Saturday, January 15, 2011

KONSTRUKSI HISTORIS-IDEOLOGIS POLA HUBUNGAN IRAN DENGAN NEGARA-NEGARA ARAB TELUK

by Cecep El Bilad. Naiknya Ahmadinejad sebagai presiden kelima Iran pada pemilu 2005 menandakan perubahan signifikan dalam peta politik dalam negeri Iran, yaitu tersingkirnya Kelompok Reformis dari struktur kekuasaan. Ini menjadi sejarah awal kepemimpinan Kelompok Neokonservatif dalam pemerintahan Republik Islam yang berkolaborasi dengan kelompok status quo Konservatif yang berkuasa di lembaga-lembaga negara seperti the Supreme Leader dan Dewan Garda. Perubahan ini di samping mempengaruhi dinamika politik di dalam negeri, juga mempengaruhi dinamikannya di kawasan. Pemerintahan Kubu Neokonservatif pimpinan Mahmoud Ahmadinejad memiliki visi dan misi merevitalisasi norma-norma Revolusi Islam 1979 dalam kebijakan-kebijakannya baik dalam maupun lur negeri. Dalam wilayah domestik, Neokonservatif mendasarkan kebijakan-kebijakannya pada norma-norma Islami seperti keadilan sosial-ekonomi, pemberantasan korupsi, anti-pengaruh asing, persamaan di depan hukum, dan lain sebagainya dalam yang tercantum dalam Konstitusi khusunya pasal 3 dan 4. Dalam wilayah hubungan luar negeri, pemerintahan nekonservatif Ahmadinejad berusaha merekonstruksi prinsip-prinsip politik luar negeri seperti anti-dominasi, anti-hegemoni dan anti-penindasan sebagaimana tercantum pada Konstitusi pasal 152 dan 154. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi tetangga-tetangga Arabnya di Teluk Persia yaitu Arab Saudi, Oman, Qatar, Bahrain, Kuwait dan Uni Emirat Arab, karena pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut pada dekade awal pasca Revolusi melahirkan kebijakan ekspor revolusi yang sangat mengancam stabilitas di kawasan. Perang Teluk 1980-1988 menjadi puncak dalam fluktuasi hubungan kedua belah pihak. Bagi negara-negara Arab terutama di sekitar Teluk Persia, Republik Islam Iran yang merupakan hasil dari revolusi yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini adalah representasi kebangkitan kaum Syiah. Dalam sejarahnya, Syiah adalah kelompok minoritas Islam yang lahir akibat konflik politik dengan mayoritas yang kemudian disebut Sunni. Konflik Sunni-Syiah hingga kini masih berlangsung di wilayah sekitar Teluk yang menjadi konsentrasi kelompok minoritas tersebut seperti di Irak. Lebih dari sekedar Syiah, Republik Islam Iran juga dianggap sebagai kebangkitan politik bangsa Persia. Bagi bangsa Arab Sunni, Syiah adalah identik dengan Persia. Doktrin-doktrin politik Syiah yang mirip dengan budaya politik teokrasi bangsa Persia membuat ajaran ini banyak diminati oleh orang-orang Persia. Oleh karena itu, bagi Irak dan tetangga-tetangga Arabnya di Teluk, Perang Teluk adalah perang melawan “Persia-Syiah.” Makalah ini akan mencoba memahami pola baru hubungan Iran dengan negara-negara Arab Teluk pada pemerintahan Ahmadinejad 2005-2009. Penulis akan menganalisa proses konstruksi hubungan kedua belah pihak pasca Revolusi Islam 1979 untuk mengetahui bagaimana hasil konstruksi tersebut mempengaruhi pola hubungan mereka saat ini. Analisa akan difokuskan pada variabel Iran karena penulis melihat perilaku Iran lebih dominan dalam mempengaruhi struktur hubungan kedua belah pihak. A. Kerangka Pemikiran Untuk menguraikan permasalahan di atas, penulis merangkai beberapa teori dari paradigma konstruktivisme, karena paradigma ini menjadikan faktor-faktor non-materi seperti identitas, norma, diskursus, bahasa dan knowledge sebagai variabel independen untuk menganalisa perilaku negara. Sebagai batasan pembahasan, dalam makalah ini penulis hanya mengambil dua faktor, yaitu identitas dan norma. Identitas nasional dapat didefinisikan sebagai seperangkat norma yang disepakati oleh masyarakat secara keseluruhan dalam suatu negara (norms shared by society as a whole) yang biasanya bersumber dari pengalaman sejarah kolektif (Boekle, 1999). Norma adalah “standard of appropriate behavior for actors with a given identity” (Finnemore &Sikkink, 1998:891). Setelah terbentuk, identitas memiliki efek regulatif bagi negara tersebut yang mempengaruhi kepentingan dan kebijakan luar negerinya (Finnemore & Sikkink, 2001:399; Katzenstein, 1998:679-680). Norms shared by society as a whole adalah norma yang memiliki tingkat keumuman yang tinggi/high commonality. Communality adalah tingkat legitimasi norma yang diukur dari jumlah aktor dalam suatu sistem sosial yang mengakuinya sebagai societal expectations of appropriate behavior bagi sistem tersebut (Boekle, 1999). Jika norma hanya diakui oleh mayoritas aktor, maka norma tersebut memiliki tingkat keumuman sedang, dan jika hanya memperoleh dukungan minoritas, maka norma tersebut memiliki tingkat keumuman rendah – hanya sebatas discourse (wacana yang masih diperdebatkan untuk menjadi sebuah norma yang diakui bersama). Tingkatan keumuman ini adalah cara untuk mengukur tingkat signifikansi dan pengaruh norma terhadap perilaku negara. Norma sebagai variabel independen dapat diidentifikasi melalui interpretasi terhadap institusi-institusi legal dan konstitusional negara seperti konstitusi, lembaga-lembaga negara, program partai dan platform pemilu, debat parlemen atau hasil survei opini publik (Boekle, 1999). Namun demikian, aplikasi metodologi ini harus disesuaikan dengan konteks negara yang akan menjadi objek penelitian, karena dalam pandangan konstruktivisme “structure is conceived as the product of collective history” (Guzzini, 2000:165). Setiap negara memiliki sejarah, sistem dan budaya politik yang berbeda. Kemudian, tingkat keumuman juga menunjukkan tingkat domestic dan international agential power negara. Menurut Peter J. Katzenstein, ketika level keumuman norma tinggi atau sedang (uncontested norms), negara akan memiliki domestic and international agential power yang tinggi. Sebaliknya, ketika tingkat keumuman norma rendah (contested norms), domestic dan international agential power negara juga lemah (Hobson, 2000:166). Perubahan tingkatan norma dan kekuatan negara ini dipengaruhi tidak hanya oleh hubungan negara dengan lingkungan domestik (politik domestik) tetapi juga oleh hubungannya dengan dunia internasional (Hobson, 2000:166). Dengan kata lain, sejak awal kemunculannya, norma akan selalu diinterpretasikan dan direinterpretasikan secara berkesinambungan sesuai dengan perkembangan situasi di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di dalam sistem internasional terjadi kontestasi antara norma domestik dengan norma internasional. Salah satu pihak bisa mengungguli pihak yang lain, atau keduanya mengimbangi satu sama lain. Ketika norma domestik berada pada level uncontested dan didukung dengan keunggulan materi dalam ekonomi, politik, militer dan teknologi, negara akan memiliki high international agential power di dalam sistem internasional. Sementara itu, setiap negara berambisi mengekspor norma domestiknya ke dalam sistem internasional (Boekle, 1999). Inilah yang mungkin menjadikan suatu negara bisa menjadi apa yang diistilahkan Alexander Wendt sebagai predator state. “For whatever reasons – biology, domestic politics, or systemic victimization – some states may become predisposed toward aggression” (Wendt, 1992:407-408). Identitas yang diuraikan di atas, yang menekankan pada supremasi norma domestik (national identity) adalah identitas negara yang bersifat natural (Reus-Smit, 1998:268), yang terbentuk sebelum interaksi (a constitutive feature of the state of nature before interaction) (Wendt, 1992:402). Konsep identitas tersebut cukup untuk memahami perubahan atau pergeseran identitas dan perilaku negara (Reus-Smit, 1998: 268), akan tetapi tidak untuk memahami pola interaksi antarnegara di dalam sistem internasional. Oleh karena itu, diperlukan konsepi identitas dari pendekatan sistemik seperti yang dimiliki oleh Alexander Wendt. Menurut Wendt, identitas adalah “relatively stable, role-specific understandings and expectations about self” (Wendt, 1992:397). Menurut definisi ini, identitas dibentuk dari hasil interaksi negara di dalam struktur internasional. Dia bersifat spesifik, tergantung pada posisi atau peran negara di dalam sistem. Oleh karena itu, menurut Peter Berger, negara dapat memiliki banyak identitas seperti halnya manusia memiliki beragam identias sesuai dengan peran institusionalnya seperti saudara, anak, ayah, presiden atau guru (Wendt, 1992:398). Struktur sosial/internasional adalah proses signaling, interpreting dan responding yang kemudian menciptakan intersubjective meanings di antara para aktor (Wendt, 1992:405). Jika proses tersebut diawali dengan sinyal positif oleh salah satu aktor, maka akan direspon serupa oleh aktor lain. Berlanjutnya proses timbal-balik ini kemudian menciptakan identitas para aktor (self dan other), sekaligus pola hubungan yang kooperatif. Sebaliknya, jika proses interaksi dimulai dengan sinyal negatif oleh satu pihak, maka respon pihak lain akan menyesuaikan sinyal tersebut. Proses interaksi semacam ini akan menciptakan anarki dalam sistem dan membentuk pola hubungan kompetitif atau bahkan konfliktual – Anarchy is what states make of it. Sistem interaksi yang kompetitif kemudian melahirkan security dilemma (Wendt, 1992:407). Jika sudah terbentuk, struktur baik kooperatif maupun kompetitif akan sulit dirubah. Perubahan struktur hanya bisa dilakukan melalui perombakan konsensus mengenai identitas nasional (the breakdown of consensus about identity commitments), yaitu dengan merumuskan cara pandang baru tentang diri. Perubahan persepsi tentang diri ini menjadi modal untuk melakukan altercasting, yaitu teknik menciptakan identitas baru di mana aktor memberikan sinyal baru terhadap other yang kemudian akan memaksa other untuk meredefinisi situasi sosialnya dan dirinya sendiri untuk selanjutnya memberikan respon yang baru. Begitu seterusnya hingga tercipta konsep self dan other baru, dan akhirnya terbentuk struktur yang baru pula (Wendt, 1992:420). B. Agama dan Legitimasi Bangsa Iran “Our revolution’s main mission is to pave the way for the reappearance of the Mahdi. Today, we should define our economic, cultural and political policies on the basis of the Mahdi’s return.” Mahmoud Ahmadinejad, 2005. “…Indeed, our revolution is an Islamic Revolution, not an Iranian revolution… Final victory will be achieved when there is no trace of colonialism and exploitation left throughtout the entire Islamic world…” Ayatullah Ruhullah Khomeini, 1979. Ada satu konsensus dalam budaya politik bangsa Iran yang telah berlangsung sejak ribuan tahun, yaitu religiusitas. Menurut Ahmad Naghib-Zadeh, kepercayaan bahwa Tuhan berkuasa atas seluruh aspek kehidupan termasuk politik adalah bagian paling sentral dari kebudayaan Iran (Sadeghi, 2008:12). Kepercayaan tersebut telah menjadi norms shared by society as a whole sejak masuknya agama Zoroaster ke Iran pada masa Darius I (522-486 SM), Dinasti Achaemenid. Menurut Ahmad Sadeghi, kontinuitas adalah karakater utama budaya politik bangsa Iran (Sadeghi, 2008:12), maka sejak masuknya Islam pada tahun 650, religiusitas tersebut beralih dari Zoroastianism kepada Islam. Setiap kekuasaan di Iran yang tidak membangun legitimasi politiknya di atas konsensus ini tidak akan memiliki high domestic agentian power yang pada akhirnya runtuh dari dalam. Inilah yang terjadi pada Dinasti Pahlevi di penghujung 1979 oleh gelombang Revolusi Islam. Dinasti Pahlevi (1926-1979) menyangga kekuasaannya di atas discouse sekulerisme dan nasionalisme Persia. Diskursus tersebut kemudian didukung dengan kekuatan militer, birokrasi dan patronase (Cleveland, 2000:183). Nasib serupa dialami oleh rezim sebelumnya, Dinasti Qajar (1794-1925). Kedua dinasti ini memposisikan diri vis-à-vis dengan agama/kaum agamawan, sehingga menimbulkan perlawanan dari rakyat berupa dualisme kepempimpinan, pemerintah di satu sisi dan para ayatullah/ulama di pihak lain (Cleveland, 2000:109). Karena dianggap memiliki devine rights, kaum ayatullah menjadi kekuatan oposisi yang membatasi kekuasaan shah/raja. Berbeda dengan kedua dinasti tersebut, Dinasti Safawi (1501-1736) adalah kombinasi dari model pemerintahan Persia kuno (shahs) dan aspek metafisik bangsa Persia pasca Islam (Syiah Itsna ‘Asyariyah/ Dua Belas Imam). Safawi pada waktu itu menjadi sentral sekaligus payung politik bagi kaum Syiah, baik Persia maupun non-Persia (Kamrava, 2005:29). Ismail, pendiri dinasti tersebut, menciptakan diskurus bahwa dirinya adalah Wakil Tuhan di bumi (the earthly representative of the Hidden Twelfth Imam) (Cleveland, 2000:54). Diskursus ini ternyata diakui oleh rakyatnya dan bertahan hingga runtuhnya dinasti tersebut akibat serangan oleh kekuatan luar. Syiah adalah faksi dalam Islam yang meyakini bahwa kepemimpinan Islam sepeninggalan Nabi Muhammad (632 M) adalah hak Ali bin Abi Thalib menurut petunjuk Tuhan baik dari hadits (perkataan nabi) maupun al Quran (Juergensmeyer, 1994:5; Shihab, 2007:114-126). Sedangkan mayoritas masyarakat Muslim waktu itu dan hingga kini (disebut golongan Sunni) mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin (khalifah) secara demokratis. Setelah Abu Bakar wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sendiri. Selama beberapa tahun Ali berkuasa, terjadi pergolakan politik hingga ia wafat pada 627 M. Kepemimpinan Islam akhirnya jatuh ke tangan Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian mendirikan Dinasti Umayyah pada 661 M (Hitti, 2008:223-229). Di pihak lain, para pendukung Ali (Syiah Ali) meyakini bahwa setelah Ali wafat, kepemimpinan (Imamah) diteruskan oleh keturunannya, dan mereka menolak mengakui kekuasaan Muawiyah. Selanjutnya, di bawah pimpinanan beberapa keturuan Ali yang mereka angkat sebagai Imam (pemimpin), mereka melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah (661-750) dan Abbasiyah (750-1258) (Al-Maududi, 1996:338-342). Syiah Itsna ‘Asyariyah adalah faksi dalam Syiah yang meyakini bahwa Imam Ke-12, yaitu Abu al-Qasim Muhammad bin al-Hasan yang bergelar al-Mahdi, bersembunyi sejak masa kecilnya untuk menyelamatkan diri dari otoritas Sunni dan akan muncul pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan (Shihab, 2007:126-127). Doktrin kedaulatan Tuhan ini memiliki kesamaan dengan tradisi politik bangsa Persia seperti yang dijelaskan di atas. Oleh karena itu, paham Syiah Itsna ‘Asyariyah banyak memiliki pengikut di wilayah Persia. Isma’il memanfaatkan doktrin al-Mahdi ini untuk membangun kekuasaannya. Dia mengaku sebagai Perwakilan Imam ke-12 tersebut untuk menegakkan keadilan di bumi selama masa persembunyiannya. C. Revolusi Islam dan Iran’s new identity formation Revolusi Islam 1979 menjadi kulminasi bangkitnya nasionalisme etno-religius bangsa Iran. Rebuplik Islam sebagai hasil dari revolusi tersebut menjadi fase terbaru dari kontinuitas dualisme budaya politik bangsa Iran. Wilayat al-Faqih yang menjadi konsep dasar sistem politik Repulik Islam tidak lain adalah reinterpretasi atas norma-norma teologi-politik Syiah Itsna ‘Asyariyah. Menurut ideologi tersebut, sebelum munculnya Imam ke-12 urusan kepemimpinan Islam yang mencakup semua aspek kehidupan dikelola oleh fuqaha (dewan ulama) yang dipimpin oleh seorang faqih yang adil (marja al-taqlid) sebagai representasi dari Sang Imam. Sebagai seperangkat norma, konsep yang dirumuskan oleh Ayatullah Khomeini ini sebenarnya adalah hasil konstruksi sejarah. Norma-norma tersebut merupakan hasil dialog antara tiga elemen, yaitu teks (norma-norma teologi-politik Syiah Itsna ‘Asyariyah), konteks sejarah teks tersebut, dan konteks sejarah epistemic communities yang dipimpin Khomeini sebagai norm interpreneurs-nya. Epistemic communities adalah “elites with a shared understanding of a particular subject who develop a strategy for achieving their goals” (Dougherty, 2001:168). Dalam konteks Iran saat itu mereka adalah para ayatullah. Wilayat al-Faqih kemudian secara teknis dilembagakan ke dalam Konstitusi dan menjadi identitas nasional (societal expectations of appropriate behavior) Republik Islam Iran. Dalam banyak aspek, formasi identitas Republik Islam adalah antitesa dari Rezim Pahlevi (Sadeghi, 2008:10). Dalam hal sistem politik, misalnya, Republik Islam adalah kritik atas sistem monarki Dinasti Pahlevi. Sang Arsitek, Imam Khomeini, menyatakan bahwa monarki adalah sistem yang tidak Islami (Black, 2001:594). Ini sebenarnya adalah keyakinan orisinil Syiah bahwa kepemimpinan Islam pasca Nabi wafat bukan menjadi urusan manusia, tetapi hak prerogatif Tuhan untuk menunjuk manusia pilihan-Nya. Di samping itu, sistem monarki juga identik dengan kediktatoran dan tirani. Belajar dari sejarah kelam penindasan yang menimpa para penganut Syiah oleh penguasa dinasti-dinasti Sunni seperti Umayyah dan Abbasiyah (Al-Maududi, 1996:231-235; 251-252;272), Repulik Islam membuat norma keadilan bagi kaum tertindas (mustad'afun) di mana pun berada dalam konstitusinya pasal 152 Khomeini juga merumuskan pandangan anti-monarkinya ini di dalam Konstitusi khususnya pada pasal 5, 6 dan 7 yang di antaranya menyebutkan tentang lembaga-lembaga negara seperti presiden dan parlemen. Ironisnya, pandangan semacam itu tidak diakui oleh mayoritas penganut Syiah Itsna ‘Asyariyah di Iran pada era Safawi, hanya karena para Shah dinasti tersebut mengaku sebagai Representasi Sang Imam. Padahal, mazhab resmi Republik Islam Iran saat ini, sebagaimana termaktub dalam konstitusi ayat 12, juga Syiah Itsna ‘Asyariyah.. Ini menunjukkan bahwa, interpretasi Khomeini dan para fuqaha saat ini terpengaruh oleh norma-norma tentang demokrasi. Sementara itu, postur antagonistis Iran terhadap Barat dan Uni Soviet selama Perang Dingin merupakan luaran dari prinsip anti-dominasi, anti-hegemoni dan anti-penjajahan yang tersurat dalam Konstitusi Bab X ayat 1. Apabila dilihat dari sejarah Iran pra-revolusi, prinsip ini menggambarkan ekspresi kekecewaan atas pengalaman pahitnya selama ratusan tahun berada di bawah hegemoni negara-negara superpower seperti Inggris dan Rusia pada era Qajar, kemudian Inggris, Soviet dan AS pada masa Pahlevi. Prinsip inilah yang menjadi dasar moral Iran atas kebijakan-kebijakan anti-AS dan anti-Israel saat ini. D. Ekspor Revolusi Salah satu isu penting tentang Iran pasca-revolusi adalah ekspor revolusi. Seperti halnya revolusi-revolusi besar lain dalam sejarah, revolusi Islam Iran juga memiliki daya sentrifugal yang menjangkau seluruh Dunia Muslim khususnya di Timur Tengah. Menyadari hal ini, pemerintahan baru Iran mengeluarkan kebijakan ekspor revolusi (Arjomand, 2009:136). Di samping efek transnasional revolusi, ada alasan-alasan normatif dan historis yang membuat Iran agresif ingin mengekspor revolusinya. Akar ideologi revolusi Iran adalah norma tradisional politik Islam yang universal. Baik Syiah maupun Sunni berpandangan bahwa, dunia ini terbagi ke dalam dua wilayah yaitu dar al-Islam (Wilayah Islam) dan dar al-harb (Wilayah Perang) (Rezun, 1990:16). Norma tentang dikotomi dunia ini kemudian berpadu dengan diskursus Sang Pemimpin Revolusi bahwa monarki adalah bukan sistem Islam, dan melahirkan norma baru yang menyejajarkan negara-negara Arab Teluk dengan AS, Soviet, Israel dan Barat dalam barisan dar al-harb (other). Ini adalah konsepsi self dan other yang anarkis, karena other akan selalu dicitrakan negatif sebagai musuh atau lawan. Dengan identitasnya sebagai Negara Islam, Iran merasa memiliki tanggungjawab moral untuk menjadi pelindung sekaligus pemimpin bagi Dunia Islam. Mohammad Javad Larijadi, teoritisi hubungan internasional pertama Republik Islam, menggagas teori the Mother of the Cities (omm al-qorã’) of the Abode of Islam. (Arjomand, 2009:134). Menurut teori ini, ekspor revolusi ke seantero dunia Muslim adalah tugas inheren bagi Iran sebagai titik episentrum persatuan ummah. Dalam teori ini Iran diwajibkan melindungi masyarakat Muslim di dunia dari segala bentuk penindasan baik oleh kekuatan asing maupun pemimpin lokal yang diktator. Teori ini memiliki landasan konstitusional pada ayat 11 dan 152 di dalam konstitusi Iran. Pihak yang paling merasa terancam oleh kebijakan ekspor revolusi ini adalah tetangga-tetangganya di Teluk. Sesaat setelah berdiri, Iran menyerukan kebangkitan Syiah di kawasan Teluk. Dukungan moral dan finansial, misalnya, diberikan kepada al-Da’wa, gerakan Syiah bawah tanah, untuk menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein (Rezun, 1990:19-20). Tindakan Iran ini kemudian menjadi alasan bagi Saddam untuk melancarkan preemptive strike terhadap Iran pada September 1980. Pada akhir 1981, Iran membentuk Dewan Revolusi Islam, organisasi yang memayungi organisasi-organisasi perlawanan Syiah di negara-negara Arab Teluk, seperti the Supreme Council of the Islamic Revolution in Iraq (SCIRI), the Islamic Revolution Movement of the Arabian Peninsula, dan the Islamic Front for the Liberation of Bahrain (Arjomand, 2009:134-135). Iran juga membentuk Hussainiyyah, yaitu gerakan-gerakan sel yang berpura-pura sebagai kelompok-kelompok studi Islam. Dengan aktivitas-aktivitasnya itu, Iran akhirnya diketahui terlibat dalam usaha-usaha kudeta di Bahrain pada 1981, Qatar pada 1983 dan Arab Saudi pada 1987 (Rezun, 1990:18). Hubungan konfliktual antara Republik Islam dengan negara-negara Arab Teluk ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan konflik politis-ideologis Sunni-Syiah yang sudah berlangsung ratusan tahun. Di mata negara-negara Arab Sunni di Teluk, berdirinya Republik Islam merepresentasikan kebangkitan Syiah. Memori tentang konflik “abadi” Sunni-Syiah menjadi alasan logis bagi mereka untuk khawatir akan “pembalasan dendam sejarah” oleh Iran atas beberapa pertimbangan: pertama, letak geografis mereka dengan Iran paling dekat di antara negara-negara Arab lainnya. Kedua, masing-masing memilki jumlah komunitas Syiah yang.signifikan. Di Irak dan Bahrain, Syiah dianut oleh mayoritas penduduk. Kebangkitan Syiah di Iran dapat mengganggu stabilitas wilayah mereka masing-masing. Ketiga, kebencian Iran pada sistem monarki. Sejarah tegaknya sistem monarki dalam Islam adalah sejarah pembantaian dan penindasan bagi kaum Syiah, terutama peristiwa pembunuhan keji atas Hussein, Imam ke-3 Syiah Its’na Asy’ari, di Karbala (Irak) oleh Yazid, penguasa Dinasti Umayyah. Kebencian ini memuncak pada era Dinasti Pahlevi yang despotik dan anti-Islam (Juargensmeyer, 1993:51-52). Keempat, deklarasi Iran sebagai “calon” pemimpin Dunia Islam (konstitusi ayat 11) dan pembela masyarakat Muslim tertindas (ayat 152) menjadi ancaman bagi Irak sebagai “pewaris” bendara pan-Arabisme dari Mesir. Ini juga mengancam Arab Saudi sebagai tempat kelahiran Islam yang menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tertinggi akan kemurnian ajaran Islam (Parsi, 2007:97). Bagi Arab Saudi, kebangkitan Syiah Iran tidak hanya membawa ancaman politis tetapi juga ideologis, karenaajaran-ajaran Syiah dianggap sudah menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Akhirnya dapat disimpulkan, agresifitas norma-norma Revolusi Islam ternyata menjadikan Iran predator state. Iran memberikan first gesture terhadap Irak secara anarkis. Irak membacanya sebagai ancaman, dan meresponnya dengan serangan militer. Persamaan etnis (sesama Arab) dan mazhab religius (sesama Sunni) dengan Irak kemudian membuat negara-negara Arab Teluk lainnya merasa terancam. Aktivitas-aktivitas bawah tanah Iran di wilayah territorial mereka semakin memperkuat persepsi ancaman tersebut. Berlanjutnya proses interaksi ini menciptakan anarki di dalam sistem regional Teluk. Anarki ini memaksa negara-negara Arab Teluk menyambut ajakan Saddam Hussein untuk berperang melawan “Persia-Syiah”. Atas dasar anarki itu pula mereka kemudian bersatu membentuk kerjasama keamanan Gulf Cooperation Council (GCC) pada 1981 (Hunter, 1990:107-108). E. Altercasting Sistem Teluk E.1. Gejolak Pasca Khomeini Wafatnya Imam Khomeini pada 1989 mengawali perubahan social identity Iran di kawasan. Perubahan ini merupakan refleksi atas pergeseran peta politik internalnya. Pergantian kepemimpinan pada tahun yang sama melahirkan debat di antara para elit tentang memburuknya kondisi nasional baik ekonomi, infrastruktur maupun militer, serta anjloknya citra nasional Iran akibat Perang Teluk (1980-1988) dan isolasi oleh dunia internasional. Kelompok garis keras berpendapat bahwa, Iran perlu membangun kekuatan militernya untuk mempertahankan revolusi. Sementara itu, kelompok moderat yang dipimpin oleh presiden terpilih, Ayatullah Hashemi Rafsanjani, berpandangan bahwa Iran harus mengakhiri isolasi dunia internasional dan memfokuskan kebijakannya pada rekonstruksi ekonomi dan infrastruktur. Oleh karena itu, “perang dingin” dengan tetangga-tetangga Arabnya di Teluk harus diakhiri (Parsi, 2007:131-132). Perdebatan ini menuntut Ayatullah Khamenei, pengganti Imam Khomeini, untuk menjadi penengah agar tidak terjadi perpecahan di dalam negeri. Namun demikian, sebenarnya tidak ada pertentangan serius antara kedua kelompok tersebut karena perbedaan hanya terletak pada strategi mempertahankan revolusi. Kelompok moderat berpandangan bahwa, ekspor revolusi bukan dilaksanakan dengan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan di sekitarnya, tetapi dengan menjadikan Iran sebagai model bagi bangsa-bangsa Muslim di dunia sebagai negara Islam yang modern dan independen dengan tetap menjaga rakyat dan Islam dari nilai-nilai budaya Barat (Parsi, 2007:132). Sejak saat itu, hubungan Iran dengan tetangga-tetangga Arabnya di Teluk memasuki era rekonsiliasi. Untuk meyakinkan tetangga-tetangganya akan niat baiknya itu, Iran, misalnya, mereduksi kekuatan militernya dari 654.000 pada 1988 menjadi rata-rata 480.000 pada periode 1990-1999, dan anggaran militernya turun dari 9,9 miliar dolar AS pada 1990 menjadi 5,3 miliar dolar pada 1995 (Parsi, 2007:146). Liberalisasi ekonomi dan rekonstruksi hubungan dengan dunia luar termasuk Barat (kecuali AS) mau tidak mau membuka jalan bagi publik Iran, khususnya kaum muda terpelajar, berkenalan dengan berbagai diskursus internasional seperti civil society, kebebasan pers, kebebasan individu, partisipasi publik, keadilan sosial, akuntabilitas, pemberantasan korupsi dan lain sebagainya. Berlanjutnya proses ini akhirnya membangkitkan jiwa kritis mereka dan melahirkan gerakan revormasi (the ‘2nd Khordad movement). Gerakan ini menuntut koreksi atas birokrasi dan pembentukan sistem pemerintahan yang responsif serta akuntabel (Ehteshami & Zweiri, 2007:5-6). Pada pemilu ketujuh Mei 1997, ‘Revolusi Kedua’ oleh kaum reformis ini berhasil menggulingkan pemerintahan konservatif dengan kemenangan Muhammad Khatami. Altercasting sistem Teluk yang dirintis oleh Rafsanjani, dilanjutkan secara lebih intens oleh pemerintahan Khatami. Kunjungan diplomatik kedua belah pihak semakin sering dilakukan terutama dengan Arab Saudi sebagai negara dominan di Teluk, untuk meningkatkan kerjasama ekonomi, kultural dan keamanan (Takeyh, 2009:198-199). Iran juga menyatakan bahwa Teheran sama sekali tidak memiliki niat merusak stabilitas tetangga-tetangganya itu dengan membantu gerakan-gerakan perlawanan Syiah di wilayah mereka (Takeyh, 2009:198). Keyakinan para pemimpin Arab Teluk juga dikuatkan dengan penerimaan pemerintahan Khatami terhadap solusi dua negara bagi konflik Palestina-Israel (Arjomand, 2009:146). Menurut Trita Parsi, era Khatami adalah era matinya ekspor revolusi (Parsi, 2007:203). Namun demikian, Khatami berhasil menciptakan sistem regional Teluk menjadi kooperatif. E.2. The Rise of the Third Revolution Inti dari gerakan reformasi Khatami adalah kontekstualisasi norma-norma revolusi dengan demokrasi. Oleh karena itu, basis terbesar gerakan ini adalah para pelajar dan intelektual muda di kota-kota besar seperti Teheran (Rahman, 2003:9). Namun, menurut Said Amir Arjomand, dalam dua masa kepemimpinannya (1997-2001/2001-2005) Khatami hanya berhasil pada tahap glasnost tetapi gagal dalam perestroika (Arjomand, 2009:91). Dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintahan reformis tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Sementara itu dalam bidang politik, budaya dan hubungan luar negeri, kebijakan-kebijakannya banyak ditentang oleh Kubu Konservatif yang masih menguasai mayoritas pos-pos kekuasaan di Iran, karena dianggap tidak sejalan dengan Islam norma-norma revolusi. Wacana tandingan pun muncul dari kaum muda terpelajar revolusioner non-elit (bukan Ayatullah). Mereka adalah veteran perang Iran-Irak yang memperoleh dukungan ulama-ulama garis keras terutama Ayatullah Mesbah Yazdi dan Ayatullah Ahmad Jannati, dan lembaga-lembaga militer seperti Basij dan Garda Revolusi. Mereka membentuk gerakan “reformasi baru” untuk yang mengajak kembali kepada “roots of the revolution” (Takeyh, 2009:223). Dengan memanfaatkan kegagalan ekonomi pemerintahan reformis dan elitisme golongan konservatif, gerakan Neokonservatif atau Kanan Baru ini menempatkan bidang ekonomi dan sosial sebagai prioritas agenda reformasinya untuk menarik dukungan dari publik Iran yang “lapar” (Ehteshami&Zweiri, 2007:41). Namun demikian, agenda pragmatis tersebut tidak lahir dari kepentingan pragmatis, tetapi dari jiwa idealis sebagai pengikut setia Imam Khomeini, sebagai pelaku sejarah Revolusi Islam dan Perang Iran-Irak. Gerakan Kelompok Neokonservatif ini akhirnya sukses menggulingkan Kelompok Reformis dari parlemen pada pemilu parlemen 2003 dan dari kepresidenan dengan kemenangan Mahmoud Ahmadinejad pada pemilu presiden 2005. Walaupun fokus agenda mereka selama kampanye adalah persoalan pragmatis di dalam negeri, akar sosio-historis mereka secara otomatis menuntut adanya rekonstruksi norma-norma Revolusi Islam dalam kebijakan luar negeri yang selama ini dikubur oleh Khatami. Artinya, norma “ekspor revolusi” dan cita-cita “the Mother of the Cities of the Abode of Islam” harus dibangkitkan kembali. Tatanan internasional juga turut menjadi stimulus radikalisasi Iran. Wacana ‘Axis of Evil’ (Iran, Irak dan Korea Utara) yang dilemparkan Washington pada 2002 menempatkan kembali Iran pada posisi vis-à-vis dengan musuh bebuyutannya Amerika Serikat. Posisi tersebut membangkitkan memori publik dan para pemimpin Iran tentang “kedigdayaan” Republik Islam pada era 1980an. Bahwa AS adalah musuh Iran, dan bahwa posisinya saat ini dikepung oleh AS dari Afganistan, Irak dan tetangga-tetangga Arabnya adalah uncontested norm. Antara golongan muda neokonservatif yang berkuasa di pemerintahan dan parlemen dengan kaum tua konservatif yang berkuasa di lembaga-lembaga seperti Pemimpin Tertinggi, Dewan Ahli, Dewan Garda dan lembaga yudikatif terdapat persamaan persepsi tentang tentang posisi Iran tersebut. Artinya, mereka merestui langkah pemerintah Neokonservatif untuk merekonstruksi postur revolusioner Iran dalam pentas regional maupun global. New Thingking tentang diri dan dunia ini membawa konsekuensi pada reformasi identitas sosial Iran di kawasan Timur Tengah yang semula kooperatif menjadi agresif. Maka, tema pemberitaan tentang Iran di bawah Ahmadinejad adalah seputar: retorik anti-Israel Ahmadinejad, dukungan Iran terhadap Hezbullah dalam perang melawan Israel pada 2006, memanasnya hubungan Iran-AS terkait program nuklir, intervensi Iran di Irak pasca lengsernya Saddam, dukungan Iran terhadap Hamas, dan penolakannya terhadap solusi dua negara bagi konflik Palestina-Israel. Jika dilihat dari persepektif hubungan Iran-negara-negara Arab Teluk, isu-isu tersebut kembali menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang berlawanan. Walaupun bermusuhan, negara-negara Arab Teluk sangat kooperatif dengan Israel mengenai isu Palestina. Dalam Perang Hezbullah-Israel, posisi mereka netral, bahkan mengecam Hezbullah. Mengenai isu nuklir Iran, mayoritas mereka mengikuti keputusan DK-PBB. Sejak runtuhnya pemerintahan Saddam Hussein, mereka tidak lagi memiliki ikatan ideologi dengan pemerintahan Irak saat ini yang didominasi oleh Syiah. Dalam isu Palestina mereka mendukung Fatah, lawan politik Hamas, serta mendukung solusi dua negara. Namun demikian, secara bilateral pemerintahan neokonservatif ternyata melanjutkan jejak Khatami dan Rafsanjani dalam membina hubungan baik dengan tetangga-tetangga Teluknya. Ahmadinejad beberapa kali menawarkan kerjasama kawasan. Misalnya, dalam pertemuan GCC pada tahun 2007, presiden Ahmadinejad menawarkan pakta kerjasama keamanan dan ekonomi antara Iran dan GCC (Jaafar, 2007), namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari tawaran Iran tersebut. Sistem politik semi-demokrasi Iran memang memungkinkan terjadinya perubahan dinamis terhadap social identity-nya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak sampai pada the breakdown of consensus about identity commitments, karena hanya sebatas reinterpretasi yang masih harus tunduk pada identitas formal yang terangkum di dalam Konstitusi yang “dikawal” ketat oleh lembaga setingkat presiden, Dewan Garda, dan tentunya oleh lembaga tertinggi the Supreme Leader. Maka, efektifitas redefinisi identitas nasional oleh presiden dan parlemen tergantung pada kesesuaiannya dengan definisi dari lembaga-lembaga tersebut. Tidak seperti gagasan dan kebijakan pemerintahan reformis yang sering kali ditentang, revitalisasi norma-norma Revolusi Imam Khomeini yang digagas dan dilaksanakan oleh pemerintahan neokonservatif ini bersesuaian dengan pandangan tokoh-tokoh konservatif di lembaga-lembaga tersebut. “Revolusi Ke-3” Kaum Neokonservatif ini secara otomatis menempatkan tetangga-tetangga Arabnya pada posisi the other, dan sebaliknya memberikan tempat serupa bagi Iran di mata mereka. Sejak Revolusi Islam, relatif tidak ada pergantian rezim di negara-negara Arab Teluk, sehingga perspektif dasar mereka tentang Iran relatif statis, yaitu the other Syiah-Persia yang berambisi mengekspor revolusinya dan menjadi pemimpin Dunia Islam. Oleh karena itu, revivalisme Revolusi Islam di era Ahmadinejad ini membangkitkan memori tentang ancaman Iran di antara para pemimpin Arab Teluk. Di satu sisi mereka harus merespon (secara terbatas) inisiasi Iran untuk menjaga hubungan baik. Di sisi lain, mereka tetap harus waspada. Kekuatan militer harus ditingkatkan (Chamberlain, 2007). Kohesi antara sesama anggota GCC dan kerjasama keamanan dengan AS harus diperkuat (Knapp, 2010). Negara-negara Arab Teluk ini terutama Arab Saudi merasa role identities mereka terancam oleh pengaruh regional Iran yang semakin menonjol baik di Irak, Lebanon maupun Palestina. Kebijakan bertetangga baik dengan rezim-rezim monarki di Teluk menjadi perbedaan mendasar antara generasi neokonservatif ini dengan para pendahulunya pada era 1980an. Padahal, ‘ekspor revolusi’ dan ‘anti-monarki’ adalah norma vital pada masa Khomeini. Ada beberapa faktor sosio-historis yang melahirkan perbedaan tersebut. Pertama, norma tersebut tidak lagi memiliki high commonality. Sejak meninggalnya Khomeini, para elit politik Iran bergeda pendapat mengenai bagaimana norma tersebut dilaksanakan. Perbedaan tersebut saat ini jauh lebih tajam dari pada sebelumnya. Kedua, rendahnya legitimasi pemerintahan Ahmadinejad dibandingkan dengan pemerintah pada rezim Khomeini. Kalau pun saat ini ‘ekspor revolusi’ hendak dibangkitkan, belum tentu akan didukung oleh rakyat dan Ayatullah Khamenei yang lebih moderat daripada Ayatullah Ruhullah Khomeini. Ketiga, sejarah memberikan pelajaran penting kepada generasi tengah Revolusi Islam ini – generasi non-ulama yang setia pada nilai-nilai revolusi dan tumbuh di bawah the eshtablishment apparatus (Ehteshami & Zweiri, 2007:79). Ekspor revolusi pada era ‘80an telah melahirkan perang 8 tahun yang efeknya masih terasa hingga sekarang. Sementara itu, era kooperatif dengan Arab Teluk di bawah Rafsanjani dan Khatami ternyata belum mampu menghasilkan pembangunan yang merata. Oleh karena itu, pelaksanaan ‘ekspor revolusi’ dan ‘anti-monarki’ saat ini akan membahayakan masa depan Republik Islam sendiri. Keempat, negara-negara Arab Teluk saat ini sudah jauh lebih kuat baik ekonomi maupun militernya dibandingkan dengan pada era ‘80an. Kehadiran militer AS di sekitar Teluk saat ini juga jauh lebih besar. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ‘ekspor revolusi’ perlu dipahami secara lebih “elegan.” The Mother of the Cities of the Abode of Islam mewajibkan Republik Islam Iran untuk tegas terhadap musuh-musuh Islam yang menindas umat Muslim terutama di Palestina, dan melindungi mereka, serta membela kelompok-kelompok yang tegas melawan mereka seperti Hamas dan Hezbullah. Dengan begitu, Republik Islam Iran akan memperoleh tempat terhormat di kalangan Dunia Islam; prasyarat untuk menjadi The Mother of the Cities; prasyarat untuk kembalinya Sang Imam (Mahdi). F. Kesimpulan Republik Islam Iran adalah fase terbaru dari budaya politik etno-religius bangsa Persia. Sejak ditaklukkan oleh bangsa Arab, Islam telah merubah kehidupan bangsa Persia secara dramatis. Namun demikian, budaya politik tersebut telah mempengaruhi pemahaman mereka tentang ajaran-ajaran politik Islam. Mereka menjadi penganut Syiah yang taat. Republik Islam adalah fase terbaru kebangkitan politik Syiah atas mayoritas Sunni. Pola hubungan anarkis pun tercipta, sepertinya halnya Dinasti Safawi yang Syiah dengan Dinasti Utsmani yang Sunni, antara Republik Islam dengan negara-negara Arab Sunni di Teluk. Maka, bagaimana pun Iran di bawah Ahmadinejad berusaha menegasikan perbedaan ini dengan retorika-retorika pan-Islamismenya , negara-negara Arab Teluk tetap menganggapnya sebagai the other Persia-Syiah. Di samping mereka bersedia merespon niat baik Iran, mereka tetap waspada dan menjaga jarak terhadap Iran. DAFTAR PUSTAKA Buku Al-Maududi, Abu A’la. 1996. Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terj. Bandung. Penerbit Mizan. Anshari, Ali M. 2008. Supremasi Iran: Poros Setan atau Superpower Baru? Jakarta. Zahra Publishing House. Arjomand, Said Amir. 2009. After Khomeini: Iran under His Successors. New York. Oxford University Press. Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Terj. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Ceveland, William L. 2000. A History of the Modern Middle East (Second Edition). Colorado. Westview Press. Dougherty, James E. & Robert L. Pfaltzgraff, JR. 2001.Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Survey. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Ehteshami, Anoushiravan & Zweiri, Mahjoub. 2007. Iran and the Rise of Its Neoconservatives: The Politics of Tehran’s Silent Revolution. London. I.B. Tauris & Co Ltd. Hitti, Philip K. 2008. History of the Arabs, Terj. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hobson, John M. 2000. The State and International Relations. Cambridge. Cambridge University Press. Hunter, Shireen T. 1990. Iran and the Arab World, dalam Rezun, Miron (editor). Iran At The Crossroads: Global Relations in A Turbulent Decade. Colorado/Oxford. Westview Press. Juergensmeyer, Mark. 1993. The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State. Berkeley and Los Angeles. University of California Press. Kamrava, Mehran. 2005. The Modern Middle East: A Political History Since the First World War. Berkeley and Los Angeles. University of California Press. Parsi, Trita. 2007. Treacherous Alliance: the Secret Dealing of Israel, Iran and the Unites States. New Haven and London. Yale University Press. Rahman, Musthafa Abd. 2003. Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Rezun, Miron (editor). 1990. Iran at The Crossroads: Global Relations in A Turbulent Decade. Colorado/Oxford. Westview Press. Shihab, M. Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Tangerang. Penerbit Lentera Hati. Takeyh, Ray. 2009. Guardians of the Revolution: Iran and the World in the Age of Ayatullahs. New York. Oxford University Press. Jurnal Finnemore, Martha & Kathryn Sikkink, 1998. International Norm Dynamics and Political Change, dalam International Organization. Vol.52. No.4: 887-917. -------------------------------------------------. 2001. Taking Stock: Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics, dalam Annual Review on Political Science, Vol.4. No.1: 391-416. Guzzini, Steffano. 2000. A Reconstruction of Constructivism in International Relations, dalam European Journal of International Relations, Vol.6. No.2: 147-182. Katzenstein, Peter, Robert O. Keohane & Setphen D. Krasner. 1998. International Organization and the Study of World Politics, dalam International Organization, Vol.52. No.4: 645-685. Reus-Smit, Christian & Richard Price. 1998. Dangerous Liaisons? Critical International Theory and Constructivism, dalam European Journal of International Relations. Vol.4. No.3: 259-294. Sadeghi, Ahmad. 2009. Genealogy of Iranian Foreign Policy: Identity, Culture and History, dalam The Iranian Journal of International Affairs. Vol. XX. No.4: 1-40. Wendt, Alexander. Spring, 1992. Anarchy is What States Make of it: The Social Construction of Power Politics, dalam International Organization, Vol.46. No.2: 391-425. Artikel Internet Iranian Constitution. Knapp, Patrick. The Gulf States in the Shadow of Iran: Iranian Ambition, Middle East Quraterly. Winter 2010, pp.49-59, dari http://www.meforum.org/2580/gulf-states-shadow-of-iran. Diakses 26 April 2010. Baki, Aminuddin. Conceptualization of Collective Identity in Integration, dari http://www.waseda-giari.jp/sysimg/imgs/200908_si_st_06baki_paper_v2.pdf. diakses 29 Mei 2010. Boekle, Henning, Rittberger, Volker & Wagner, Wolfgang, Norms and Foreign Policy: Constructivist Foreign Policy Theory, dari http://www.uni-tuebingen.de/uni/spi/taps/tap34a.htm. Diakses 26 April 2010. Chamberlain, Gethin. 2007. Gulf States Load up on Weapons of War, dari http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/1542340/Gulf-states-load-up-on-weapons-of-war.html. Diakses 9 Juni 2010.

1 comment:

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam