Saturday, January 15, 2011

KEBANGKITAN IRAN:Iskhtisar buku Iran and the Rise of its Neoconservatives: The Politics of Tehran’s Silent Revolution

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad Jika ditanya “siapa sekarang yang paling berani melawan Amerika?” mungkin orang akan banyak sepakat menjawab “Iran.” Dalam beberapa tahun ini negeri kaum mullah ini memang seperti menjadi bintang di pemberitaan internasional karena kebijakan-kebijakan luar negerinya yang berani berseberangan bahkan bertubrukan dengan kepentingan-kepentingan AS. Ditambah lagi dengan retorika-retorika presidennya yang panas di telinga AS dan anak emasnya di Timur Tengah, Israel. Padahal sebelum Ahmadinejad berkuasa, di bawah presiden Ayatullah Muhammad Khatami (1997-2001 dam 2001-2005) Iran sebenarnya negara yang disegani kawan maupun lawan. Konsep Dialog Antarperadaban yang digagas Khatami pada 2001 menjadi puncak pencitraan Iran sebagai “sahabat dunia.” Bahkan pada awal pemerintahannya, Iran dipercaya sebagai tempat diselenggarakannya pertemuan rutin negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam). Kontras dengan itu, kini di bawah Ahmadinejad, Iran menjadi negara yang dibenci lawan dan ditakuti kawan. Seperti “kerasukan setan,” Iran tiba-tiba mengobarkan lagi kebenciannya terhadap Israel. Dalam pidatonya di konferensi bertema “the World without Zionism” yang digelar di Teheran pada 2006, Ahmadinejad lantang menyerukan agar Israel dihapus dari peta dunia. Pada tahun yang sama Iran juga mengumumkan memulai kembali proyek pengembangan nuklirnya, dan keukeuh melanjutkan ambisinya itu meskipun ditentang keras oleh AS dan PBB. Tanpa sedikit pun gentar, Iran menghadapi semua sanksi dan ancaman AS. Ada apa dengan Iran? Buku Iran and the Rise of its Neoconservatives: The Politics of Tehran’s Silent Revolution mungkin yang pertama menjawab pertanyaan itu secara komprehensif. Buku ini ditulis berdua oleh Anoushiravan Ehteshami, ahli Iran dari Durham University dan Mahjoub Zweiri, peneliti senior di University of Jordan. Buku yang penulisannya dipersiapkan sejak setahun sebelum Ahmadinejad berkuasa ini menawarkan, ada dua faktor yang menyebabkan perilaku Iran menjadi radikal sejak Ahmadinejad, external dan internal pressure (Ehteshami: 2007,97-100). Radikalisasi Amerika External pressure adalah serangan tiga arah dari AS. Ini terkait erat dengan radikalisasi perilaku AS sejak peristiwa 11 September. Pertama, pada 2002 bersama dengan Irak dan Korea Utara, Iran dijuluki AS sebagai “axis of evil,” alias negara teroris. Kendati presiden Khatami di sisa-sisa masa jabatannya berhasil membuktikan Iran “tidak bersalah” atas tragedi berdarah di New York itu, ia tidak bisa menyangkal tudingan sebagai “most active of state terrorism” (Howard:2004,43). Tudingan ini terkait dengan aktivitas-aktivitas bawah tanah Iran di wilayah-wilayah konflik seperti Afghanistan, Palestina, Libanon dan Irak. Iran dilaporkan sebagai sponsor utama gerilyawan-gerilyawan anti-AS terutama dari kalangan Syi’ah di negara-negara tersebut (Howard, 51-65). Kedua, penggulingan Saddam menjadi blunder bagi AS. Serbuan AS ke Irak seperti hadiah cuma-cuma bagi Iran, karena meruntuhkan rezim Saddam yang merupakan musuh bebuyutan Iran di kawasan yang mana keduanya pernah terlibat perang selama delapan tahun (1980-1988). Tidak hanya itu, berdirinya rezim Syi’ah di Irak pasca invasi telah membuka lebar-lebar jalan Iran guna memperluas sekaligus memperdalam pengaruhnya di negeri seribu satu malam itu. Tak kurang dari 60 persen penduduk Irak adalah Syi’ah Dua Belas Imam. Irak juga menyimpan situs-situs suci kaum Syi’ah seperti kuburan Imam pertama, Ali bin Abi Thalib, dan Imam kedua, Hussein bin Ali. Iran juga merupakan surga pelarian bagi para aktifis Syi’ah anti-Saddam dan rakyat Syi’ah Irak pada umumnya saat mereka dideportasi di era Saddam (Anderson: 2004,73). Setelah Saddam lengser, para aktifis inilah yang memegang kendali kekuasaan di Baghdad. Sebaliknya, Irak, terutama kota Najaf, juga merupakan salah satu tempat pelarian utama para aktifis anti-Shah Pahlevi, termasuk Ayatullah Khumeini sendiri sebelum akhirnya dibuang ke Perancis pada 1978 (Hermon: 2005,40-41) Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kuatnya ikatan sejarah, emosional dan kultural antara Iran dan Irak, baik rakyat maupun pemerintahnya saat ini. Tidak mengherankan jika hari ini pengaruh Iran begitu kuat, tidak hanya secara politik, juga secara ekonomi dan sosial terutama di Irak selatan. Di wilayah ini, bahkan mata uang Iran menjadi alat tukar utama (Ehteshami,136). Semua inilah yang membuat AS jengkel dan menuduhnya sebagai pengganggu dan tukang ikut-campur (Ibid, 100). Akhirnya AS harus berlama-lama tinggal di Irak untuk memastikan pemerintahan baru yang terbentuk tidak jatuh ke dalam pelukan Iran. Ketiga, pelabelan sebagai negara teroris kemudian diiringi dengan tudingan AS bahwa proyek nuklir Iran tidak sesuai dengan ketentuan dari IAEA. Iran dituduh berupaya membuat senjata nuklir. Tentu saja semua perlakuan AS ini semakin membakar kebencian para pemimpin dan rakyat Iran. Hal ini juga kian menyudutkan posisi Iran di antara rekan-rekan Arabnya di Teluk yang notabene sekutu dekat AS. Revolusi Ahmadinejad Internal pressure yang memicu radikalisasi sikap Iran adalah bangkitnya kaum radikal Iran. Fenomena ini berpuncak pada terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai presiden pada pemilu Juni 2005. Masuknya Ahmadinejad dalam pusaran politik Teheran adalah representasi munculnya kekuatan politik baru di Iran yang dinamai Ehteshami dan Zweiri sebagai “neokonservatif.” Julukan ini ditujukan bagi sekelompok figur non-ulama dan didominasi oleh aktor-aktor keamanan, yang berambisi mengembalikan gaya kepemimpinan Bapak Revolusi Islam Iran Ayatullah Ruhullah Khumeini yang “Islami” dan revolusioner (Ehteshami,21-26). Sejak runtuhnya Dinasti Pahlevi oleh gelombang revolusi Islam pada 1979, Iran memang merombak sistem pemerintahannya menjadi teokrasi. Kedaulatan berada di tangan Allah. Berada di puncak struktur kekuasaan adalah Pemimpin Tertinggi yang dijabat Ayatullah Khumeini dan sejak wafat pada 1989 digantikan oleh Ayatullah Khamenei. Pemimpin Tertinggi dijabat oleh seorang faqih, ahli hukum Islam yang telah mencapai tingkatan tertentu dalam hirarki kelas ulama dalam tradisi Syi’ah Dua Belas Imam. Sedangkan pemerintahan dipegang oleh presiden dibantu kabinet. Di samping itu, ada beberapa lembaga negara lainnya yang disusun berdasarkan konsep wilayat al-faqih, sebuah konsep pemerintahan yang disarikan dari ajaran-ajaran Syi’ah Dua Belas Imam yang dianut mayoritas rakyat Iran. Sejak saat itu, Iran menjadikan Islam ala Syi’ah Dua Belas Imam sebagai dasar kebijakan negara di semua bidang, politik, ekonomi, militer, budaya, administrasi, hukum, dan lain-lain (Daniel: 2006,37). Sedangkan keluar, orientasi Islam ini terwujud dalam kebijakan Iran yang anti-AS, anti-Soviet dan anti-Israel. Sejak saat itu, Iran mulai menjalin kontak dengan gerakan-gerakan perlawanan Islam di Timur Tengah seperti al-Da’wa dan Tentara Mahdi di Irak, Hizbullah di Libanon, Jihad Islam dan Hamas di Palestina, dan lain-lain. Kaum neokons sangat berambisi menghidupkan kembali spirit Islam politik ala Khumeini ini, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Keberhasilan kelompok neokons sendiri meraih kekuasaan adalah “anugerah” dari kegagalan kelompok reformis memenuhi janji-janji kampanyenya. Faksi politik pimpinan presiden Muhammad Khatami ini dalam kampanyenya pada pemilu 1997 menjanjikan reformasi politik, ekonomi dan sosial menuju pola yang lebih demokratis. Mereka menjanjikan kebebasan personal, keadilan sosial, toleransi, partisipasi publik, kebebasan pers, pemberantasan korupsi, transparansi pemerintahan, dan lain sebagainya (Ehteshami, 5-6). Janji-janji politik kaum reformis ini sendiri adalah kritik terhadap pemerintahan konservatif Ayatullah Hashemi-Rafsanjani (1989-1993 dan 1993-1997). Sejak pemilu 1997, panggung politik Iran memang diwarnai pertarungan dua kubu besar, konservatif dan reformis (Rahman: 2003,35-58). Sejatinya tidak ada perbedaan besar dari dua kubu politik ini dalam hal kebijakan ekonomi – keduanya menganut ekonomi pasar terarah terbatas (Ibid, 10). Perbedaan kontras terdapat dalam bidang politik dan sosial, dimana kaum reformis menuntut kebebasan sedangkan kaum konservatif menghendaki pengawasan ketat negara seperti telah dicontohkan Imam Khumeini. Selama dua periode sejak 1997, kubu reformis berkuasa di lembaga eksekutif dengan Khatami sebagai presiden, sementara kubu konservatif memegang kendali di parlemen, Pemimpin Tertinggi, lembaga yudikatif, Dewan Garda, Majelis Ahli dan beberapa lembaga negara lain khas Republik Islam Iran. Perseteruan politik yang ketat dengan kubu konservatif yang jauh lebih berkuasa membuat program-program reformasi pemerintahan Khatami tidak berjalan efektif. Hal ini menimbulkan kekecewaan di masyarakat. Hingga akhir masa pemerintahan jilid duanya, Khatami hanya sibuk melayani serangan-serangan politik kubu konservatif, sehingga tidak banyak memberikan perbaikan kondisi ekonomi rakyat. Reformasi Khatami pun menemui jalan buntu. Di atas reruntuhan gagasan-gagasan reformasi kaum reformis inilah kelompok orang-orang yang loyal terhadap cita-cita ideal revolusi Khumeini membangun gagasan-gagasan alternatifnya. Dengan menekankan tema kampanyenya pada reformasi ekonomi, keadilan sosial dan pemberantasan korupsi, secara bertahap gerakan kaum neokons ini berhasil menggusur pos-pos kekuasaan kaum reformis: pemilu dewan kotapraja 1999; pemilu parlemen 2004; dan akhirnya pemilu presiden 2005 melalui kemenangan Ahmadinejad atas kandidat-kanditat reformis dan juga konservatif (Ehteshami, 33-48). Sejak saat itu, pos-pos kekuasaan di Iran, pusat maupun daerah, mutlak dikuasai generasi tua konservatif dan generasi tengah neokonservatif. Sementara kaum tua reformis beserta anak-anak muda simpatisannya menjadi kelompok oposisi di luar orbit kekuasaan. Lepas dari terpenuhinya janji-janji keadilan sosio-ekonomi pemerintahan neokons Ahmadienjad, komitmennya untuk merevitaliasi nilai-nilai Islam ala Khumeini nampak pada kebijakan-kebijakan sosio-kulturalnya. Dengan dukungan parlemen dan lembaga-lembaga negara konservatif, misalnya, pemerintahan Ahmadinejad menerapkan pembatasan-pembatasan tertentu pada gaya berpakaian publik, seperti mewajibkan kaum hawa memakai hijab (jilbab) di tempat umum dan melarang gaya potongan rambut asing terutama kaum muda, dan lain-lain (Ehteshami, 90-95). Sedangkan ke luar, semangat revolusi Islam Khumeini muncul, seperti disinggung di awal, dalam bentuk retorika-retorika dan kebijakan-kebijakan anti-AS dan anti-Israel. Akhirnya dapat disimpulkan, kebangkitan neokonservatif sebagai kubu politik baru menjadi semacam reinkarnasi revolusi Islam Khumeini. Keberhasilannya meraih kekuasaan menggusur kaum reformis pimpinan Muhammad Khatami lebih karena popularitasnya yang dibangun di atas kekecewaan publik Iran terhadap kelompok mainstream, baik reformis maupun konservatif, yang gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pemerintahan neokons ini kemudian melihat perilaku AS yang radikal tidak jauh berbeda dengan beberapa dekade yang lalu. Bagi Ahmadinejad, pelabelan axis of evil dan tudingan tentang senjata nuklir mungkin dianggap sebagai upaya AS menggulingkan sistem pemerintahan Islam Iran, seperti yang dilakukannya setengah abad sebelumnya terhadap Perdana Menteri Ahmad Musaddeq pada 1953 dan mengembalikan kekuasaan rezim pro-AS, Dinasti Pahlevi. Untuk itu, bagi pemerintahan neokons, radikalisasi perilaku AS terhadap Iran itu harus dihadapi dengan sikap radikal pula, seperti yang dicontohkan Ayatullah Ruhullah Khumeini pada satu dekade pasca revolusi 1979 dengan jargonnya “laa syarqiyyah wa laa gharbiyyah!” “tidak Barat dan tidak Timur!” Esai ini dipersiapkan untuk acara diskusi di Center for Middle Eastern Studies (CoMES) Universitas Muhammadiyah Malang. Bahan Bacaan 1. Anderson, Liam & Gareth Stansfield, 2004,The Future of Iraq: Dictactorship Democracy or Division?, New York: Palgrave Machmillan 2. Daniel, Elton L. & Ali Akbar Mahdi. (2006). Culture and Customs in Iran. Westport: Greenwood Press. 3. Ehteshami, Anoushiravan & Mahjoob Zweiri. (2007). Iran and the Rise of its Neoconservatives: The Politics of Tehran’s Silent Revolution. New York: I.B. Tauris & Co Ltd. 4. Howard, Roger. (2004). Iran in Crisis? Nuclear Ambition and the American Response. New York: Zed Books Ltd. 5. Harmon, Daniel E. (2005). Ayatollah Rohallah Khomeini. Philadephia: Chelsea House Publishers 6. Rahman, Musthafa Abd. (2003). Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif. Jakarta: Kompas. sumber :http://www.facebook.com/profile.php?id=1072905762#!/note.php?note_id=10150116406863828

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam