Saturday, January 15, 2011
Kritik Realis dan Neorealis Terhadap Organisasi Internasional
by Cecep El Bilad.
Kritik Realis dan Neorealis Terhadap Organisasi Internasional Sejarah dunia selalu diwarna oleh dua hal: perang dan usaha mencapai perdamaian. Abad ke-20 adalah abad terburuk dalam sejarah manusia, karena terjadi dua perang besar yaitu Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) yang memakan korban jutaan manusia. Dua perang ini kemudian disusul dengan Perang Dingin (1945-1990). Namun demikian, bersamaan dengan perang-perang tersebut, berbagai usaha untuk mencapai perdamaian dilakukan oleh negara-negara yang berperang itu. Salah satunya adalah pembentukan organisasi internasional. Namun, bagi Realisme-Neorealisme, dua perspektif mainstream dalam studi Hubungan Internasional, organisasi internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) hanya merupakan mekanisme baru struggle for power antara negara-negara anggota dan bentuk institusionalisasi anarki dalam sistem internasional. Definisi
Organisasi internasional (OI) yang dimaksudkan dalam tulisan ini merujuk pada definisi yang berikan oleh Clive Archer, yaitu institusi formal yang memiliki aturan, tujuan dan instrumen administrasi serta perangkat-perangkat material formal organisasi berupa konstitusi, cabang, perlengkapan fisik, mesin, lambang, kop surat, staf, hirarki administratif, dan lain sebagainya (Archer 1992:2). Dengan kata lain, OI adalah formalisasi kerjasama yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara seperti individu dan kelompok individu. Namun yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah governmental organizations seperti LBB, PBB, WTO, IMF dan World Bank.
Sebenarnya OI memiliki makna serupa dengan kerjasama (cooperation). Konsep ini lahir dan berkembang dalam tradisi Liberalisme dan varian-variannya: Commercial Liberalism, Republican Liberalism, Sociological Liberalism dan Liberal Institutionalism /Neo-liberalism (Baylis 2005:212-214). Paradigma ini menciptakan gagasan OI sebagai usaha mencapai dunia yang lebih damai melalui kerjasama yang didasari oleh mutual trust and understanding untuk memperoleh mutual gains. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan kerjasama sebagai “a set of relationships that are not based on coercion or compellence and that are legitimized by the mutual consent of members, as in international organizations such as the UN or the EU or in an alliance such as NATO” (Dougherty&Pfaltzgraf 2001: 505). Jadi, kerjasama lahir atas dasar kebutuhan negara atau kepentingan nasioal yang memang pada dasarnya interdependen, dan berdiri atas dasar equality. Jadi, kerjasama terjadi bukan atas dasar paksaan oleh aktor/negara lain.
Realisme
Kerjasama/OI bisa dikatakan sebagai sasaran kritik pertama dan utama bagi Realisme. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB)/the League of Nations sebagai OI pertama yang dibangun untuk menciptakan perdamaian di Eropa pasca PD I, menjadi alasan utama kebangkitan Realisme untuk menantang para penggagas dan pendukung LBB yang disebutnya sebagai Utopian.
Para ilmuan realis seperti Hans J. Morgenthau, Reinhold Niebuhr, E. H. Carr dan George Schwarzenberger, menganggap bahwa kaum Utopian terlalu berlebihan dalam memandang realitas dunia. Kegagalan LBB menjadi bukti “kesalahan” fundamental kaum Utopian dalam memahami realitas dunia yang sebenarnya adalah anarkis. Dalam dunia yang anarkis ini kerjasama adalah hal yang tidak mungkin. Sebaliknya, setiap negara harus memiliki power agar bisa survive. Hal ini terumuskan dalam definisi Morgenthau tentang politik internasional, yaitu “international politics, like all politics, is a struggle for power” (Morgenthau [1948] 1955:25). Atas dasar ini, maka kerjasama bukan jalan untuk memperoleh keamanan dan apalagi menciptakan perdamaian.
Alih-alih sebagai media untuk menciptakan perdamaian dan mencapai kepentingan nasional secara bersama-sama, OI menjadi arena baru pertarungan negara-negara demi kepentingan nasional masing-masing. Dalam pandangan realis, negara adalah unitary actor. Pola perilakunya ditentukan oleh kepentingan nasionalnya baik ekonomi, politik maupun keamanan, bukan ditentukan atau dipengaruhi oleh aktor lain apalagi sekadar OI (Dougherty & Pfaltzgraf: 64). Oleh karena itu, bergabung atau tidaknya negara ke dalam OI, patuh atau tidaknya negara pada aturan di dalamnya, bertahan atau tidaknya organisasi tersebut, semuanya ditentukan oleh seberapa besar keuntungan yang diperoleh.
Di samping kepentingan nasional, power merupakan variabel lain yang menentukan perilaku negara (Ibid.) Semakin besar power yang dimiliki, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh jika bergabung dalam OI. Negara dengan power besar ini akan mendominasi proses kebijakan organisasi. Di sisi lain, dominasi satu atau beberapa negara ini tentu menimbulkan diskriminasi terhadap anggota-anggota lainnya. Fenomena dominasi-diskriminasi ini terjadi di dalam tubuh LBB. Inilah yang menjadi salah satu sebab munculnya negara-negara revisionis seperti Jerman dan Italia yang kalah dalam PD I. Negara revisionis adalah negara yang berusaha meningkatkan kekuatannya sebagai reaksi atas adanya dominasi negara-negara status quo (Ibid.: 128).
Besarnya porsi konsep unitary actor dan power dalam paradigma kaum realis membawa konsekuensi pada keyakinan bahwa, there is no common authority over and above the sovereign state” (Archer:78). Keyakinan ini semakin memperdalam kecurigaan realis bahwa, kerjasama dalam bidang apapun merupakan strategi negara-negara ber-power besar untuk membangun, mempertahankan dan/atau meningkatkan posturnya dalam sistem internasional yang berujung pada kepentigan nasional mereka. Kecurigaan ini cukup beralasan, karena pada dasarnya kaum realis tidak yakin bahwa kerjasama itu possible. Sejarah membuktikan, organisasi-organisasi dunia seperti LBB, PBB, World Bank dan IMF, semuanya dididirikan dan didominasi oleh Great Powers. Dalam pelaksanaannya selalu ada diskriminasi terhadap anggota-anggota dari golongan small powers. Di dalam LBB sendiri, misalnya, Inggris dan Perancis muncul sebagai dua negara yang mendominasi. Perancis bahkan menggunakan LBB untuk menjamin keamanannya dari serangan Jerman (Ibid.:22). Kita bisa melihat lebih banyak paradoks-paradoks semacam itu di dalam PBB: Penjajahan Israel atas Palestina, Perang Bosnia-Serbia, Perang Arab-Israel, Perang Irak-Iran, Perang Vietnam-AS, invasi AS ke Afganistan dan Irak, Perang Israel-Hezbullah, Perang Israel-Hamas, dll. Semua perang tersebut tidak (mampu) dicegah oleh PBB karena pencegahan akan menjadi ancaman bagi kepentingan nasional negara hegemon dalam PBB.
Neorealis
Sejalan dengan Realisme, namun dengan penekanan pada sistem: superioritas sistem internasional atas agen (negara) dan asumsi dasar bahwa sistem internasional adalah anarki (tidak adanya pemerintahan global), neorealis memandang bahwa kerjasama/OI hanya merupakan pola baru distribution of power dalam sistem internasional atau regional (Hobson 2000:38 / Archer: 86). Para pendukung Neorealisme seperti Kenneth Waltz, Stephen Walt dan John Mearsheimer mengakui bahwa kerjasama adalah fenomena yang menjamur pasca Perang Dingin. Namun menurut mereka, pola dasar dari kerjasama-kerjasama tersebut adalah anarki.
Negara-negara anggota OI tetap harus waspada pada persoalan cheating dan relative gains (Baylis 2005: 304). Cheating atau penipuan/kecurangan adalah refleksi kuatnya national interest sebagai faktor pendorong perilaku negara. Dengan kata lain, negara akan selalu bersikap egois walaupun dalam kerangka kerjasama OI. Inilah menjadi alasan mengapa the Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dibuat pada 1995 “tidak berlaku” bagi negara-negara seperti Amerika Serikat dan Rusia. Distribusi power yang berakumulasi pada dua negara itu mendorong keduanya untuk berperilaku curang, sementara keduanya memaksakan traktat tersebut pada small powers seperti Iran dan Korea Utara.
Bagi neorealis seperti Joseph Grieco, relative gains (who will gain more if we cooperate) menjadi faktor lain yang mendasari kerjasama antarnegara (Ibid: 210&304). Oleh karenanya, walaupun kerjasama itu memungkinkan, tapi itu sangat sulit dilakukan atau dipertahankan. Sebaliknya, kerjasama seperti pengalaman organisasi-organisasi internasional yang ada, hanya bisa dilakukan melalui konfigurasi distribusi power oleh satu negara hegemon (Hobson: 39), di mana satu negara menjadi penggagas dan kemudian “mendeklarikan diri” sebagai pemimpin. Dengan begitu maka akan tercipta hegemonic stability (Viotti&Kauppi1993:57). Menurut teori hegemonic stability ini, stabilitas sistem (regional maupun internasioanal) hanya dapat tercipta jika ada konsentrasi power pada satu negara (Ibid.) Jika terjadi pergolakan dalam sistem, negara hegemon akan menjadi “juru selamat” yang efektif. Sebagai contoh, pasca PD II Eropa mengalami kehancuran ekonomi. Kemudian mereka “diselamatkan” oleh Amerika Serikat dengan program Marshall Plan-nya. Mereka juga diselamatkan AS dari ancaman Uni Soviet dalam wadah NATO.
Sebagaimana lazimnya teori sosial, neorealis pun kemudian mengalami evolusi. Menanggapi kerjasama sebagai fenomena baru hubungan internasional sejak 1980an, beberapa pemikir neorealis seperti Charles L. Glaser memandang bahwa, OI dapat berperan penting dalam mereduksi security dilemma (Dougherty&Pfaltzgraf: 92) – “the self-help attempts of states to look after their security needs tend, regardless of intention, to lead to rising insecurity of others as each interprets its own measures as defensive and the measures of others as potentially threatening” (Herz 1950: 157). Dalam sistem internasional yang anarki, kerjasama bisa menjadi pilihan terbaik untuk menjamin kemanan atau kepentingan nasional (Baylis: 305). Sebagai contoh, saat Iran di bawah Ahmadinejad memulai kembali program nuklirnya yang diduga sebagai usaha membuat senjata nuklir, dan terus meningkatkan postur militernya, negara-negara Arab Teluk segera merapatkan barisan dan menggandeng AS untuk memperkuat pertahanan militer mereka dalam kerangka the Gulf Security Dialogue (GSD) pada Mei 2006.
¬Pandangan Glaser ini sejalan dengan Barry Buzan dalam konsepnya “mature anarchy”. Konsep ini mengatakan bahwa, ada peningkatan kesadaran di antara negara-negara saat ini akan perluanya mempertimbangkan keamanan nasional negara-negara lain (tetangga), saat menentukan kebijakan keamanan masing-masing. Mereka sadar bahwa keamanan nasional sebenarnya saling terkait satu sama lain (interdependent) (Baylis: 306).
Walaupun konsep ini cenderung membicarakan keamanan dalam arti militer, reinterpretasi makna keamanan secara lebih luas akan memungkinkan penggunaan konsep ini pada ranah lain seperti ekonomi. Dengan demikian, konsep ini akan bisa digunakan, misalnya, untuk menjelaskan fenomena Uni Eropa. Sebagaimana telah disinggung di atas, PD II meluluh-lantahkan ekonomi, infrastruktur dan militer negara-negara Eropa dan Jepang. Kondisi ini memaksa mereka, baik yang menang maupun yang kalah, untuk menghentikan perang untuk selamanya. Kondisi ini juga memaksa mereka untuk menerima uluran tangan AS melalui Marshall Plan. Ini tidak lain merupakan jalan bagi AS – tentunya Eropa menyadari hal ini – untuk menjadi kekuatan hegemon di Eropa. Maka tidak ada pilihan lain bagi negara-negara “korban” Marshall Plan untuk membangkitkan kekuatan ekonomi, kecuali kerjasama. Kebangkitan ekonomi menjadi modalitas bagi bangkitkan kekuatan militer. Maka tidak mengherankan jika dalam banyak kasus akhir-akhir ini baik ekonomi maupun politik, Uni Eropa, baik secara organisatoris maupun individual, sering berbeda sikap dengan AS. Proses ini akan terus berlanjut hingga distribusi power mengalir deras ke Uni Eropa sehingga tercipta tatanan baru yang equilibrium (balance of power), yaitu Uni Eropa baik sebagai kesatuan maupun individu bisa menggesar atau bahkan menggulingkan AS dari hegemonic position dalam sistem global. Jadi, konstruksi kerjasama Uni Eropa berdiri di atas landasan mature anarcy of international system.
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa kaum realis-neorealis kini semakin mengakui kerjasama atau OI sebagai fenomena internasional yang tak terbantahkan. Akan tetapi mereka tetap yakin, bahwa anarki adalah ruh dari kerjasama internasional. Sistem internasional sampai kapan pun adalah anarki.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam