Monday, December 13, 2010

ANCAMAN IMPERIALISME CHINA ATAS FREE TRADE CHINA-ASIA



Oleh: Moh Abu Bakar (abim Pribumi) 06260140
essai
Pasas bebas (free market) merupakan sejarah panjang dari politik Perdagangan bebas (free trade), yang tidak lain merupakan antitesa (bertolakbelakang) dari politik ekonomi merkantilisme. Sebuah paham yang meyakini bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh Negara. Dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah impor sebisa mungkin, sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif.
Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan proteksi terhadap perekonomiannya, dengan mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan pemberlakuan tarif dan pajak yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.
Namun dalam perkembangannya, politik merkantilisme ini dianggap menjadi suatu skema sistem ekonomi yang tidak efektif. Hal tersebut disebabkan oleh campur tangan Negara yang dianggap terlalu besar, sehingga membuat sistem perdagangan mengalami stagnasi. Salah satu kritikus terhadap politik merkantilisme ini adalah Adam Smith. Smith mengatakan bahwa hukum pasar tidak boleh dikekang, oleh karna itu, pasar harus dibuka seluas-luasnya dengan meminggirkan peran Negara, yang cenderung membatasi individu (private). Dalam karyanya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” yang kemudian disingkat “The Wealth of Nations”. Smith yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith sendiri dikenal sebagai salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme.
Satu dari poin utama dari karya The Wealth of Nations tersebut adalah pasar bebas. Smith percaya kalau motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois dan tamak, kompetisi dalam pasar bebas akan bertujuan menguntungkan masyarakat seluruhnya dengan memaksa harga tetap rendah, dimana tetap membangun dalam insentif untuk bermacam barang dan jasa. Smith sangat mengkritik keras upaya monopoli Negara yang justru membatasi ekspansi industri. Negara bagi Smith terlalu jauh melakukan intervensi dalam proses ekonomi, salah satunya dalam hal penentuan tarif. Intervensi tariff ini dianggap membuat inefisiensi dan harga tinggi pada jangka panjang. Teori ini kemudian dikenal dengan "laissez-faire", yang berarti "biarkan mereka lakukan", tanpa pembatasan serta intervensi dari Negara.

Konsepsi awal mengenai pasar dan perdangan bebas Adam Smith, kemudian dekembangkan oleh David Ricardo pada tahun 1887. Ricardo adalah salah satu ekonom yang tidak menyepakati kebijakan Negara melalui Pemerintah dalam hal pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo, salah satu alasan mendasar yang mendorong keharusan perdagangan internasional menuju pasar bebas adalah, perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantage) antar Negara dalam menghasilkan komoditas tertentu. Suatu Negara akan melakukan ekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah, dan melakukan impor komoditas yang
lebih mahal dalam penggunaan sumber daya
Pertayaan mendasar kemudian muncul, “Benarkah pasar bebas akan melahirkan kemakmuran bagi ummat manusia, khususnya bagi Negara-negara berkembang?”. Bagi Negara maju yang tidak lain merupakan penganjur pasar bebas, tentu saja akan memberikan jawaban yang sepenuhnya mengamini teori Smith dan Ricardo. Inilah jalan terbaik bagi kemakmuran manusia, begitulah kira-kira klaim Negara-negara induk kapitalisme. Dengan pasar bebas, maka ekspansi (perluasan) modal dan distribusi koomoditas, akan berjalan dengan baik. Dengan pasar bebas, maka industri raksasa internasional (MNC/TNC) yang berada di bawah kendali mereka, akan lebih leluasa melakukan take-off kekayaan alam dunia ketiga. Namun sebaliknya, indsutri Negara berkembang, termasuk Indonesia, justru akan mengalami kemunduran dan colaps akibat kalah bersaingnya komoditas produk luar yang tentu saja jauh lebih murah.
Siapa Yang Diuntungkan?
Selama ini, perdagangan lintas teritori dianggap belum berjalan secara maksimal sebagaimana hukum-hukum pasar (law market) yang berlaku. Hambatan-hambatan ekonomi yang dimaksud antara lain : Tarif atau bea cukai, Kuota, Subsidi, Muatan lokal, Peraturan administrasi dan Peraturan antidumping. Pembatasan inilah yang selama ini dianggap benalu bagi perkembangan ekonomi dunia. Suatu skema perekonomian global, yang diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi Negara berkembang. Namun benarkah pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi Negara berkembang?. Jika melihat fakta hari ini, maka skema pasar bebas yang konon akan membangun pemerataan ekonomi dunia adalah pernyataan yang omong kosong belaka. Pasar bebas hanya menguntungkan Negara maju, di atas penderitaan Negara berkembang yang kian dimiskinkan. Sebagai contoh, pada tahun 2008 impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik Indonesia yang semula dikuasai sektor UMKM. Banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008. Di bidang ekspor, produk nonmigas Indonesia seperti tekstil dan mainan anak-anak juga makin disaingi produk-produk sejenis dari China. Meningkatnya proteksionisme di AS,Eropa,dan banyak negara di belahan bumi lain sejak era krisis global membuat kita khawatir, produk-produk China justru akan mengalir ke pasar Indonesia. Apakah ini yang kita sebut dengan pemerataan ekonomi?. Yang ada hanya perampokan dan penjarahan besar-besaran terhadap kekayaan alam kita, bagi dari hulu ke hilir system perdangangan. Dan bisa dibayangkan, jika kesepakatan Cina-Asean Free Trade Aggrement (CAFTA) telah mulai diberlakukan, maka tingkat monopoli-pun akan berlangsung tanpa terkontrol. Komoditas Cina dipastikan akan membanjiri Negara kita, jauh lebih hebat dibanding sebelum kesepakatan tersebut tercapai.
Berbagai sector industry, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area pasar bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun.
Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN, dengan mencarai pos anggaran lain. Dan bisa dipastikan, bahwa pos anggaran baru ini, sekali lagi akan mengorbankan rakyat Indonesia. Di sector tekstil, juga bernasib sama. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA dengan Ciba ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Terlebih lagi, bahwa pemberlakuan CAFTA tersebut, mulai efektif diberlakukan di saat krisis energy dasar melanda Indonesia. Salah satunya adalah krisis listrik, yang hingga saat ini tak kunjung terselesaikan. Sektor manufaktur jelas akan semakin sulit bernafas dari gempuran industry Cina. Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) menilai perjanjian area perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN-dan China akan menuai masalah mengkhawatirkan dan akan mengancam untuk sektor industry manufaktur. Wakil sekjen Gabel, Yeane Keet menyatakan bahwa permasalahan klasik di sektor industri saja belum terselesaikan, yaitu biaya ekonomi tinggi disertai kendala infrastruktur seperti tersedianya jalan yang memadai dan pasokan listrik yang cukup. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan jika perjanjian pasar bebas tersebut diberlakukan. Kesepakatan pasar bebas Cina-Asean tersebut akan menghapuskan 6.682 pos tarif (bea masuk-BM). Dari sejumlah tersebut ada sekira 700 produk manufaktur yang terindikasi akan menghadapi problem daya saing dalam FTA ASEAN-China itu.
Dampak dari pemberlakuan CAFTA sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan berpengaruh besar terhadap sektor ketenagakerjaan, khusunya serapan kerja (employment effect) yang selama ini sudah terbilang rendah. Bisa dipastikan bahwa, keterpurukan industry akibat pemberlakuan kesepakatan CAFTA, akan memaksa perusahaan domestik yang gagal bersaing, dengan melakukan efisiensi perusahaan. Dampak buruknya sudah bisa kita tebak bersama, PHK dan pengangguran besar-besaran tengah mengancam di depan mata kita. Berdasarkan data akhir tahun 2009 ini, jumlajh angka PHK sebesar 68.204, dan perumahan karyawan terdapat sekitar 27.860. Dan angka ini diperkirakan akan melonjak berlipat-lipat sejak pemberlakuan CAFTA di awal tahun 2010 nanti. Jadi terlihat jelaslah bahwa pasar bebas hanya akan membuat Negara berkembang semakin terpuruk dan dimiskinkan. Namun yang sangat mengherankan adalah sikap Pemerintah yang cenderung melihat permasalah pasar bebas tersebut hanya sebatas kepada aspek ketidaksiapan. Ini terlihat dari usulan untuk melakukan upaya renegosiasi terkait dengan pemberlakukan CAFTA. Padahal sejatinya, bukan penundaan yang kita inginkan, tapi sikap tegas untuk menolak pemberlakuan zona pasar bebas yang nyata hanya menguntungkan Cina dan Negara maju lainnya.
Daftar Pustaka:
http://id.wikipedia.org/wiki/Merkantilisme.
http://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Smith.
Lindert P. H. dan C. P. Kindleberger dalam International Economics, 1983. 7 Editon. Jakarta : Erlangga. Hal, 18-26.

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam