Oleh: Jhoni N Abim
BAB I
PENDAHULUAN
Abstraksi
Globalisasi yang menandakan semakin berkembangnya aktivitas manusia mendorong lahirnya penguasan kelompok masyarakat atas yang lain. Penguasaan ini memunculkan sistem internasional hegemonik yang mendorong berkembangnya imperialisme. Imperialisme generasi baru atau yang lebih dikenal dengan neo-imperilisme ini mengharuskan setiap kelompok yang tertindas melakukan perlawanan (gerakan) untuk menghindar darinya dalam beraneka latar belakang ideologis. Dan saat ini, dalam dunia internasional telah berkembang gerakan politik keagamaan seperti gerakan islam internasional.
Pendahuluan
Gerakan politik keagamaan yang cenderung menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya dikenal dengan istilah gerakan transnasional. Selama ini, Timur Tengah dianggap sebagai salah satu sumber utama gerakan transnasional yang kini tersebar di banyak Negara. Gerakan politik Ikhwan Muslimin ditengarai sebagai pionir gerakan perlawanan islam.
Ikhwan Muslimin didirikan oleh Hasan al Banna, seorang ulama kenamaan, pada tahun 1928. Konteks ’keterpurukan dunia Islam’ menjadi salah satu alasan pendirian gerakan ini. Pada tahun 1923 sistem kekhalifahan Utsmaniyah dibubarkan secara resmi oleh Kemal Ataturk di Turki. Pasca periode tersebut, dunia Islam terus menerus mengalami keterpurukan. Prancis dan Inggris berhasil menguasai dunia islam pada era itu. Puncaknya, pada tahun 1948 negara Israel berdiri diatas tanah Arab-Islam. Kekalahan beruntun inilah yang mendorong lahirnya gerakan perlawanan yang bertujuan mengusir kekuatan penjajah.
Semenjak itu, gerakan perlawanan lainnya bermunculan. Seperti Tandzim Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden, Hamas dan Jihad Islam di Palestina, Hizbullah di Lebanon dan lain-lain. Semuanya tak terlepas dari keterpurukan yang terus berlanjut di Timur Tengah. Namun, ada hal lain yang tak kalah pentingnya. Beberapa ajaran dalam Islam dipahami membolehkan perlawanan bahkan kekerasan, terutama dalam keadaan terjajah. Ajaran tersebut adalah ajaran tentang jihad, peperangan dan sebagainya. Gerakan-gerakan transnasional menjadikan ajaran tersebut sebagai landasan perjuangan mereka. Tak jarang ’aksi kekerasan’ dihalalkan karena menganggap norma agama membenarkannya.
Islam memang memiliki bebrapa ajaran yang terkait dengan aksi-aksi kekerasan seperti perang, jihad dan sebagainya. Namun, tidak benar bila ajaran-ajaran perang diyakini sebagai satu-satunya doktrin dalam Islam. Juga tidak benar bila ajaran tentang jihad hanya dipahami sebagai ajaran tentang angkat senjata maupun aksi keras sejenisnya. Tak kalah pentingnya, hampir semua ajaran jihad, perang dan ajaran yang identik dengan aksi kekerasan mempunyai latar belakang yang dapat menjelaskan mengapa hal itu dilakukan. Artinya, ajaran tentang aksi keras dalam Islam tidak diturunkan secara mutlak, tanpa syarat apapun.
Konteks Indonesia berbeda dengan Timur Tengah yang identik dengan perlawanan. Kondisi konfliktual masih sering terjadi di kawasan tersebut. Sebaliknya konteks Indonesia hampir identik dengan perdamaian, pemberdayaan dan kelenturan. Pengamalan ajaran Islam terkait aksi keras di Timur Tengah, pada tahap tertentu masih bisa diterima. Karena hingga saat ini konteks di kawasan tersebut belum beranjak dari keterpurukan dan peperangan. Kondisi di Indonesia berbeda. Pemahaman dan gerakan keislaman di republik ini mendukung upaya pemberdayaan dan perdamaian yang ada. Oleh karenanya, semua pihak seyogyanya memilah-milah dalam mengikuti dan mempelajari gerakan keagamaan tertentu. Sehingga gerakan yang dipelajari tersebut tidak kontraproduktif dengan konteks keumatan yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemikiran Tentang Istilah Gerakan Transnasional
Dalam tradisi kesarjanaan dan pers Barat sebelumnya, labeling yang agak senada dengan makna ideologi transnasional ini memakai istilah fundamentalisme yang setidaknya digunakan dalam tiga pengertian. Pertama, semua usaha untuk kembali pada kepercayaan dasar. Dalam konteks masyarakat Islam adalah usaha kembali kepada al-Quran dan Hadis sebagai model hidup normatif. Kedua, pengertian yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika. Fundamentalisme adalah gerakan Protestanisme abad 20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal yang fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen. Bagi kebanyakan orang Kristen, cap ini bernada penghinaan yang berarti dekat dengan sesuatu yang statis, kemunduran dan kejumudan. Ketiga, istilah untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.[1]
Sebagian akademisi menyebut gerakan ini dengan “islamisme”. Itu merujuk pada pandangan yang berusaha melihat Islam sebagai ideologi yang tidak hanya harus diterapkan dalam wilayah politik, tapi juga pada segala dimensi kehidupan masyarakat modern. Dalam pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala bidang kehidupan dalam masyarakat tersebut, dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi. Dari cara pandang ini karena itu kelompok ini melihat pentingnya kehadiran negara atau sistem Islam. Sementara sebagian besar muslim justru melihat, menjadi muslim tanpa harus menjadi islamis adalah sesuatu yang mungkin. Jika pengertian transnasional ini secara substansial tak beda dengan pengertian islamisme ini, maka fenomena gerakan ini sebetulnya bisa ditarik ke belakang pada akar sejarah kebangkitan dan pebaharuan Islam yang berkembang di Timur Tengah sejak abad ke-18: gerakan Muhammad bin Abdul wahab (1703-1787) di Arabia tengah; gerakan pada abad ke-19 dan ke-20 yang dipimpin oleh tiga pemikir: Jamaludin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935).[2]
Jalur transmisi ide-ide islamisme itu menurut studi ini setidaknya mengambil tiga jalur. Pertama, gerakan-gerakan sosial. Di jalur ini transmisi ide dibawa oleh pelajar atau mahasiswa yang belajar di Timur Tengah. Mereka belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Islam Madinah, Universitas Umul Qura Mekah, Universitas al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, atau Universitas King Abdul Aziz. Sementara itu, saluran utama kelompok jihadis adalah melalui perang Afghanistan pada 1980-an yang kemudian melahirkan kelompok Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah.
Kedua, jalur pendidikan dan dakwah. Lembaga-lembaga dan beberapa orang dari negara Timur Tengah termasuk Mesir Kuwait belakangan cukup aktif berkiprah di bidang pendidikan dan dakwah di Indonesia. Agen-agen itu meliputi atase kedutaan Arab Saudi di Jakarta, Rabithah Alam Islami, International Islamic Relief Organization (IIRO) dan Word Assembly Muslim Youth (WAMY), atau lembaga amal nonpemerintah seperti al-Haramain –yang cabangnya di Indonesia dituding Amerika sebagai organisai pendukung terorisme. Ketiga, jalur publikasi dan internet. Melalui sejumlah media baik cetak maupun online, atau buku-buku dalam versi Arab maupun terjemahan, juga menjadi salah satu jalur transmisi cukup efektif. Beberapa penerbit buku di Indonesia bahkan mengkhususkan menerbitkan atau menerjemahakan buku beraliran salafi dan pemikiran-pemikiran dari kalangan Ikhwanul Muslimin.[3]
2.2 Perkembangan Gerakan Islam Transnasional
Gerakan-gerakan yang berideologi transnasional belakangan ini kembali menjadi perbincangan hangat, khususnya di kalangan Islam. Dua organisasi keagamaan besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tampaknya cukup keras dan hati-hati menyikapi fenomena merebaknya ideologi tersebut. Istilah transnasional sendiri mungkin masih baru terdengar. Namun itu hanyalah nama lain dari istilah Globalized (globalisasi) Islam, Fundamentalisme, Islam Kanan, dan Islam Radikal. Berbagai organisasi islam transnasional telah banyak muncul di dunia, salah satunya adalah Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan al-Banna (1324—1368 H/ 1906—1949 M) di Mesir tahun 1928. Di antara doktrin dalam Ikhwanul Muslimin adalah, pertama, gerakan ikhwan adalah gerakan Rabbaniyyah (ketuhanan). Sebab, asas yang menjadi poros sasarannya ialah mendekatkan manusia kepada Rabb-nya. Kedua, gerakan ikhwan bersifat alamiyah (Internasional). Sebab, arah gerakannya ditujukan kepada semua umat manusia. Semua manusia pada dasarnya harus bersaudara. Asalnya satu, nenek moyangnya satu, dan nasabnya satu. Hanya taqwa yang menentukan seseorang itu lebih dari yang lain. Dari ketaqwaannya akan terefleksi pada kebaikan dan keutamaannya yang utuh dan menyeluruh yang ia berikan kepada orang lain. Ketiga, gerakan ikhwan bersifat Islami. Sebab, orientasi dan nisbatnya hanya kepada Islam. Tahun 1948 organisasi ini dibubarkan pemerintah Mesir atas tuduhan telah melakukan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mesir saat itu dan merencanakan konspirasi untuk menggulingkan Raja Faruq. Meski sudah dibubarkan, tapi pemikirannya terus tetap berjalan. Pola penyebaran pemikirannya itu lewat buku, kuliah, mahasiswa, dan lewat jaringan-jaringan politik.[4]
Dalam praktiknya, pola yang diterapkan oleh Ihwanul Muslimin tidak tersentral dalam satu markas dan satu komando, tidak seperti pola yang diterapkan Hizbut Tahrir. Kenapa tidak terpusat? Karena Ihwanul Muslimin tidak memimpikan khilafah islamyiah internasional. Oleh sebab itu, masing-masing daerah punya kewenangan sendiri untuk mengembangkan Ihwanul Muslimin sesuai dengan kultur dan politik negara di mana ia berkembang, dan bisa bernama apa pun. Kalau di Indonesia bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Turki bisa memakai nama Partai Kesejahteraan dan Keadilan, di Malaysia menggunakan nama PAS. Meski namanya berbeda, tapi ideologi, manhaj dan pola-polanya memiliki kesamaan antara Ihwanul Muslimin di daerah satu dengan daerah yang lainnya.
Kemudian, dalam Ikhwanul Muslimin itu lahir Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia dan dilatih secara militer. Dalam Tandhimul Jihad ini terdapat seorang tokoh bernama Taqiuddin Nabhani. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan. Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melakukan perjuangan dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh agar terus melakukan perjuangan bersenjata, militer. Taqiuddin berpendapat, kekalahan Arab atau Islam karena dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedang Hasan Al-Banna berpendapat sebaliknya. Menurut dia, tidak masalah umat Islam menerima sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara.[5]
Perdebatan itu berlangsung kian memanas dan tiada berakhir. Tidak terjadi titik kesepakatan antara keduanya. Hingga akhirnya, pada tahun 1949, Hasan Al-Banna meninggal karena ditembak agen pemerintah. Kematian Hasan Al-Banna dianggap syahid dalam pandangan Islam. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Lalu berdirilah Hizbut Tahrir. Artinya, partai pembebasan. Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel. Konsep utamanya adalah khilafah Islamiyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa gerakan islam internasional merupakan fenemona global. Sebagian dari gerkan bersifat gerakan plolitik keagamaan. Gerakan memiliki tiga pengertian, yaitu: Pertama, semua usaha untuk kembali pada kepercayaan dasar; Kedua, pengertian yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Protestanisme Amerika; dan Ketiga, istilah untuk menyebut sesuatu yang terkait dengan aktivitas politik, ekstrimisme, fanatisme, terorisme, dan anti-Amerikanisme.
Gerakan ini juga merupakan perkembangan dari masifnya islamisme yaitu sebuah aktiviitas keagamaan yang menekankan diutamakannya nilai-nilai ajaran agama islam dalam kehidupan umat manusia. Perkembangan tersebut melalui tiga jalur, yaitu: Pertama, gerakan-gerakan social; Kedua, jalur pendidikan dan dakwah; Ketiga, jalur publikasi dan internet.
Perkembangan gerakan islam internasional ini pun sangat terkait dengan isu demokratisasi ala Barat. Terkait dengan hal ini, para pemikir islam terjadi perbedaan pendapat, misalnya antara Taqiuddin Nabhani yang menekankan dilakukannya perjuangan bersenjata, militer dan Hasan Al-Banna yang memberikan toleransi pada diterimanya sistem demokrasi dan nasionalisme. Perbedaan tersebut menunjukkan responsif dunia islam pada persoalan-persoalan global yang mengindikasikan urgensi gerakan islam internasional.
[1] Esposito, Jhon L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996) Cetakan III (edisi revisi), hal. 17-18
[2] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. terj, (Bandung; Mizan, 2007), hal. 30
[3] Ibid, hal, 84-96
[4] Syirah Online, Melacak Gerakan Islam Internasional, Edisi 3 Mei 2007
[5] Ibid,
No comments:
Post a Comment
silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam