Thursday, January 13, 2011

KEBIJAKAN PEMERINTAH PERANCIS TERHADAP MUSLIM DI PERANCIS PASCA 11 SEPTEMBER


Oleh: HUSNUL MURTADLO/06260101 N ABIM/06260140
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Terjadinya peristiwa 11 September 2001 berdampak sangat luas yang mampu merubah sejarah dunia. Isu demokratisasi berubah menjadi isu terorisme setelah bush mendeklarasikan perang terhadap teror "Bersama kami atau menentang kami". Terorisme 11 September tidak hanya menjadi permasalahan keamanan domestik Amerika Serikat saja, namun juga telah menjadi suatu masalah dalam keamanan global. Efek dari peristiwa 11 September tersebut tidak hanya merubah politik dunia, namun juga mempengaruhi dunia Islam. Tuduhan yang dilontarkan Bush tentang dugaannya pelaku atas pemboman WTC adalah orang Islam, tentunya hal ini merugikan kaum Muslimin seluruh dunia yang menjadi korban dampak serangan 11 September tersebut. Akibatnya di negara-negara Barat, masyarakat Muslim mendapat perlakuan yang tidak adil dilakukan terhadap mereka, berbagai  diskriminasi diterima oleh umat Islam dalam berbagai bidang yaitu pendidikan, ekonomi dan lapangan pekerjaan dan bahkan dalam kehidupan pribadi mereka.
Dampak dari war on terror yang disinyalir Bush dilakukan oleh kaum Muslim berakibat semisal yang di ungkapkan badan HAM Uni Eropa (UE), Agency for Fundamental Rights (FRA) yang dikutip dari Al Jazeera bahwa diskriminasi terhadap Muslim di Eropa ternyata lebih luas daripada yang diberitakan. Terbukti, satu dari tiga Muslim di Eropa mengalami diskriminasi. Dalam survei yang dilakukan di 14 negara anggota UE, FRA menyatakan bahwa sepertiga responden ternyata merupakan korban diskriminasi yang terjadi pada beberapa tahun lalu. Selain itu, sebanyak 11 persen responden juga pernah menjadi korban tindak kejahatan yang bermotif rasial. Selain itu FRA juga menemukan kenyataan bahwa sebagian besar insiden itu tak dilaporkan kepada polisi. Sebab, mayoritas Muslim itu yakin tak akan ada yang dilakukan polisi atas laporan mereka itu. Menurut FRA, tingkat tertinggi diskriminasi terjadi di tempat kerja, bahkan sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Direktur FRA, Morten Kjaerum mengatakan lapangan pekerjaan merupakan bagian penting dari proses integrasi bagi Muslim dengan masyarakat secara luas di mana mereka tinggal. Ini merupakan inti kontribusi yang bisa diberikan para migran Muslim kepada masyarakat. Diskriminasi membuat proses integrasi terganggu.[1]
Dalam hal ini proses integrasi yang dimaksudkan adalah proses pembauran umat muslim yang merupakan imigran didalam kehidupan masyarakat serta mendapat kedudukan yang sama dimata negara dan hukum. Sesuai dengan opini cantle (2005:39), integrasi merujuk pada beberapa tindakan seperti tindakan tidak mendiskriminasikan, tindakan untuk memberikan kesempatan yang sama dan seterusnya. The American Encyclopedia juga menjelaskan integrasi merupakan proses membawa budaya-budaya yang berbeda dan berjalan bersama dan didasarkan atas persamaan, keadilan dan persamaan perlindugan dibawah hukum.[2] Tentunya dampak dari peristiwa 11 September ini mengganggu proses integrasi umat muslim sebagai imigran yang membawa budaya baru di Eropa.
Seperti halnya di Inggris, laporan tahunan tentang HAM yang berjudul Country Reports on Human Rights Practices yang dirilis Amerika Serikat yang berisi berbagai macam gambaran suram diskriminasi terhadap Muslim yang terjadi di negara-negara Eropa pada 2009 lalu. Laporan ini juga memberitakan Inggris karena negara itu dinilai telah melanggar HAM kaum minoritas Muslim. Selain itu, laporan tersebut juga mengungkapkan adanya pelecehan terhadap anggota komunitas Muslim Arab, terutama para imigran yang berasal dari Afrika Utara. Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Demokrasi, HAM, dan Buruh, Michael Posner mengatakan bahwa serangan terhadap umat Muslim ataupun harta mereka juga terjadi di Inggris. Terdapat banyak insiden kekerasan terhadap individu dan properti serta sejumlah aksi unjuk ras dan pertemuan umum yang mengandung pesan-pesan anti-Muslim.[3]
Akan tetapi, Inggris merespon tindakan diskriminatif yang terjadi di negaranya dengan menerapkan kebijakan yang sama dan adil bagi warganya. Bukti ini diantaranya adalah kaum Muslim Inggris mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan warga Inggris lainnya, seperti dalam hal kesempatan pendidikan, perawatan kesehatan, demokrasi, kebebasan berekspresi sesuai dengan agama yang dianutnya, kesetaraan jender, toleransi, dan lain-lain. Hal ini juga dirasakan kaum Muslim yang miskin yakni  pemerintah Inggris memberikan bantuan seperti memperluas usaha penciptaan lapangan kerja di daerah-daerah miskin. Upaya ini penting bukan hanya bagi kaum Muslim, tetapi juga kaum lainnya untuk meningkatkan kesempatan dan mengatasi ketidaksetaraan di setiap golongan masyarakat Inggris .
Seperti tahun 2001, Sensus Nasional mengikutsertakan sebuah pertanyaan mengenai agama untuk pertama kalinya. Menyusul kerusuhan yang terjadi di kota – kota Yorkshire, sebuah tinjauan atas pesanan pemerintah yang dipimpin oleh Ted Cantle memberikan rekomendasi dalam meningkatkan persatuan dalam masyarakat. Pemerintah menyusun perundang – undangan yang memperluas undang – undang tentang hubungan antar ras agar mencakup isu hasutan yang mendorong kebencian terhadap agama.[4] Tahun 2003, pengenalan perundang-undang yang melarang diskriminasi ditempat kerja atas dasar keyakinan agama.[5]
Pada tahun 2005, Menyusul pengeboman di London pada tanggal 7 Juli, pemerintah mengerahkan kelompok kerja Muslim Inggris di bawah bendera Preventing Extrimism Together. Ketika beberapa waktu yang lalu terjadi aksi teror yang menggemparkan Inggris, Pemerintah Inggris hanya menyebut pelakunya sebagai teroris tanpa sama sekali mengaitkan dengan agama yang dipeluknya.
Kemudian di Jerman, warga Muslim boleh berbahagia karena hak – haknya sebagai warga negara terjamin. Hal ini terlihat dalam sektor pendidikan, dimana sekolah – sekolah di Jerman mulai memasukkan pelajaran Islam dalam kurikulumya agar murid Islamnya dapat mengetahui jati diri sebagai Muslim. Bahkan 200 sekolah menawarkan kursus agama Islam yang dibiayai oleh negara bagian dan organisasi Muslim setempat. hal ini bisa terwujud melalui Konferensi Islam di Jerman, sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah Jerman pada tahun 2006 yang berhasil bernegosiasi dengan pemerintah Jerman agar sekolah-sekolah di seluruh Jerman juga mengajarkan mata pelajaran agama Islam.  Wolfgang Schaeuble, mendagri Jerman sudah menyetujui keinginan lembaga Konferensi Islam Jerman[6].
            Masyarakat Jerman non-Muslim sendiri juga sangat menghormati warga Muslim yang lain. Hal ini terbukti dengan adanya Lima ribu orang berdemonstrasi pada hari minggu 28 maret 2010 untuk memproklamasikan sikap protes mereka terhadap perilaku kelompok sayap kanan anti Islam di kota Duisburg, Jerman. Para demonstran mengangkat slogan-slogan yang menentang sikap permusuhan terhadap Islam dan umat Islam dan menyerukan untuk bekerjasama pada penyatuan masyarakat Muslim di Jerman. Demonstrasi ini datang sebagai tanggapan terhadap kelompok sayap kanan ekstrim anti Islam yang mengkampanyekan sikap permusuhannya terhadap umat Islam di North Rhine-Westphalia, dan mengklaim mereka menolak setiap adanya upaya 'Islamisasi terhadap masyarakat Jerman[7].
Berbeda dengan Perancis, meskipun dalam perkembangannya umat Islam di awal abad 21 menjadi agama terbesar kedua setelah Katolik Rhoma, umat muslim harus menghadapi dampak dari peristiwa 11 September 2001.[8] Pasca peristiwa 11 September 2001 menjadikan adanya kebencian terhadap umat Islam di Eropa termasuk masyarakat Perancis sehingga terjadi perlakuan rasis tanpa mengetahui asal sumber agama ini terjadi. Islam selalu dikaitkan dengan teroris, agama yang radikal dan tidak mengakui HAM. Di dalam masyarakat Perancis banyak terjadi tindakan kekerasan terhadap warga Muslim. Hal ini karena mereka menganggap Islam sebagai agama yang tidak berpri-kemanusiaan yang telah melakukan teror dengan menghancurkan gedung WTC. Kemudian melihat tindakan terorisme Afganistan serta melihat gerakan melawan di Palestina yang dilakukan oleh orang Islam tanpa mengetahui sebab tindakan tersebut. Hal ini juga tidak lepas dari peran media yang selalu memberitakan tentang Islam dari satu sudut yakni tidak memberitakan tentang Islam yang sebenarnya dipahami oleh Muslim di Perancis, melainkan Islam adalah agama radikal.
Perancis terlihat dalam hal ini berusaha untuk memerangi umat Islam dengan merespon hal ini melalui pembahasan yang agak panjang mengeluarkan kebijakan yang sangat kontroversial dimata dunia bahkan di negara barat sendiri. Pada tanggal 17 Desember 2003 Presiden  Jacques Chiraq mengajukan rancangan undang-undang yang melarang pemakaian simbol-simbol agama di sekolah negeri, mencakup penggunaan kerudung (hijab) bagi muslimah, kippa untuk kaum Yahudi, dan tanda salib besar untuk kaum nasroni, yang kemudian di rancang sejak Februari 2004 setelah disetujui Majelis Rendah. Presiden Jacques Chiraq yang partainya menguasai Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi menyatakan secara tegas bahwa republik Perancis adalah negara tempat lahirnya ide-ide atau prinsip- prinsip besar dan negara yang memiliki warisan kekayaan sejarah dengan pluralitas budaya, suku serta agama, tidak boleh mengkotak – kotakkan masyarakatnya ke dalam berbagai komunitas.[9] Dan UU ini diharapkan akan mengukuhkan kembali tradisi sekuler Perancis dimana agama dan negara dipisahkan secara tegas.
Isi undang – undang tersebut memang tak secara spesifik diberlakukan kepada komunitas muslim. Namun dasar pijakan dari kebijakan itu sebenarnya memang mengarah kepada komunitas muslim. Konsul budaya Perancis di Jakarta, Gilles Garachon misalnya, mengakui bahwa gagasan untuk melahirkan peraturan ini memang muncul setelah terjadinya serangan 11 September 2001 di New York dan washington. Pemerintah tengah kanan Jaques Chiraq dan “arsitek” pengintegrasian muslim, Nicolas sarkozy mengidamkan sebuah konsep bagi muslim Perancis, dimana muslim harus diintegrasikan ke dalam masyarakat Perancis untuk menghindari benturan kebudayaan yang bisa memberikan inspirasi terorisme.[10]
Tidak hanya pengajuan UU anti simbol, bahkan pejabat dan media massa negara Perancis juga mengemukakan usulan agar para imam masjid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Perancis dalam menyampaikan khotbah serta memasukkan topik budaya dan sejarah Perancis didalam khotbah mereka. Meskipun Perancis selama ini mengklaim diri sebagai tempat lahirnya demokrasi dan kemerdekaan, namun tindakan media massa negara ini, yang menekan dan menghina lima juta umat Islam di Perancis, jelas bertentangan dengan klaim tersebut.[11]Aksi pemerintah Perancis layaknya disebut sebagai upaya rasisme dan Islamophobhia mengajak bersama-sama memusuhi Islam tanpa bukti nyata.[12] Komunitas Islam tengah melawan kekuatan legal yang merampas HAM.
Hal ini menjadi menarik untuk dibahas karena ada perbedaan, di antara ketiga negara Eropa yang merupakan negara demokrasi serta menganut paham sekular, dalam merespon dampak peristiwa 11 September 2001. Dimana Perancis merespon dampak peristiwa itu dengan mengeluarkan kebijakan yang dinilai dan dirasa merupakan kebijakan yang bisa dikatakan membatasi kebebasan manusia untuk menunaikan ajaran agamanya masing-masing. Berbeda dengan respon dari negara Inggris dan Jerman yang lebih mewadahi Umat Islam yang merupakan agama minoritas sebagai korban dari dampak 11 September 2001.









1.2 Rumusan Masalah
            Dari permasalahan yang dipaparkan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah penelitian yaitu :
Bagaimana Kebijakan Pemerintah Perancis terhadap muslim pasca 11 September?
1.3 Tujuan Penelitian
            Dengan melihat permasalahan yang ada serta rumusan masalah yang diajukan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Untuk mengetahui tindakan diskriminatif terhadap Islam yang terjadi di Perancis sebagai dampak peristiwa 11 September.
2.      Untuk mengetahui kebijakan yang diambil Perancis, dalam membentuk identitas dan integrasi, dalam menyikapi tindakan diskriminatif terhadap muslim yang terjadi pasca 11 September.
1.4. Studi Terdahulu
Sebelum penulis menentukan batasan masalah yang akan dibahas. Penulis terlebih dahulu mempelajari hasil tulisan dari pengamat hubungan internasional. Dalam hal ini difokuskan pada pengamatan kehidupan Muslim di Perancis. Mempelajari pengamat terdahulu dimaksudkan untuk menghindari kesamaan dalam penulisan dan cara mengamati fenomena internasional. Dalam hal ini penulis mempelajari hasil analisa dari dua pengamat.
Pertama, Menurut Amin Mudzakkir, Peneliti di Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI jakarta, dalam penutup jurnalnya yang berjudul “Antara Iman dan Kewarganegaraan: Pergulatan Identitas Muslin Eropa ” mengatakan bahwa migrasi Muslim ke Eropa disamakan artimya dengan Hijrah menurut Islam yang bertujuan untuk berdakwah. Hal ini dikatan karena Eropa diartikan sebagai Darul Harb (negara kafir) yang merupakan lahan dakwah. Akan tetapi apabila kita lihat sejarah migrasi Muslim ke Eropa khususnya Perancis terjadi karena saat itu Perancis mengambil tenaga buruh dari Aljazair dam Maroko yang kemudian juga berkembang melalui dakwah karena hal ini satu hal yang dilakukan oleh setiap agama.
            Kedua, Laporan penelitian yang disusun oleh Roosi Rusmawati, Ketua Progam Studi S1 Bahasa dan Sastra Perancis Universitas Brawijaya, yang berjudul Undang Undang Laїcité 2004 (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang-Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolah-Sekolah Negeri Perancis). Dalam laporannya dijelaskan tentang reaksi keras dari berbagai penjuru dunia, terutama dari kaum Muslim dan kaum kristiani terhadap undang undang Laїcité yang di usulkan Presiden Jacques Chirac pada tanggal 17 Desember 2003. Kemudian dijelaskan pula alasan pada anggal 15 Maret 2004 undang-undang Laїcité tetap disahkan oleh pemerintah Perancis meski mendapat reaksi dari seluruh dunia. Tujuan pemerintah Perancis tetap meloloskan undang-undang Laїcité untuk menjalankan ideology sekuler dan budaya yang di anut Perancis. Terselenggaranya prinsip-prinsip sekuler bertujuan agar tercipta kehidupan yang harmonis diantara rakyat Perancis yang heterogen. Masyarakat Perancis yang heterogen di sebabkan karena banyaknya imigran dari berbagai negara yang datang dan tinggal diPerancis. Menurutnya ada dua alsan yang dimiliki pemerintah Perancis menesahkan rancangan undang-undang Laїcité. Yakni untuk mempertahankan ideologi dan budaya Perancis. Karena banyaknya imigran yang masih membawa ideologi dan budaya mereka masing-masing yang menyebabkan banyak terjadi friksi baik berupa perselisihan maupun konflik fisik.
            Jika dalam hasil penelitian Amin Mudzakkir dalam  jurnalnya yang berjudul “Antara Iman dan Kewarganegaraan: Pergulatan Identitas Muslim Eropa” menjelaskan tentang proses masuknya umat Islam ke Eropa melalui imigrasi dengan membawa nilai dari negara asal, dan kemudian dalam laporan penelitian Roosi Rusmawati yang berjudul “Undang Undang Laїcité 2004 (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang-Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolah-Sekolah Negeri Perancis)” menjelaskan tentang alasan disahkannya undang-undang tersebut karena alasan ideologi dan budaya Perancis, maka penulis berusaha mengembangkan penelitian sebelumnya dengan melihat lebih jauh tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh Perancis mengenai tindakan diskriminatif terhadap muslim serta reaksi taerhadap kebijakan itu sendiri yang merupakan satu wujud dari multkulturalisme dan demokrasi yang di pahami oleh Perancis.







 1.5. Konsep dan Teori
1.5.1 Kebijakan Sosial
            Kebijakan sosial merupakan seperangkat tindakan (Course of action), kerangka kerj (framework), petunjuk (Guideline), rencana (Plan), peta (Map), atau strategi sebagai visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam progam dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang kesejahteraan sosial (Welfare).[13]
            Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni : memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.[14] Tujuan ini bagi semua golongan mayarakat untuk mempermudah dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menanggapi perubahan sosial.secara lebih rinci, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah :[15]
·         Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi dimasyarakat.
·         Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.
·         Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal struktural.
·         Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan mencapai kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat kemanusiaan.
·         Menggali, mengalokasikan dn mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
Menurut David Gil (1973), unuk mencapai tujuan-tujuan kebijaksanaan sosial, terdapat perangkat dan mekanisme kemasyarakatan yang perlu diubah, yaitu yang menyangkut :[16]
1.      Pengembangan sumber-sumber
2.      Pengalokasian status
3.      Pendistribuan hak
Pengembangan sumber-sumber meliputi pembuatan keputusan-keputusan masyarakat dan penentuan pilihan-pilihan tindakan bekenaan dengan jenis, kualitas, dan kuantitas semua barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang ada dalam masyarakat. Pengalokasian status menyangkut peningkatan dan perluasan akses serta keterbukaan kriteria dalam menentukan akses tersebut bagi seluruh anggota masyarakat. Kebijakan sosial harus memiliki efek pada penghilangan segala bentuk diskriminasi. Kebijakan sosial harus mendorong bahwa semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, berserikat dan berkumpul dalam organisasi sosial, tanpa mempertimbangkan usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras, suku bangsa dan agama. Ketiga aspek tersebut merupakan kerangka acuan dlam menentukan tujuan kebijakan sosial. Kebijakan sosial harus memperhatikan distribusi barang dan pelayanan, kesempatan, dan kekuasaan yang lebih luas, adil dan merata bagi segenap warga masyarakat.
1.5.1 Politik Multikulturalisme
Multikuluralisme, yaitu sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehiduoan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan. Sementara Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjagan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang baik. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.[17]
Sehingga dibutuhkan peran dari pemerintah untuk memberikan kebijakan yang menyangkut keberagaman ini. Karena kebijakan ini nantinya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat baik di bidang pendidikan, sosial, politik, budaya, juga ekonomi. Jika pemahaman keberagaman ini tidak ada dalam masyarakat, implikasinya dalam relasi sosial antarwarga masyarakat akan penuh kecurigaan, prasangka, dan ketidakpercayaan. Dalam kerangka lebih luas, kondisi ini menjadi pemicu lahirnya konflik dan kekerasan.
Jadi, Politik multikulturalisme muncul untuk merespon dan menghadapi permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh keberagaman yang sering terjadi pada negara-negara modern. Politik multikultur berkaitan dengan kebijakan publik pemerintah (public policy) atas merebaknya permasalahan yang seiring dengan berjalannya keragaman. Dimaksudkan disini adalah keragaman yang ditimbulkan dari munculnya para migran yang menimbulkan suatu konflik. Dimana konflik-konflk tersebut menciptakan perselisihan, rekonsiliasi etnis maupun ras, kekerasan, akulturasi budaya, ketegangan antar agama dan bahasa.[18]
Konsepsi multikulturalisme diawali oleh perlawanan sebagian warga Kanada terhadap ambisi dominasi dan hegemoni kelompok Anglo-Saxon dan Franco di pusat kekuasaan Kanada (Foster dan Stockley, 1989). Wacana multikulturalisme muncul dalam konteks penanganan aspirasi minoritas kultural tersebut .[19] Menurut Bhikhu Parekh (2001) konsep multikulturalisme merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari keanekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.[20] Jadi dalam multikulturalisme, keanekaragaman dan perbedaan itu tidak hanya sekedar suatu perbedaan dan keanekaragaman kelompok, tetapi juga bagaimana perbedaan dan keanekaragaman kelompok tersebut dapat hidup berdampingan tanpa pembatasan-pembatasan, dari kelompok-kelompok lainnya.
Di Perancis, mutikulture sendiri mulai menjadi bahasan setelah banyaknya imigran dari bekas jajahan Perancis yang juga dijadikan tentara untuk melawan pendudukan Jerman pada perang dunia ke dua dan ketiga kemudian mengambil pekerja keras dari negara koloninya dalam membangun Perancis setelah perang. Dimana para tentara tersebut akhirnya menetap dan membawa istri dan sanak saudara mereka yang merupakan beragama Islam. Menurut definisi yang diberikan oleh situs pemerintah Prancis, multikulturalisme adalah salah satu cara yang mungkin untuk menyatukan penduduk imigran ke dalam masyarakat dalam kehidupan politik maupun hidup berkebangsaan.[21]
Perancis yang merupakan negara yang menjujung tinggi prinsip dari Revolusi Perancis seharusnya menghormati dan melindungi budaya yang datang dari luar yang dibawa oleh kaum muslim imigran untuk memperkaya kebudayaan Perancis itu sendiri. Bukan malah mendiskriminasikan warga muslim yang diawali ketika anak – anak muslim perempuan masuk ke sekolah-sekolah negeri di Perancis timbulah masalah karena mereka memakai jilbab, ada sebagian dari pengajar merasa terganggu dengan penampilan mereka. Kemudi pengajar tersebut mengusulkan kepada kepala sekolah untuk membuat peraturan baru tentang tata cara berpakaian siswa di sekolah. Masalah tersebut kemudian diajukan kepada pemerintah oleh Menteri Pendidikan Nasional; dan pada 27 November 1989 pemerintah memberi otonomi kepada para kepala sekolah.[22]
Hal ini dilanjutkan setelah pristiwa 11 September 2001 yang memicu terjadinya sikap anarkis yang diterima oleh warga muslim di Perancis. Momen ini digunakan oleh Pemerintah Perancis untuk mengeluarkan kebijakan yang mengatur pelarangan penggunaan simbol-simbol agama d sekolah negeri Perancis yang kemudia meluas di bukan hanya di sekolahan. Hal ini menjadi  kebijakan pemerintah untuk mengurangi tindak kekerasan yang sedang terjadi, akan tetapi malah menjadi kebijakan yang menunai protes dari warga muslim. Karena hal ini merujuk pada pelarangan jilbab yang merupakan kewajiban bagi umat muslim perempuan.
1.5.2 Konsep Diskriminasi
Kalau prasangka masih meliputi sikap, keyakinan, atau predisposisi untuk bertindak, maka diskriminasi mengarah pada tindakan nyata. Menurut Zastrow (1989), diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antar manusia maupun komunikasi di antara mereka. Doob (1989) lebih jauh mengakui, diskriminasi merupakan perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok, atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumber daya. Prasangka dipandang sebagai ideologi atau keyakinan, dan diskriminasi adalah terapan ideologi tersebut. Secara teoritis, kata Doob, diskriminasi dapat dilakukan melalui kebijakan untuk mengurangi, memusnahkan, menaklukkan, memindahkan, melindungi secara legal, menciptakan pluralisme, dan mengasimilasi budaya kelompok lain.[23]
Ada dua tipe diskriminasi, yakni diskriminasi indivudal dan institutional. Diskriminasi individula merupakan tindakan diskriminasi yang langsung dan berada pada tingkat mikro.[24] Hal ini dapat kita lihat dari perlakuan warga non muslim Perancis terhadap warga muslim Perancis karena adanya parasangka muslim sebagai teroris. Sedangkan diskriminasi institutionaladalah diskriminasi tidak langsung dan berada pada tingkat makro. Sebagai contoh, tindakan diskriminasi langsung terhadap individu maupun tidak langsung  kepada sekelompok etnik atau ras melalui kebijakan-kebijakan tertulis maupun tidak tertulis, yang memisahkan atau menjauhkan atau mencegah aktivitas antar etnik.[25] Hamilton dan Carmichael telah mnembangkan konsep rasisme institusi digambarkan lewat akumulasi praktik institusi (melalui kebijakan dan regulasi)  rasisme terhadap kelomok kulit hitam berupa pelayanan kesehatan.[26]
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan.[27]
Diskriminasi menjadi masalah ditengah  negara yang multikulture, dimana terdapat kelompok dominan dan minoritas. Disini terlihat Pemerintah sebagai kelompok dominan melakukan diskriminasi dengan mengeluarkan kebijakan pelarangan pemakaian simbol-simbol agama yang secara tersembunyi ditujukan terhadap muslim yang memang sangat mencolok dengan memakai burqo. Sebagai pemerintah yang menghormati kebebasan berekspresi termasuk dalam agama seharusnya memberi perlindungan untuk memakai atributnya sebagai manusia yang bebas bukan malah mengambil Hak Asasi mereka untuk bebas.




1.6     Metodologi Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
            Penulisan karya ini menggunakan metode eksplanasi, sebagai salah satu cara untuk manjelaskan permasalahan yang sedang dibahas. Menurut Dr. Ulber Silalahi, metode explanasi merupakan jenis metodologi yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih variabel. Namun dalam penelitian ini hanya menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan independen. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana korelasi antara dua atau lebih variabel baik pola, arah, sifat, bentuk, maupun kekuatan hubungannya.[28]
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
            Dalam penulisan ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh secara tidak langsung di lapangan. Data ini dipelajari dengan mempelajari dan memahami literatur-literatur, majalah, artikel, internet, dan karya ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang diangkat penulis.
1.6.3 Teknik Analisa Data
            Dalam penulisan ini, penulis menggunakan teknik analisa explanasi yang lebih menekankan pada hubungan kausalitas. Sehingga, dalam penyusunan karya ilmiah ini menguji antara dua variabel. Teknik analisa explanasi kausal yang dimaksudkan untuk menjelaskan pengaruh perubahan variasi nilai dalam satu atau lebih variabel terhadap perubahan variasi nilai dalam satu atau lebih variabel lain. Dalam penelitian kausal, sangat jelas terdapat variable independen sebagai variabel sebab dan variabel dependen sebagai variabel akibat. Misalnya dalam penelitian ini, “ Peristiwa 11 september “ merupakan variabel independen (sebab), sedangkan “kebijakan pemerintah perancis terhadap muslim di perancis” merupakan variabel dependen (akibat).
1.6.4   Ruang Lingkup Penelitian
            Untuk membatasi pembahasan agar tidak terlalu jauh dari tujuan penulisan yang ingin dicapai, maka penulis memberiakan ruang lingkup penelitian. Diantaranya adalah hanya memberikan gambaran tentang dampak peristiwa 9 September 2001 di Eropa, sejarah perkembangan Islam di Perancis dan kebijakan Perancis dalam merespon dampak peristiwa itu.
1.7    Hipotesa
Keinginan Pemerintah untuk tidak mengkotak-kotakkan masyarakat Perancis kedalam berbagai komunitas serta Peristiwa 11 September yang memicu tindakan kekerasan terhadap muslim dengan mengeluarkan kebijakan yang tertuju dan memberatkan umat Islam.
1.8   Struktur Penulisan
            Untuk mempermudah memahami penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut :
BAB I             PENDAHULUAN
            Bab ini tediri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metodhologi, hipotesa, dan di akhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II           PERANCIS DAN ISLAM
Dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang Perancis (sistem pemerintahan Perancis, kolonialisasi perancis di Afrika Utara, komposisi penduduk Perancis), yang kemudian dilanjutkan dengan sejarah masuknya umat islam di perancis. Perkembangan umat Islam di Perancis. Hubungan pemerintah dan muslim.
BAB III                      DAMPAK PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001
Dalam bab ini penulis menjelaskan  dampak peristiwa 11 september bagi umat muslim di tiga negara Eropa termasuk Perancis, yang kemudian dilanjutkan tentang kebijakan pemerintah Perancis sesudah peristiwa 11 September 2001.
BAB IV          PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan sekaligus berisi tentang saran-saran dan guna kebutuhan serta masukan-masukan kepada penulis.









DAFTAR PUSTAKA
Buku
Muchtar Pabotinggi, M. Hamdan Basyar, Dhurosudin Mashad, Afadlal, 2008, Potret Politik Kaum Muslim Di Perancis Dan Kanada, Pustaka Belajar: Yogyakarta
Departemen Luar Negeri dan Persemakmuran London, Muslim Inggris, diterbitkan Kementrian Luar Negeri,2007
Lebor, Adam, 2009, Pergulatan Muslim Di Barat, Mizan:Bandung
Salwasalsabila, Syarifah. 2008. Islam, Eropa, & Logika. O2;Yogyakarta. Hal 39
Nganiun Naim dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, AR-RUZZ MEDIA:Jogjakarta
Suharto, Edi.2008. Analisa Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. ALFABETA:Bandung
Silalahi, Ulber, 2009, Metode Penelitian Sosial, PT. Refika Aditama, bandung
Jurnal
Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 2009, Agama dan Religiusitas di Eropa, Progam Studi Kajian Wilayah Eropa Progam Pascasarjana Universitas UI, Jakarta
Alamat Website
http://www.parlezfrancais.net/2008/03/multikulturalisme-la-prancis.html
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html


[2] Ai Fatimah Nur Fuad, 2009, The Role of Islamic Organization in britain in PromotingIdeas about Muslim Integration, Isolation or Rejection within the British Society: A Comparison between Hizbut Tahrir and Jama’at Islami,  Jurnal Kajian Wilayah Eropa, vol. V No. 1, Hal.8
[3] http://bataviase.co.id/node/131307, diakses pada 27 Juni 2009
[4] Departemen Luar Negeri dan Persemakmuran London, Muslim Inggris, diterbitkan Kementrian Luar Negeri,2007.
[5] Ibid
[8] Muchtar Pabotinggi, M. Hamdan Basyar, Dhurosudin Mashad, Afadlal, Potret Politik Kaum Muslim Di Perancis Dan Kanada, Pustaka Belajar: Yogyakarta. 2008, Hal 60
[9] Roosi Rusmawati, 2009, Undang Undang Laïcité (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolah-sekolah Negeri Perancis), )Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol V No 1, Hal.132
[10] Muchtar Pabotinggi, M. Hamdan Basyar, Dhurosudin Mashad, Afadlal, 2008, Potret Politik Kaum Muslim Di Perancis dan Kanada, Pustaka Belajar: Yogyakarta, Hal 55
[11] Salwasalsabila, Syarifah. 2008. Islam, Eropa, & Logika. O2;Yogyakarta. Hal 39
[12] Ibid. Hal 58

[13] Suharto, Edi.2008. Analisa Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. ALFABETA:Bandung. Hal 82
[14] Ibid
[15] Ibid hal 62
[16] Ibid hal 63
[17] Nganiun Naim dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, AR-RUZZ MEDIA:Jogjakarta. Hal 125
[18]Dalam  Mitha Fenny Kartika skripsi yang berjudul “Pengaruh Terplihnya Barack Obama Terhadap Perubahan Kebijakan Sosial Terkait Isu Rasisme di Amerika Serikat”, Universitas Muhammadiyah Malang.
[19] Dede Mariana dan Caroline Pascarina, Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, “Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan”, http://caroline-pascarina.blogspot.com/2008/02/politik-multikulturalisme-strategi.html, diakses pada 23 Juni 2009
[20] Ibid
[22] Roosi Rusmawati, 2009, Undang Undang Laïcité (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolah-sekolah Negeri Perancis), Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol V No 1, Hal 138
[24] Ibid hal 222
[25] Ibid hal 222
[26] Ibid hal 221
[27] Parsudi Suparlan UI, Masyarakat Majemuk,Masyarakat Multiultural, dan Minoritas:Memperjuangakan Hak-hak Minoritas”, http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html, di akses pada 30 Juni
[28] Dr. Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 2009. 30-31

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam