Monday, December 13, 2010

Pembangunan Benua Afrika


Oleh : Moh Abu Bakar/Abim Pribumi (06260140)

Afrika adalah benua terbesar kedua dunia dan kedua terbanyak penduduknya setelah Asia. Dengan luas wilayah 30.224.050 km² termasuk pulau-pulau yang berdekatan, Afrika meliputi 20,3% dari seluruh total daratan Bumi. Dengan 800 juta penduduk di 54 negara, benua ini merupakan tempat bagi sepertujuh populasi dunia. Sebagian besar negara di Afrika adalah bekas negara jajahan, kecuali Afrika Selatan, Ethiopia dan Liberia.
Secara keseluruhan, sekitar 45% dari penduduk Afrika hidup di bawah garis kemiskinan.  Insiden kemiskinan di Afrika lebih tinggi di daerah pedesaan, meskipun kemiskinan perkotaan adalah masalah bahan peledak.  Daerah adalah menghadapi banyak tantangan kesehatan, khususnya HIV / AIDS.  Walaupun 92% dari penyebab kematian pada miskin negara yang terkait dengan penyakit menular, 60% kematian dikaitkan dengan beberapa penyakit, yaitu, TBC, malaria, HIV / AIDS dan beberapa penyakit masa kanak-kanak.  Ada juga kenaikan yang sangat signifikan dalam kondisi noncommunicable (kanker, penyakit kardiovaskuler, kecelakaan dan penyakit mental) karena perubahan gaya hidup.  Malnutrisi adalah masalah yang terus-menerus, khususnya pada anak-anak dan perempuan.  Ini menyumbang 45% dari kematian anak. Selanjutnya, degradasi lingkungan, terutama air yang buruk dan pengelolaan limbah, telah berkontribusi terhadap wabah penyakit.  Urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali juga memiliki kesehatan yang serius konsekuensi.  Hanya 45% dari total penduduk Daerah memiliki akses ke air yang aman dan kurang dari 40% memiliki akses ke sanitasi.  Daerah memiliki dasar rendah tingkat partisipasi sekolah dan orang dewasa yang tinggi Tingkat buta huruf (terutama perempuan), yang memiliki dampak langsung pada kematian ibu dan bayi tingkat yang tetap yang tertinggi di dunia.  Link antara kemiskinan dan kesehatan adalah sangat jelas.  Miskin di Wilayah Afrika terperangkap dalam perangkap kemiskinan yang kompleks yang berpenghasilan rendah mengakibatkan konsumsi yang rendah yang pada gilirannya mengakibatkan kapasitas rendah dan produktivitas yang rendah.  Konsep ini cemerlang diilustrasikan oleh laporan tengara WHO Komisi Makroekonomi dan Kesehatan, yang menunjukkan bahwa beban penyakit disebabkan tiga penyakit (malaria, TBC dan HIV / AIDS) mengurangi pertumbuhan GDP per tahun sebanyak 1,3%.   Menanggapi kebutuhan kesehatan masyarakat miskin telah lama berdiri keasyikan dari sektor kesehatan. Alma-Ata konferensi, yang mendukung prinsip dasar kesehatan dan menyebabkan Kesehatan-untuk - semua kebijakan dengan tahun 2000, sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk memastikan bahwa perawatan kesehatan adalah diakses oleh mayoritas penduduk.  Dalam Daerah Afrika, adopsi dari tiga fase Skenario Pengembangan Kesehatan (1985) menegaskan kembali validitas dari pendekatan pelayanan kesehatan primer di tingkat kabupaten, dan Bamako Initiative (1987) menyoroti perlunya partisipasi masyarakat dalam kesehatan pembangunan. Meskipun demikian, sektor kesehatan tidak, sampai saat ini, mengembangkan suatu strategi yang secara eksplisit target kemiskinan dan kesehatan.  Waktunya sudah matang untuk mengembangkan strategi semacam ini.  Peran sentral dalam pembangunan kesehatan Proses ini semakin dikenal, dan niat baik nasional dan internasional untuk meningkatkan kesehatan, khususnya masyarakat miskin, belum pernah begitu jelas. Oleh karena itu, upaya meringankan beban penyakit negara-negara miskin akan memberikan kontribusi pada peningkatan status sosial mereka.  Memerangi penyakit yang menimpa masyarakat miskin akan mengurangi kerentanan mereka terhadap kemiskinan - mendorong guncangan kesehatan dan meningkatkan produktivitas mereka. Ini akan membantu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga untuk mengurangi kemiskinan.
A.  Konflik Politik
Korban konflik dan perang yang masih terus berkecamuk di beberapa negara Afrika seperti Sudan,Somalia,dan Kenya, mengenaskan. Jauh sebelumnya, di Kongo,Rwanda, Nigeria, pertikaian etnis atau suku lebih kental telah dibandingkan dengan kesenjangan sosial ekonomi.
Afrika terseret dalam kancah perang dan pertikaian antarsuku dan antaretnik yang paling parah dan sulit dicarikan solusi damainya. Tangan-tangan PBB seperti lumpuh tak berdaya. Jasa negarawan dunia dan inisiatif berbagai pihak masih terus diharapkan untuk menjadi mediator untuk mengakhiri konflik berdarah yang mengakibatkan banyak jatuh korban, termasuk anakanak di bawah umur. Laporan tahunan lembaga yang melakukan penelitian atas konflikkonflik internasional yang berkedudukan di Heidelberg, Jerman (Heidelberger Institut fur Internationale Konfliktforschung/HIIK) menyebutkan anak-anak di bawah umur telah terseret menjadi milisi dan tentara sukarela yang dipaksa ikut perang memanggul senjata.Meski UNICEF mengecam keras keikutsertaan anakanak dalam perang yang tak berkesudahan itu,Afrika tercatat sebagai benua konflik dan perang saudara yang terparah.
Afrika masih bergejolak hingga kini. Afrika benar-benar negeri yang tak pernah sepi dari derita keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Ia mengulang kembali asal muasal konflik karena ketidakadilan, masih bercokolnya penguasa tiran dan korup serta rakyatnya yang belum sepenuhnya merengkuh nikmat kemerdekaan. Afrika memang negeri yang tak pernah sepi dari derita konflik etnik dan perang antarsuku.Menurut HIIK,mereka berasal dari negara-negara Burundi, Pantai Gading, Guinea, Kongo, Somalia,Sudan,Chad,dan Uganda. Masyarakat Afrika umumnya heterogen dan terdiri atas berbagai suku-etnik dan bahasa yang sangat beragam. Bahasa nasionalnya ada yang masih menumpang pada bahasa warisan kolonial seperti bahasa Inggris dan Prancis. Afrika Selatan, misalnya, punya bahasa nasional Afrikaan yang asal bahasanya dari khazanah bahasa Belanda, sekaligus bahasa yang suka dipakai kaum penguasa ketika negeri itu masih di bawah payung Apartheid, politik yang membedakan warna kulit. Masa itu dikenang sebagai tahuntahun sulit pemimpin sejati Nelson Mandela yang meringkuk selama 27 tahun di penjara. Afrika di selatannya Sahara adalah negeri yang masih berjuang keras melawan virus HIV/AIDS.
Meskipun Afrika terbilang cukup banyak memperoleh dana memerangi virus yang mematikan itu, direktur WHO Kevin De Cock mengeluhkan komitmen negara G-8 yang belum sepenuhnya merealisasikan janji yang diikrarkan dalam konferensi internasional tentang AIDS pada Agustus 2006 di Toronto,Kanada. Konflik di Rwanda, misalnya, masih menyisakan 28 kasus pelanggaran HAM berat. Sebelumnya vonis telah dijatuhkan untuk 33 kasus serupa dengan eksekusi pengadilan internasional di Arusha,Tanzania.
Perang antara Suku Hutu yang mayoritas dan suku minoritas,Tutsi,yang di masa kolonial Belgia dimanjakan, telah mencabik- cabik Rwanda dan memorakporandakan tatanan kebangsaan.Kekejaman yang terjadi, tergambar dalam film berjudul Hotel Rwanda yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai Paul Rusesabagina, manajer hotel, dan Nick Nolte sebagai komandan PBB di Kigali.
Mereka bersusahpayah menyelematkan pengungsi Hutu dan Tutsi dari pembantaian kaum pemberontak dan milisi Hutu yang disebut Interhamwe. Seorang anak belia merintih kesakitan di bawah dekapan misi kemanusiaan yang diperankan bintang rupawan Cara Seymour berdesis,“Aku berjanji takkan menjadi Tutsi lagi.” Begitu pun di negara Sierra Leone, Afrika Barat. Di sini, para penjahat perang dan pemimpin pemberontak Alex Tamba Brima, Santigie Borbor Kanu dan Bazzy Kamara divonis seumur hidup atas kejahatan perbudakan, memaksa anak di bawah umur menjadi serdadu, pemerkosaan, dan pembunuhan keji.
Sementara mantan Menteri Dalam Negeri Samuel Hinga Norman yang menjadi aktor paramiliter perang saudara terserang jantung, tewas beberapa saat setelah vonis dijatuhkan (Der Fischer Weltamanach,2008). Paralel dengan itu, pengadilan HAM di Den Haag sejak 4 Juli 2007 sudah menggelar peradilan mantan Presiden Liberia Charles Taylor, penjahat perang saudara Sierra Leone-Liberia yang proses pengadilannya tersandung jalan buntu karena protes atas cekaknya dana untuk tim pembela yang berakibat sidang menjadi bertele-tele akibat seringnya diboikot.
Liberia sudah merdeka sejak 26 Juli 1847, founding father-nya adalah mantan budak belian asal Amerika, sehingga bendera negaranya pun dimiripkan. Konferensi internasional UNICEF bulan Februari 2007 di Paris berhasil mengajak sekitar 60 negara untuk menandatangani Paris Principal.Kesepakatan Paris itu menolak secara keras keterlibatan anak-anak dalam berbagai konflik dan perang, utamanya mengecam penyalahgunaan anak-anak di bawah umur untuk dijadikan tentara. Resolusi Paris mewajibkan pihak-pihak yang terkait untuk segera merehabilitasi dan mengintegrasikan anak-anak ke kehidupan masyarakat normal.
Akan lebih ideal bila dipulihkan kesehatan fisiknya dan trauma batinnya dari kekerasan perang. Ini disadari memerlukan tenaga medis-psikologis yang memerlukan biaya mahal. Adalah tidak adil kalau negara-negara di Afrika secara gebyah-uyah diberi stigma sentimen seperti “benua hitam kelam dan legam yang terpasung oleh penguasa kejam”. Sebagai bentuk keterpanggilan akan “kesalahan” orang kulit putih atau kritik peneliti Barat atas pionir misioner yang memperkenalkan “civilization” ke sana, kini semakin tampil tokoh humanis Barat yang memberikan pembelaan dan keberpihakannya untuk memajukan dan menggiatkan kesejahteraan rakyat Afrika.
Walter Michler dalam Buku Putih (Weissbuch Afrika) sejak 1990-an berulang kali berkampanye bahwa Afrika menjadi terpuruk bukan semata-mata karena rakyatnya. Sumber masalah dimulai sejak warisan kolonial Barat yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) Afrika dengan memanjakan dan menjinakkan tokoh elitenya dengan gaya hidup kebarat-baratan.Kelaparan di sana bukan karena nasib semata, tetapi kesalahan politik dan salah urus negara serta kudeta yang silih berganti, belum lagi pernah dihantam isolasi internasional karena dosa rezimnya.
Wajah konflik Afrika tampaknya seperti kesaksian Dubes Italia untuk Somalia, Mario Raffaeli (Der Spiegel, 22/12/07): Semakin kompleks, eskalasinya terus meningkat, aktor perang tambah beragam, dan kondisinya semakin runyam. Apa yang salah dengan Afrika? Ia punya tokoh sekaliber pemenang Nobel Koffi Annan, Desmon Tutu, dan kini Barak Obama, sementara kejahatan terus terjadi. Tepat sindiran Edmund Burke bahwa kejahatan besar menang hanya dengan orang baik tak berbuat apa pun juga,the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.
B.  Kelaparan dan Perang Saudara            
Perubahan iklim telah lama diprediksi memicu konflik. Namun, perhitungan secara serius dan kuantitatif  belum pernah dibuat, hingga sepekan lalu ketika sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat menyatakan, perang saudara di Afrika akan meningkat 55 persen pada tahun 2030. Pada saat itu, sesuai pemodelan iklim, suhu rata-rata di benua Afrika diperkirakan meningkat sedikitnya satu derajat Celsius. Kenaikan yang tidak bisa dibilang kecil karena berdampak pada banyak hal. Itulah kali pertama penelitian tentang perang-perang saudara di sub-Sahara Afrika dikaitkan dengan curah hujan dan catatan suhu di seluruh benua Afrika. Hasilnya, tahun 1980-2002, perang saudara yang membunuh lebih dari 1.000 jiwa ternyata terkait dengan suhu panas di atas rata-rata tahunan. Dengan kata lain, kenaikan suhu sangat mungkin meningkatkan potensi konflik hingga 50 persen, dan pangan menjadi alasan mendasar perang itu. ”Hasil studi menunjukkan bahwa hasil panen di Afrika sangat sensitif terhadap perubahan suhu, bahkan kurang dari setengah derajat Celsius saja,” kata pimpinan penelitian Marshall Burke, lulusan dari Departemen Pertanian dan Ekonomi Sumber Daya Universitas Berkeley, California, seperti dikutip BBC. Kajian keterkaitan perang sipil dengan perubahan iklim itu dimuat pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), 23 November 2009 lalu. Ketahanan pangan memang menjadi sorotan global, yang mengancam banyak negara di beberapa benua, karena perubahan iklim. Namun, kondisi itu menjadi nyata di Afrika, yang saat ini saja sepertiga dari penduduknya tinggal di kawasan yang cenderung kering.
Data tahun 2006, sebanyak 220 juta jiwa penduduk Afrika terpapar kekeringan setiap tahun. Dampak perubahan iklim yang memperpanjang musim kering dan sebaliknya memperpendek musim hujan menempatkan mereka dalam kondisi sulit dengan tingkat kelaparan tinggi. Ini akan terus meningkat. Secara pelan tapi pasti, keanekaragaman hayati Afrika juga hilang. Selama periode 1980-1995 jumlah spesies tanaman punah di Afrika bagian selatan naik dari 39 menjadi 58 spesies. Sementara, lebih dari 700 hewan bertulang belakang (vertebrata) dan 1.000 spesies pohon terancam punah. Data akan tambah panjang jika dilakukan penelitian mendetail. Fakta itu, secara telak kian memukul penduduk Afrika, yang sebagian besar bergantung pada sumber daya alam, termasuk pangan dan obat-obatan. Pada saat bersamaan, hasil kajian Panel Ahli Antarnegara tentang Perubahan Iklim menyebutkan, Afrika adalah salah satu benua dengan kemampuan adaptasi perubahan iklim rendah. Kondisi kontras yang butuh campur tangan global.
Kelompok negara Afrika sadar betul dampak perubahan iklim yang mengancam warga mereka. Untuk itu, mereka satu suara menghadapi Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009. Realitas dan potensi ancaman mematikan hanya mampu mereka atasi dengan bantuan global. Mereka pun berjuang bersama dalam proses negosiasi iklim. Bersama kelompok negara lain, delegasi Afrika menyatakan mogok berunding (walkout) pada negosiasi iklim di Barcelona, awal November 2009. Itu sebagai bentuk protes terhadap sikap delegasi negara maju yang wajib menurunkan emisinya tapi enggan berkomitmen. ”Afrika melihat kelompok lain tidak cukup serius bernegosiasi, tidak cukup mendesak,” kata Kabeya Tshikuku dari Republik Demokratik Kongo. Afrika dengan 50 negara anggota bersikap: negara maju harus menurunkan emisi setidaknya 40 persen dari level 1990 pada tahun 2020. Angka itu merupakan target yang diyakini para ilmuwan akan menghindarkan dunia dari petaka dampak perubahan iklim. ”Banyak manusia kesulitan berat ketika mereka yang secara historis semestinya bertanggung jawab, tetapi tidak mengambil tindakan,” kata Kamel Djemouai dari Algeria. Suara delegasi Afrika bulat untuk mendapat bantuan pendanaan global dalam jumlah besar-untuk mitigasi dan adaptasi, serta transfer teknologi. (dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam