktor kolektif (corporate actor) untuk membedakan dirinya dengan aktor-aktor kolektif lain.22 Sebesar apapun sebuah MNC atau TNCs, pemilik dan para pekerjanya masih memiliki kewarganegaraan. Sekuat apapun para pelaku pasar di Amerika, dan seluas manapun pengaruh mereka dalam kancah bisnis global, mereka terbukti masih membutuhkan dana talangan dari pemerintahnya saat terjerat krisis keuangan global baru-baru ini. Dalam konteks kita, senetral apapun Newmont, Freeport, Mc-donald, KFC dan CocaCola, misalnya,dalam perpolitikan di Indonesia, keberadaannya sering kali diidentikkan dengan negara asalnya Amerika Serikat – lepas dari fakta tentang keuntungan pemerintah AS dari beroperasinya perusahan-perusahaan milik warganya itu di Indonesia. Untuk itu, analisa teoritis yang tetap mendudukkan negara sebagai pemain puncak untuk merumuskan respon terhadap globalisasi menjadi urgen. Salah satu kerangka teoritis yang dapat digunakan adalah teori Robert Gilpin mengenai anarki dan transformasi sistem internasional. Dalam War and Change in World Politics, Gilpin berpendapat bahwa sistem internasional, dimana negara-negara berperan sebagai aktor-aktor utama, adalah anarkistis. Masing-masing aktor bertindak sesuai dengan kebutuhan nasionalnya. Mereka saling berkompetisi memperebutkan kekayaan dan kekuatan. Lagi-lagi, siapa yang kuat dia mengekspoitasi, dan sebaliknya siapa yang lemah dia dieksploitasi.23 Merujuk pada teoritisi-teoritisi sosial seperti Marchiavelli, Montesquieu dan Ibnu Khaldun, Gilpin selanjutnya berasumsi, bahwa karakter domestik sebuah negara berpengaruh pada kekuatan negara tersebut dalam kancah global. Ketika sebuah negara memiliki struktur power domestik yang kuat dalam politik, ekonomi, militer dan teknologi, negara tersebut akan mampu berkompetisi dengan negara-negara lainnya. Sebaliknya, jika dalam aspek-aspek itu lemah maka negara tersebut akan tertinggal atau bahkan runtuh akibat kalah bersaing.24 Rumusan teoritis tersebut kiranya tepat untuk melihat fenomena negara kita yang terpuruk dalam pergaulan internasional. Meskipun baru-baru ini ada laporan bahwa Indonesia saat ini merupakan kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara,25 namun “prestasi” tersebut tidak serta-merta meningkatkan postur politiknya di kawasan. Hal ini mengingat bahwa, angka tersebut adalah hasil perhitungan makro, sedangkan secara mikro angka berbicara sebaliknya. Perhitungan tersebut hanya melihat angka total keuntungan negara, tanpa melihat dari mana dan bagaimana keuntungan tersebut bisa diperoleh negara. Keuntungan tersebut diperoleh dari hasil perasan keringat puluhan juta rakyat miskin negeri ini yang menjadi buruh di negeri-negeri tetangga seperti Malaysia dan Arab Saudi, dan buruh di pabrik-pabrik milik korporasi-korporasi baik domestik maupun asing. Namun sayangnya, perhitungan secara makro inilah yang lebih disukai pemerintah kita untuk menilai kinerjanya. Padahal, perhitungan dengan cara ini sangat kurang merepresentasikan kondisi real. Jumlah penduduk miskin kita kian tahun kian bertambah. Menurut perkiraan Bank Dunia pada 2006, angka kemiskinan di Indonesia mencapai separu dari jumlah penduduknya seiring dengan terus melonjaknya harga sembako!26 Persoalan menjadi kian rumit ketika kita melihat fakta tentang korupsi, nepotisme dan rendahnya mutu kinerja para wakil rakyat dan birokrasi kita. Belum lagi ketika dihadapkan pada pemandangan bencana alam yang terus mengguyur, dan segala persoalan lain dalam bidang pendidikan, kualitas SDM, moralitas, kerukunan antaragama, terorisme, HAM, infrastruktur, dan lain-lain. Dengan seabrek problematika ini, wajar saja jika negara kita sulit mempertahankan apalagi meningkatkan kredibilitasnya dalam sistem internasional. Sebut saja, sebagai contoh, ketegangan negara kita dengan Malaysia terkait pelecehan, oleh pemerintah maupun rakyat Negeri Jiran itu, atas harga diri kita dalam masalah perbatasan, budaya dan TKI. Belum pernah sekali pun, sejak kepemimpinan SBY ini, pemerintah kita bertindak secara proporsional sehingga membuat tetangga kita itu jera. Persoalan besar ini dapat dijawab dengan sangat sederhana: negara kita tidak memiliki apa-apa yang membuat Malaysia takut! Lepas dari siapa yang memimpin negeri ini, yang jelas saat ini secara umum rakyat Malaysia lebih kaya, makmur, terdidik dari pada kita Indonesia.27 Pemerintahannya pun lebih solid, bertanggungjawab dan jujur pada rakyatnya dari pada kita. Sementara keberadaan 2 juta lebih rakyat bekerja di Malaysia menunjukkan ketergantungan besar kita sebagai negeri tetangga itu. Kompleksitas permasalahan seperti yng dicontohkan itu membuat negara (pemerintah) kita memiliki domestic agential power yang lemah (otonomi dari pengaruh aktor-aktor non-negara di dalam negeri).28Lemahnya domestic agency ini melemahkan pula international agential power-nya. Ini karena negara kita tidak memiliki landasan material yang kokoh, sementara retorika dan diplomasi saja tidak cukup untuk membangun power dalam pergaulan internasional. Untuk itu, kembali mengutip Gilpin, setiap negara hendaknya memiliki kemampuan adaptasi (adaptability) yang tinggi terhadap dinamika perubahan global. Kemampuan tersebut adalah terkait dengan kemampuan negara itu untuk keluar dari belenggu ekonomi, sosial dan teknologi.29 Dengan otoritas yang dimilikinya, negara harus membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong rakyatnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang kreatif dan produktif. Hal ini pada akhirnya akan memacu pertumbuhan kesejahteraan masyarakat dan pada gilirannya pertumbuhan kekuatan negara secara nasional.30 Dengan kesejahteraan yang terjamin, masyarakat akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk merenung tentang pendidikan, identitas, budaya dan relijiusitasnya yang kian hari kian pudar. Karena selama ini, kesibukan mereka untuk mencari sesuap nasi tidak menyisakan waktu dan tenaga untuk mengurusi hal-hal semacam itu. Dengan kata lain, pemerintah harus menata kembali kinerjanya secara total. Pancasila dan Undang-Undang Dasar telah cukup memberikan prinsip-prinsip bagi pemerintah untuk mengelola negara baik ekonomi, politik, pendidikan, sosial, keagamaan, budaya, hukum dan keamanan. Sekarang tinggal persoalan bagaimana para pemegang kekuasaan baik di pusat maupun daerah merekonstruksi komitmen mereka untuk bekerja secara profesional. Pengelolaan yang dilakukan harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak untuk memperoleh hak-haknya sebagai warganegara. Demikianlah gambaran ideal tentang bagaimana membangun kemampuan adaptabilitas negara Indonesia terhadap dinamika sistem internasional dalam tahap Globalisasi 3.0 ini. Nampaknya jika melihat fakta tentang kualitas kinerja pemerintah dan wakil rakyat saat ini, gambaran ideal tersebut masih hanya sebatas mimpi. Untuk itu, perlu pembacaan berbeda terhadap teori adapatiblitas Gilpin ini. Pada bagian lain, Gilpin menyatakan, “pada akhirnya, karakter dasar tatanan domestik sebuah masyarakat (the nature of domestic arrangements) dapat memberikan masyarakat tersebut keuntungan atau kerugian, tergantung pada kapasitasnya untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan dan kesempatan-kesempatan yang ada di sekitarnya.”31 Di sini, Gilpin memberikan penekanan pada individu-individu yang membentuk masyarakat/negara tersebut. Artinya, kualitas masyarakat ditentukan oleh kualitas individu-individu anggotanya. Kemampuan negara untuk survive dan berprestasi dalam kompetisi global 3.0 ditentukan oleh kemampuan warganya untuk merespon tantangan global tersebut. Dalam hirarki politik nasional kita, jika pemerintah dan para wakil rakyat ternyata tidak memberikan jaminan akan perubahan the nature of domestic arrangements, maka perubahan tersebut harus dimulai dan dilakukan oleh rakyat itu sendiri – oleh saya, anda dan kita semua sebagai anak bangsa. Perubahan tersebut tidak perlu berpola top down, tetapi bottom up. Tops down berarti perubahan tersebut digerakkan dari atas oleh negara. Artinya, seperti disinggung di atas, pemerintah membuat dan menjalankan strategi kebijakan yang menggerakkan sektor-sektor real dan masyarakat sehingga semua pihak dapat belajar, bekerja, berkreasi dan berproduksi. Di samping itu, pemerintah memperbaiki sistem kerjanya dan membangun fasilitas-fasilitas yang menopang pembangunan. Pola inilah yang saat ini ditempuh China.32 Sementara pola bottoms up berjalan sebaliknya dan yang sejauh ini berjalan di India.33 Dalam pola ini, perubahan bergerak dari bawah oleh individu-individu dalam masyarakat. Kemampuan adaptasi India, misalnya, terhadap gelombang Globalisasi 3.0 terletak pada kemampuan masyarakat India baik individu maupun korporasinya untuk belajar, bekerja, berkreasi, berinovasi dan berproduksi. Dengan sistem demokrasinya – meskipun korup – seperti halnya di Indonesia, India membuka pasarnya bagi para investor, sehingga para pelaku industri lokal dapat bersaing dengan aktor-aktor industri asing. Namun demikian, yang patut dicatat dari pengalaman India adalah, keterlibatan aktif elit-elit ekonomi untuk memberdayakan masyarakat India yang sebagian besar masih terjerat kemiskinan. Sektor-sektor privat itu “membantu” pemerintah menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat. Dengan pola demikianlah India setahap demi setahap dan pasti bangkit dari sebuah negara miskin di anak benua India, bersama dengan China menjadi calon pesaing utama Amerika Serikat sebagai global powers. Dari dua negara teladan itu, India nampak lebih patut untuk dicontoh kita di Indonesia. Dengan segala kekurangan yang dimiliki para pemimpin kita, perubahan bangsa tetap harus dan bisa dilakukan oleh saya, anda, dan kita semua. Maka, sebagaimana di India, yang perlu dibangun dan dibudayakan oleh kita adalah kemauan dan komitmen kita untuk belajar, bekerja keras, berkreasi, berinovasi dan memiliki kepedulian sosial. Hal ini merupakan bentuk penyiasatan sekaligus kritik terhadap figur-figur yang duduk di hirarki kekuasaan baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, perubahan dibangun dari bawah, berkembang dan akhirnya mendorong ke atas (pemerintah dan wakil rakyat) hingga terciptalah perubahan total secara nasional. Dari sebuah negara berkembang di ujung tenggara benua Asia akan menjadi kekuatan baru dalam kancah pergaulan global. Sampai di sini, persoalan yang muncul adalah siapa yang memulai dan menggerakkan perubahan ini. Beberapa jawaban mungkin dapat diajukan di sini. Satu di antaranya adalah apa yang ditawarkan Moeslim Abdurrahman, yaitu kelas menengah.34 Sementara kelas atas adalah kaum elit yang menduduki statusquo, kelas bawah adalah kelompok masyarakat yang kerap menjadi korban hegemoni dan dominasi kelas di atas. Moeslim kemudian membagi dua kelas menengah, yaitu kelas menengah ekonomi dan kelas menengah intelektual. Nah, di antara dua kelompok dalam kelas menengah ini, kelompok intelektual adalah yang paling memungkinkan untuk menggerakkan perubahan, karena kelompok ekonomi cenderung acuh terhadap persoalan politik. Di dalam kelas menengah intelektual itu ada ilmuan, agamawan, budayawan, dosen dan mahasiswa. Di antara mereka ini, penulis berpendapat, mahasiswa adalah kelompok yang paling potensial untuk cita-cita perubahan bangsa – di samping kelompok-kelompok lain juga bekerja dan menggerakkan masyarakat dengan caranya masing-masing seperti menulis, berceramah dan melakukan penelitian. Alasan yang dapat dikemukakan adalah, mahasiswa adalah posisi sosial yang diciptakan dengan fungsi sebagai agen perubahan. Setiap individu yang memasuki jenjang mahasiswa (perguruan tinggi) akan menjalani proses pembentukan karakter intelektual dan sekaligus kualitas personal. Karakter intelektual dibangun melalui pembelajaran di kampus dan forum-forum diskusi di sekitarnya. Sementara kualitas personal dibangun melalui keaktifannya dalam organisasi-organisasi kampus dan kemasyarakatan. Bidang studi yang digeluti mahasiswa di jurusannya masing-masing akan menjadi modal dasar untuk terjun di masyarakat setelah mereka lulus. Di samping akan menjadi modal praktis, ilmu-ilmu yang dipelajarinya akan membentuk paradigma dan pandangannya tentang dunia (worldview). Hal inilah yang menuntunnya untuk merangkai cita-cita atau gambaran hidupnya ke depan. Berbeda dengan golongan masyarakat yang tidak berpendidikan tinggi, mahasiswa akan selalu memiliki orientasi karir dan pendidikan lanjutnya sesuai dengan disiplin keilmuannya. Paling tidak, orientasi kehidupannya akan dibangun berdasarkan rasionalitas sesuai dengan kapasitas disiplin keilmuan atau intelektualitasnya, bukan berdasarkan tenaga atau keberuntungan semata. Pelan tapi pasti, hal ini akan mengarah pada peningkatan profesionalitas di kalangan masyarakat ke depan, sehingga pelan tapi pasti, hambatan-hambatan klasik yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme akan terkikis. Organisasi-organisasi atau aktivitas-aktivitas rutin lain di luar kampus yang digeluti mahasiswa juga merupakan media efektif untuk membangun pemikiran kritis, empati serta relasi sosial. Organisasi-organisasi kemahasiswaan juga dapat dimanfaatkan sebagai media awal mahasiswa untuk mempertangguh dan mengaplikasikan disiplin ilmunya. Bersama-sama dengan rekanan organisasinya, misalkan, seorang mahasiswa bisa membuat forum-forum diskusi, dan kegiatan-kegiatan sosial dalam bentuk advokasi, penyuluhan, pelatihan dan lain sebagainya. Lebih dari itu semua, mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di masa depan, dengan posisi-posisi sosial yang kelak mereka duduki apakah di pemerintahan, suasta, masyarakat sipil, dan lain-lain. Maka dari itu, setiap mahasiswa dituntut untuk serius dan disiplin menggeluti bidang keilmuan yang menjadi pilihannya. Hal ini penting untuk membangun karakter intelektualitas dan profesionalitas mereka. Dengan begitu mereka akan mampu bekerja atau menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan bidang keilmuannya. Mereka akan menjadi aset besar bagi bangsa ini. Ketika mereka kelak mengisi pos-pos sosial di bidang politik, ekonomi, pendidikan, perdagangan dan lain sebagainya, mereka akan mampu bekerja secara profesional. Dengan begitu pula, bagi mereka yang berkesempatan untuk melanjutkan studi hingga jenjang terakhir (S3), mereka akan menjadi tenaga-tenaga ahli di bidangnya masing-masing. Ahli-ahli inilah yang kemudian akan memberikan kontribusi besar kepada masyarakat dan bangsa dengan karya-karya dan penemuan-penemuannya. Mahasiswa juga dituntut untuk peka terhadap perkembangan sosial dan internasional. Jika mahasiswa mengikuti dengan sungguh-sungguh aktivitas-aktivitas akademik di kampus seperti tugas kuliah, observasi dan penelitian, maupun di organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti diskusi hingga demonstrasi, mereka akan menyadari bahwa, apapun jurusannya, semuanya itu menyentuhkan mereka langsung dengan persoalan-persoalan bangsa seperti kemiskinan, kekurangan pangan, kenakaln remaja, kerusakan hutan, korupsi, pelanggaran HAM, bencana alam, dan lain sebagainya. Di luar itu, namun masih terkait, mahasiswa adalah kelompok sosial yang familiar dengan produk-produk material globalisasi seperti internet, surat kabar, majalah, buku, jurnal, televisi, dan lain-lain. Keseriusan menempa diri dengan belajar, berdiskusi, menulis, berkreasi dan berkarya akan mendorong mahasiswa untuk memanfaatkan sarana-sarana tersebut dengan sebaik-baiknya secara positif. Inilah yang dilakukan bangsa India akhir-akhir ini. Karakter domestik India yang unggul saat ini adalah modal manusianya (human capital), yaitu dengan pertumbuhan yang sangat cepat dalam hal jumlah kaum terpelajar, entrepreneur, menejer dan individu-individu pebisnis.35 Sebuah laporan menyebutkan, pada 2004 saja, India meluluskan 350.000 insinyur dalam beragam bidang keahlian, jauh di atas Amerika yang hanya menelorkan 70.000 sarjana teknik. Bahkan China menempati posisi teratas yakni 600.000 insinyur baru.36 Mereka adalah individu-individu penggerak perubahan bangsanya. Orang-orang muda itulah yang mengisi pos-pos pembangunan di negaranya, bukan orang lain. Mereka pula yang memboyong industri-industri negerinya, barang maupun jasa, berkeliling dunia. D. Kesimpulan Globalisasi adalah kebutuhan dan sekaligus kenyataan yang harus dihadapi. Apa yang saat ini telah dicapai India dan China hakekatnya adalah hak bagi setiap bangsa dan negara. Kuncinya terletak pada kesiapan, kemauan dan tekad setiap negara untuk mencapainya. Jika negara (pemerintah) kita tidak memiliki kapabilitas untuk beradaptasi dengan Globalisasi 3.0, maka tidak berarti Indonesia akan mati. Negeri ini masih memiliki rakyat. Rakyat masih memiliki mahasiswa. Mereka adalah kader-kader penggerak perubahan bangsa saat ini dan di masa depan. Sekarang mereka tengah menempa diri dengan belajar, berdiskusi, menulis, berkreasi, berkarya, berprestasi dan berkompetisi, mempersiapkan diri untuk tugas mulia itu. Bukankah begitu kawan-kawan? 22 November 2010 Bahan Bacaan Buku Abdurrahman, Moeslim. (2000). On Hajj Tourism: In Search on Piety and Identity in the New Order Indonesia (Dissertation). University of Illinois at Urbana-Champaign. Albrow, Marlin. (1990). Globalization and Society. Newburry Park, Calif: Sage. Azizi, A. Qodri. (2003).Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baylis, John & Steve Smith. (2005).The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press. Bhagwati,Jagdish. (2004). In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press. Bieler, Andreas, Ingemar Lindberg & Devan Pillay. (2008). Labour and the Challenges of Globalization: What Prospects for Transnational Solidarity? London: Pluto Press. Croucher, Sheila L. (2004). Globalization and Belonging: The Politics of Identity in a Changing World. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers. Friedman. Thomas L. (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Picador. Gilpin, Robert. (1981). War and Change in World Politics. New York: Cambridge University Press Hermawan, Yulius P. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hobson, John M. (2000). The State and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press. Indra, Jonathan Xavier & Renato Rosaldo (Eds.). The Anthropology of Globalization. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc. Mishkin, Frederick S. (2006).The Next Great Globalization. Princeton: Princeton University Press. Steger. Manfred B. (2003). Globalization: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press. Ohmae, Kenichi. (1995). The End of The Nation-State. New York: Simon and Schuster Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. (1993). International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism (Second Edition). New York: Macmillan Publishing Company. Wendt, Alexander. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Zakaria, Fareed. (2009).The Post-American World. New York: W.W. Norton & Company, Inc. Koran Kompas, 18 Agustus 2010. Posman Sibuea. Republik Sembako. Kompas, 23 Agustus 2010. The New York Times, 5 Agustus 2010 Penulis saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang Komisariat Fisip UMM. 1Yulius P. Hermawan. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor , Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu,hal.117 2 Sheila L. Croucher. (2004). Globalization and Belonging: The Politics of Identity in a Changing World. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc, hal.15 3 Marlin Albrow. (1990). Globalization and Society. Newburry Park, Calif: Sage, hal.7 4 Croucher. Op.cit, hal.11 5 Manfred B. Steger. (2003). Globalization: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, hal.10 6Ibid. 7A. Qodri Azizi. (2003). Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.19 8Thomas L. Friedman. (2005).The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Picador, hal.195 9Croucher. Op.cit, hal.13 10Andreas Bieler, Ingemar Lindberg & Devan Pillay. (2008). Labour and the Challenges of Globalization: What Prospects for Transnational Solidarity? London: Pluto Press, hal.1 11Frederick S. Mishkin. (2006).The Next Great Globalization. Princeton: Princeton University Press, hal.15-16 12 Jagdish Bhagwati. (2004).In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press, hal.3 13 Ibid., hal.21-22 14 Croucher.Op.cit, hal.15 15Jonathan Xavier Indra & Renato Rosaldo. (2002). Introduction: A World in Motion. Dalam Jonathan Xavier Indra & Renato Rosaldo (Eds.). The Anthropology of Globalization. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc., hal. 10 16 Friedman. Op.cit, hal.9-11 17Pada Globalisasi 1.0 ukuran dunia berubah dari luas menjadi sedang; Globalisasi 2.0 membuat ukuran dunia dari sedang menjadi kecil. 18John Baylis & Steve Smith. (2005). The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, hal.739 19Kenichi Ohmae. (1995). The End of The Nation-State. New York: Simon and Schuster. 20 Dalam tipologi perspektif hubungan internasionalnya oleh Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, yaitu realism, pluralism dan globalism, pluralism lah yang mengakui peran penting aktor-aktor non-negara dalam kancah politik global. Bertolak pada perspektif inilah kami membangun argumentasi dalam tulisan ini, meskipun pembicaraan tentang globalisasi lebih dari sekedar seputar politik dunia seperti yang menjadi fokus tema diskusi dua penulis itu. Paul R. Viotti & Mark V. Kauppi. (1993).International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism (Second Edition).. New York: Macmillan Publishing Company, hal.228-229 21John M. Hobson. (2000). The State and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, hal,21 22 Alexander Wendt. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University Press, hal.224-225 23Robert Gilpin. (1981).War and Change in World Politics.New York: Cambridge University Press, hal.7 24Ibid., hal.96-105 25The New York Times, 5 Agustus 2010 26Posman Sibuea. Republik Sembako. Kompas, 23 Agustus 2010 27Sebagai contoh, Pada 2009, Human Development Index Indonesia dilaporkan jauh tertinggal di bawah Malaysia, Vietnam, Thailand dan Filipina. Apalagi jika dibandingkan dengan Singapura, Jepang dan Amerika. Kompas, 18 Agustus 2010. 28Hobson. Op.cit, hal.31-32 29Ibid., hal.32-36 30Gilpin. Op.cit, hal,97 31Gilpin. Op.cit, hal,102 32 Fareed Zakaria. (2009). The Post-American World. New York: W.W. Norton & Company, Inc., hal.133-134 33Ibid., hal.133-140 34 Moeslim Abdurrahman. (2000). On Hajj Tourism: In Search on Piety and Identity in the New Order Indonesia (Dissertation). University of Illinois at Urbana-Champaign, hal. 1-20. 35 Zakaria.Op.cit, hal.135 36Ibid., hal.187 dari: http://www.facebook.com/notes.php?id=1576934224¬es_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=501023058827

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam