Tuesday, December 14, 2010

Pantaskah Koruptor itu Dihukum Mati ?


Oleh: Ach. Juhairi Dan Moh Abu Bakar/Abim Pribumi
Jum’at, 22 Oktober 2010
            Prilaku korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan bangsa dan negara, baik secara materil maupun non-materil. Korupsi materil terkait dengan pengambilan penyalahgunaan keuangan dan fasilitas negara secara tidak sah untuk kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan korupsi non-materil terkait dengan tindakan profesionalitas pejabat negara dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tindakan korupsi ini juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena memang yang dirugikan dari tindakan korupsi adalah manusia secara umum. Dalam kehidupan bernegara, mereka dikenal dengan sebutan rakyat.
            Menurut Kartini Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[1]
            Di indonesia tindakan korupsi telah membudaya. Hampir setiap pergantian kepemimpinan, tugas utama bagi seorang presiden di negeri ini tidak terlepas dari segera diakukannya pemberantasan korupsi. Namun sampai hari ini, persoalan korupsi ini belum juga terselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya tindakan menyalahgunakan wewenang ini ternyata juga dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri yang semestinya menjadi aktor utama dalam pengakan hukum. Misalnya, dalam kasus jaksa Urip Tri Gunawan (ketua tim penyelidikan kasus BLBI) yang ditangkap oleh KPK pada awal Pebruari 2008 saat menerima suap sebesar Rp. 6 Milyar.
            Kondisi tersebut semakin diperparah oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp. 100 Milyar dengan perincian sebagai berikut:
a.    Sebesar Rp. 68,5 Milyar digunakan untuk membiayai bantuan hukum bagi mantan gubernur Bank Indonesia (BI), mantan direksi BI, dan mantan Deputi Gubernur BI yang terlibat dalam pengucuran Dana Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI) dan kredit ekspor.
b.    Sisanya Rp. 31,5 Milyar disalurkan ke Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan untuk penyelesaian kasus BLBI dan pembahasan sejumlah RUU termasuk perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.[2]
Kasus-kasus korupsi di atas merupakan sedikit dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia yang sebenarnya tidak hanya terjadi di pusat, akan tetapi telah menyebar ke seluruh nusantara, sampai di tingkat RT/RW sekalipun. Bahkan benar adanya, jika Indonesia termasuk negara terkorup di dunia.
Hasil survei Transparency International (TI) menetapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 atau turun 0,1 jika dibandingkan tahun 2006 sebesar 2,4. IPK Indonesia lebih buruk daripada tahun 2006. Indonesia berada diurutan 143 dari 180 negara yang diamati lembaga berbasis di Berli, Jerman. Negara dengan tingkat korupsi tertinggi jika indeksnya mendekati nol, dan sebaliknya semakin bersih apabila mendekati angka 10. Nilai IPK tersebut memasukkan Indonesia kedalam daftar negara yang dipersepsikan terkorup di dunia berasama 71 negara berindeks IPK di bawah 3.[3]
Data-data faktual di atas mungkin masih bisa dipertanyakan kebenarannya, namun yang pasti kerugian dari tindakan korupsi ini telah menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, khususnya dalam bidang ekonomi. Uang negara yang begitu besar jumlahnya seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagai salah satu perwujudan HAM, tetapi dengan munculnya para koruptor, mereka terus hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan yang seringkali berujung pada kematian. Pendek kata, koruptur telah melakukan pembunuhan massal terhadap manusia (rakyat) dan kehidupan generasinya.
Oleh sebab itu, terkait demi perwujudan HAM, ditegakkannya hukuman mati bagi para koruptur bukan hanya pantas dilakukan, tetapi memang seharusnya dilaksanakan. Karena pada dasarnya mereka tidak beda jauh dengan aktor-aktor pelanggar HAM dalam masa-masa perang ataupun konflik yang seringkali dituntut untuk dihukum mati oleh masyarakat internasional.


[1]KartiniKartono, 1983,Pathologi Sosial, dalam Erika Revida, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, di: http://library.usu.ac.id/download/fisip/fisip-erika1.pdf, diakses 22 Oktober 2010, hal. 22
[2]Soepriyatno, 2008, Nasionalisme dan Kebangkitan Ekonomi, Jakarta: INSIDe Press, hal. 183-184
[3]Ibd, hal. 187

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam