Monday, December 13, 2010

ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI AS TERHADAP ISRAEL


Oleh : Moh Abu Bakar/Abim Pribumi (06260140)
Abstraksi
Krisis politik yang tengah terjadi di bumi Palestina saat ini menimbulkan kekhawatiran semakin berlarutnya konflik dan akan mengakibatkan semakin kompleksnya (aktor-aktor yang terlibat) permasalahan didalamnya. Konflik yang terjadi sejak 40 tahun (1967) silam (hingga sekarang) pada dasarnya merupakan sengketa antara Israel dan Palestina dengan kondisi konflik berakar-dalam (deep rooted) dan memiliki masalah yang begitu kompleks. Kondisi demikian menyebabkan setiap resolusi yang diajukan selalu menyisakan bibit-bibit masalah yang di kemudian hari berkembang menjadi masalah besar yang harus dicari kembali penyelesaiannya. Dalam hal konflik di Timur Tengah, konflik Israel-Palestina sebenarnya merupakan bagian dari konflik yang lebih luas yaitu konflik Arab-Israel yang merupakan core subject (permasalahan utama). Namun yang terjadi antara Israel dan Palestina senantiasa dipandang sebagai parameter perdamaian atau pertikaian yang terjadi di Timur Tengah.
Kompleksitas konflik yang terjadi di Palestina tidak hanya disebabkan oleh aktor yang terlibat langsung didalam, lebih dari itu, keberadaan pihak ketiga yang memperkeruh situasi didalamnya semakin menjadikan wilayah ini sebagai ajang “pertempuran” paling lama. Kehadiran pihak ketiga dalam konflik ini, yaitu negara adidaya Amerika Serikat yang semakin memperuncing permasalahan akibat penerapan kebijakan standar ganda yang diskriminatif terhadap salah satu pihak (Palestina). Penerapan kebijakan ganda ini semakin menambah daftar permasalahan yang terjadi sehingga konflik terus berlangsung hingga sekarang. Insiden demi insiden kekerasan menjadi suguhan tanpa henti yang menyebabkan api konflik semakin berkobar, akibatnya, banyak perundingan damai yang dilaksanakan menjadi nihil dalam implementasinya. Agresi tentara Israel di wilayah Palestina dan aksi-aksi teror para pejuang Palestina merupakan salah satu variabel yang menjadikan konflik terus membara disamping faktor-faktor internal dan eksternal lainnya yang mempengaruhi upaya damai antara Palestina dan Israel.
Latar belakang masalah
Proklamasi kemerdekaan Palestina yang dilaksanakan pada pada tanggal 15 November 1988 di Aljir, Aljazair oleh Yasser Arafat yang merupakan pimpinan Otoritas Palestina dalam Kongres Dewan Nasional Palestina (Palestine National Council) merupakan tonggak bersejarah bagi rakyat Palestina. Proklamasi kemerdekaan tersebut menegasakan keberadaan negara Palestina yang berdaulat dan merdeka atas wilayah di Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza, juga berkehendak negara Palestina memiliki ibukota di Yerusalem. Tentunya hal ini tidak menjadikan Israel mundur dan meninggalkan wilayah penduduk, mereka tetap tinggal dan menduduki wilayah-wilayah yang mereka duduki, termasuk wilayah yang diklaim sebagai teritori Palestina. Kondisi demikian meyebabkan semakin jauhnya kenyataan adanya perdamaian di Timur Tengah karena masing-masing pihak yang bersengketa tetap pada aras tuntutannya.
Kondisi tidak menentu atas kondisi politik ini menyebabkan munculnya respon internasional agar kedua belah pihak yang berkonflik duduk dalam meja perundingan. Deklarasi Prinsip-Prinsip Pengaturan Pemerintahan Sementara atau Declaration of Principles (DOP) yang dilakukan oleh Ketua PLO Yasser Arafat dan PM Israel Yithzak Rabin dengan fasilitator Presiden Amerika Serikat Bill Clinton di Oslo, Norwegia pada tanggal 20-Agustus-1993 yang kemudian ditandatangani di Gedung Putih pada tanggal 13-September-1993, merupakan angin segar hadirnya perdamaian di Timur Tengah. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan perjanjian Oslo II (1995) yang mana hasil-hasil yang dicapai menimbulakan banyak pertentangan karena Palestine Liberation Organoization (PLO) dianggap terlalu akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan Israel. Situasi ini menyebabkan munculnya dua faksi besar, yaitu pendukung dan penentang perjanjian Oslo I dan II.

Munculnya dua faksi dalam tubuh pejuang Palestina ini menyebabkan kekuatan Palestina menjadi bipolar sehingga timbul friksi-friksi yang menjadikan perjuanagan berjalan dua arah. Kelompok pendukung yang terdiri dari Al-Fatah, Democratic Palestinian Union, dan Palestine People’s Party, serta kelompok penentang yang terdiri dari Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), Democratic Front for the Liberation of Palestine (DFLP), Palestinian Liberation Front, Arab Liberation Front, Popular Struggle Front, Popular Front for the Liberation of Palestine-General Command (PFLP-GC), Saiqa, Fatah Intifada, Islamic Jihad in Palestine, dan Harakat al-Muqawamah al-Islamiyya (Hamas), secara garis besar mendebatkan permasalahan kontinuitas otonomi Palestina untuk menuju sebagai negara merdeka (Riza Sihbudi, 1997: 127). Friksi-friksi didalam tubuh pejuang Palestina ini menyebabkan tidak efektifnya perjanjian Oslo, meskipun telah terbentuk pemerintahan otonomi Palestina, yang disebabkan oleh tidak adanya figur yang mampu mengendalikan semua kelompok perlawanan bersenjata yang ada di Palestina, dan penurunan signifikan dari pihak PLO dalam melakukan perlawanan bersenjata.
Rumusan masalah
Pola hubungan seperti apakah yang terjalin antara AS dan Israel?...Setelah serangan Israel ke jalur Gaza sejak 27 Desember 2008, pernyataan pertama yang keluar dari pemerintah Amerika Serikat adalah sebuah dukungan terhadap serangan itu.Menlu luar negeri AS,Condoleezza Rice mengatakan adalah salah Hamas yang meningkatkan ketegangan di Gaza."AS sangat mengecam serangan roket dan mortir berulang-ulang yang melawan Israel, dan menganggap Hamas bertanggung jawab karena menghancurkan gencatan senjata dan memperbarui kekerasan di Gaza," tegas Rice.Senada dengan Rice,juru bicara Gedung Putih,Gordon Johndroe mengatakan Hamas harus menghentikan serangan roketnya kepada Israel,jika ingin kekerasan itu berhenti.
Teori/konsep
Dalam penulisan esai disini penulis mengangkat sebuah teori dari William Coplin dalam menganalisis kebijakan luar negeri AS terhadap Israel pada era Obama, Salah satu faktor dalam pengambilan kebijakan luar negeri adalah citra atau asumsi. Menurut Coplin, kompleksitas dan ketidakpastian informasi mengenai lingkungan internasional membuat para pengambil keputusan cenderung untuk membangun citra atau asumsi tentang kondisi internasional. Coplin menulis,
“Dalam banyak hal, asumsi-asumsi disederhanakan menjadi dogma; karena besarnya taruhan yang terlibat, maka para pengambil keputusan politik luar negeri jarang mampu menghindar dari ketidakamanan yang mungkin timbul dari pengkajian ulang citra-citra yang ada. Karena para pengambil keputusan politik luar negeri bergantung kepada citranya dalam mengarahkan perilakunya, perubahan citranya akan membawa konsekuensi-konsekuensi politik yang luas”.
Citra yang dibangun para pengambil kebijakan luar negeri AS terhadap Israel selama ini adalah bahwa Israel adalah sebuah negara di Timur Tengah yang dikepung negara-negara Arab yang memusuhinya. Israel diposisikan sebagai negara yang harus terus-menerus membela diri dari serangan teroris dan karena itulah AS berkewajiban untuk membantu Israel.
Teori diatas tidak terlepas dari sebuah sebuah konsep Mochtar Mas’oed (1990) menyatakan, “Sesudah power, national interest (kepentingan nasional) adalah konsep yang paling populer dalam analisa hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Penulis juga sering memakai konsep ‘kepentingan nasional’ sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara”.
‘Kepentingan nasional’ ini pula yang selama ini dipakai oleh para petinggi AS dalam menjustifikasi pembelaan mereka terhadap Israel. Obama dalam pidatonya menyebut ‘kesamaan kepentingan’ sebagai landasan politik luar negerinya terhadap Israel.
Pembahasan
Serangan teroris yang menghancurkan gedung WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001menyebabkan perubahan arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang cenderung ke arah upaya “pembasmian teroris. Dengan mencap Al Qaeda sebagai pelaku serangan di bawah pimpinan Osama bin Laden, Afghanistan menjadi target pertama uapaya tersebut. Selain itu, Amerika Serikat juga gencar melakukan kampanye “pembasmian” teroris di seluruh dunia dengan menjadikannya sebagai kebijakan utama politik luar negeri mereka. Amerika Serikat dalam hal ini mendesak negara-negara di dunia untuk menerapkan hal serupa dengan terus mengingatkan bahaya organisasi-organisasi “ekstrem” yang berpotensi melakukan aksi-aksi teror yang mematikan. Kampanye Amerika Serikat ini dilakukan dalam beragam level, bilateral, unilateral, maupun multilateral.
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat juga berpengaruh terhadap situasi konflik di Timur Tengah, tentunya di Palestina. Pengaruh ini berimbas pada kelompok-kelompok yang menentang perjanjian Oslo dan diteruskan hingga terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu dengan terpilihnya Abbas sebagai Presiden. Terutama Hamas, keberadaan mereka sangat dikhawatirkan karena sikapnya yang terus mendesakkan penganbilalihan secara utuh wilayah-wilayah yang diduduki Israel secara utuh. Sikap ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi Amerika Serikat yang sejak lama mendukung posisi Israel dalam konflik Palestina dan Israel. Sikap ini juga diikuti oleh Israel yang menginginkan perlucutan secara penuh persenjataan organisasi-organisasi yang mereka anggap sebagai teroris. Hal ini secara eksplisit menyebabkan munculnya sikap pesimis dari kelompok garis keras seperti Hamas atas Road Map yang dibuat pada 24 Juni 2002.
Sikap pesimis ini menimbulkan serangkaian akibat dalam menempuh jalan merdeka bagi Palestina secara penuh. Karena itu, kekerasan menjadi salah satu alternatif bagi sebagian mereka demi tegaknya Palestina merdeka. Dalam hal ini, alternatif kekerasan mereka pilih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Kekerasan yang dilakukan oleh Israel telah meyakinkan mayoritas rakyat Palestina bahwa Israel tidak serius dalam menjalankan perdamaian; semenjak diberlakukan Road Map Palestina merasa bahwa tidak ada figur yang kompromistis dari pihak lawan, yakni Israel; secara internasional, setelah pidato presiden Bush pada bulan Juni tentang road map, mereka juga terisolasi; Mayoritas rakyat Palestina berpendapat bahwa hanyalah aksi-aksi bom bunuh diri yang dapat menciptakan keseimbangan kekuatan dengan persenjataan Israel; dan Mayoritas rakyat Palestina berpendapat bahwa dengan kekerasan mereka dapat memperoleh hasil yang lebih signifikan ketimbang perundingan[1].

Selain itu, instabilitas politik di Palestina juga dipengaruhi oleh hasil Pemilu 2006 yang dinilai tidak memuaskan bagi kelompok-kelompok yang bersikap non-kooperatif dengan Israel. Hasil Pemilu tersebut tidak disambut baik oleh kelompok-kelompok garis keras yang menginginkan kemerdekaan penuh Palestina atas wilayahnya seperti sebelum diduduki Israel. Hamas dalam ha ini mengambil posisi bertolak belakang dari kebijakan Pemerintahan Abbas yang cenderung akomodatif dengan terus melakukan aksi-aksi konfrontatif terhadap pendudukan Israel di Palestina. Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan Yasser Arafat yang mana rencana agar legitimasi Otoritas Palestina semakin menguat ketimbang Hamas dan Jihad Islam juga jadi tidak tercapai karena pasukan Israel tetap di posisinya.

Ekskalasi Konflik

Peristiwa pendudukan kantor kepresidenan oleh pasukan Hamas yang terjadi beberapa hari lalu merupakan cermin dari termanifestasikannya konflik didalam tubuh pemerintahan Abbas. Wilayah Palestina yang selama ini diduduki oleh Israel terpecah menjadi dua, Jalur Gaza dikuasai oleh Hamas, dan Tepi Barat dikuasai oleh Fatah. Kedua belah pihak yang bertikai ini tetap menyatakan sebagai pemerintahan yang sah atas dua wilayah tersebut. Kondisi ini merupakan bentuk ekskalasi konflik dari pertikaian yang berlangsung sejak 2006 yang mana Hamas dan Fatah bertarung dalam proses politik tersebut. Menurut pernyataan Perdana Menteri Palestina Ismail Haniya (Hamas), perebutan kekuasaan ini dilakukan karena Fatah dianggap sebagai infidels (pengkhianat Islam) dan antek Amerika Serikat. Sikap ini diambil karena sikap yang begitu akomodatif pemerintahan Abbas terhadap Israel sehingga kelompok-kelompok yang selama ini menentang keras pendudukan Israel menjadi semakin keras. Disamping itu, Pemerintahan Abbas juga merespon dengan menyatakan pembubaran pemerintahan koalisi (Hamas dan Fatah), dan memecat Haniya sebagai PM Palestina[2].
Ekskalasi konflik yang terjadi akhir-akhir ini secara langsung juga menyebabkan cita-cita Arafat tentang Pemerintah persatuan Palestina (Hamas dan Fatah) semakin jauh dari kenyataan. Dengan sikap tetap pada keputusan awal, dua kelompok besar di Palestina ini (Hamas dan Fatah) akan terus membentuk pemerintahan sah atas wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat karena kedua wilayah tersebut merupakan bagian tak terpisah dari negara Palestina. Kondisi seperti ini akan membawa dampak pada adanya dualisme kepemimpinan yang tentunya akan semakin memperburuk situasi di Timur Tengah dan juga berpengaruh terhadap politik internasional.
Meluasnya peta konflik di Palestina ini menyebabkan semakin suramnya masa depan Palestina apabila terjadi berlarut-larut. Israel sebagai musuh para pejuang kemerdekaan Palestina akan bergeser dengan sesama pejuang saling berhadap-hadapan. Kondisi ini semakin diperparah dengan pernyataan mantan Presiden AS JW Bush yang mendukung pemerintahan Abbas tanpa keberadaan Hamas. Pernyataan ini juga didukung oleh Israel dengan mencabut embargo di Tepi Barat dan memberikan dukungan secara penuh terhadap Abbas. Tentu saja hal ini akan menimbulkan permasalahan baru karena Hamas dengan pendukung-pendukungnya merupakan kelompok terbesar di Palestina yang tetap tidak mengakui keberadaan Israel. Perubahan dengan semakin meluasnya konflik di Palestina ini akan menimbulkan tanda tanya besar di masa mendatang. Apakah Palestina akan tetap utuh dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat sebagai teritorinya atau terpecah menjadi dua pemerintahan dengan teritori masing-masing yang merupakan imbas dari konflik ini.
Konflik Permukiman
Adapun perspektif yang bisa dipakai dalam pebahasan konflik Israel-Palestina. Ada yang membahasnya dengan merunut ke sejarah pra-1948 (pra-deklarasi berdirinya Israel). Kejadian tentang era pra-1948 bisa dibaca di buku karya penulis Israel, DR. Ilan Pappe, “The Ethnic Cleansing of Palestine”. Pappe menyebutkan bahwa Israel didirikan dengan mengusir dan membunuhi penduduk asli di tanah Palestina. Dengan sudut pandang seperti ini, keberadaan Israel sebagai sebuah negara adalah illegal.
Dalam analisa permasalahan disini, Israel adalah negara yang diakui keberadaannya oleh PBB, dengan batas wilayah seperti yang ditetapkan PBB tahun 1947. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1947, PBB menetapkan Resolusi 181 yang membagi dua wilayah Palestina: 56,5% untuk pendirian negara Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah internasional.
Akar dari semua kejahatan adalah pendudukan. Karena konflik berkepanjangan Israel-Palestina berakar dari aksi Israel yang terus-menerus menduduki wilayah Palestina. Pada tahun 1967, melalui Perang Enam Hari, Israel mencaplok seluruh wilayah yang semula menjadi ‘jatah’ Palestina dan Jerusalem Timur. Sebagian wilayah secara de jure memang dikembalikan kepada Otoritas Palestina melalui Perjanjian Oslo 1994, namun secara de facto tentara Israel masih terus bercokol di sana. Bertentangan dengan Konvensi Jenewa, Israel membangun permukiman-permukiman Yahudi di wilayah yang didudukinya. Setelah permukiman dibangun, penduduknya didatangkan, lalu mereka tinggal dan beranak-pinak di sana, lama-kelamaan, wilayah itu diklaim sebagai bagian dari Israel. Hingga hari ini, Israel terus membangun kawasan permukiman di berbagai wilayah pendudukan, bahkan di Jerusalem Timur yang merupakan zona internasional. Dan inilah yang dimaksud penulis sebagai akar dari kejahatan pendudukan adalah permukiman (the root of the occupation’s evil is the settlements)[3].
Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Israel pada era pra-Obama
Sejak Perang Dunia II, pemerintah negeri Paman Sam telah menyumbangkan uang lebih dari 140 milyar dollar kepada Israel (data tahun 2003). Setiap tahunnya, Israel menerima bantuan sekitar 3 milyar dolar BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang setara dengan seperlima dari total bantuan luar negeri AS atau sebesar 500 dolar pertahun kepada setiap warga Israel.
Angka 140 milyar dolar yang disebutkan di atas hanyalah mengacu pada BLT kepada Israel. Sesungguhnya masih banyak komponen dana lainnya yang selama ini telah dikeluarkan AS demi Israel. Misalnya, akibat perang Arab-Israel 1973, demi menyelamatkan Israel, AS menjalin diplomasi dengan musuh-musuh Israel, Mesir dan Yordania; mereka diberi bantuan dana sebagai imbalan dari kesediaan menjalin perdamaian dengan Israel. Belum lagi dana yang harus dikeluarkan AS untuk membangun pangkalan-pangkalan militer di Timur Tengah yang semuanya bertujuan untuk menjaga Israel.
Pada tahun 2007, Deputy Menlu era Presiden Bush Nicholas Burns menandatangani MoU antara AS-Israel yang berisi perjanjian bahwa AS akan memberi bantuan militer sebesar 3 milyar dollar pertahun dalam jangka waktu 10 tahun. Artinya, ada peningkatan bantuan sebesar 25%. Saat penandatanganan perjanjian itu di kantor Kementrian Luar Negeri Israel, Burns mengatakan, “Satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian adalah dengan memperlihatkan kepada Iran dan Syria bahwa AS akan selalu menjadi faktor utama dalam kestabilan di kawasan. Kami akan selalu membela teman kami.[4]
Pandangan dan kebijakan Politik Obama terhadap Israel
Kebijakan umum luar negeri AS terhadap Israel pada era Obama bisa dilihat dari pidatonya dua hari setelah dilantik sebagai presiden. Dalam pidato di Kementrian Luar Negeri AS (22/1) itu, Obama mengatakan,
“Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama bertahun-tahun, Hamas telah meluncurkan ribuan roket kepada warga Israel yang tak berdosa. Tidak ada demokrasi yang bisa menerima bahaya seperti ini bagi rakyatnya, tidak pula komunitas internasional, dan tidak juga rakyat Palestina sendiri, yang kepentingannya telah terabaikan karena aksi teror. Sebagai pihak yang benar-benar menghendaki perdamaian, Kuartet [AS, Rusia, Uni Eropa, PBB] telah menegaskan bahwa Hamas harus memenuhi syarat yang jelas ini: akui hak eksistensi Israel, hentikan kekerasan, dan patuhi perjanjian [antara Israel-PLO/Otoritas Palestina] yang telah dibuat di masa lalu”.
Selanjutnya, dalam pidatonya di Kairo 4 Juni 2009, Obama mengatakan,
“Hamas memang memiliki dukungan dari sebagian bangsa Palestina, tetapi mereka juga harus mengakui bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk memainkan peran dalam memenuhi aspirasi bangsa Palestina. Hamas harus menghentikan kekerasan, mengakui kesepakatan di masa lalu, dan mengakui hak eksistensi Israel.”
Dalam kesempatan yang sama, Obama terlihat berusaha bersikap tegas terhadap Israel. Namun, dia tetap mendahuluinya dengan kalimat yang menegaskan citra yang telah dibangun selama ini, America’s strong bonds with Israel are well-known. This bond is unbreakable. (Ikatan kuat antara Amerika dan Israel sudah umum diketahui. Ikatan ini tidak bisa diputuskan).
Kemudian Obama mengatakan, “Pada saat yang sama, Israel harus mengakui bahwa sebagaimana hak eksistensi Israel tidak bisa diingkari, hak eksistensi Palestina juga tidak bisa diingkari. Amerika Serikat tidak menerima legitimasi pembangunan permukiman Israel. Pembangunan permukiman melanggar perjanjian dan mengabaikan usaha-usaha untuk mencapai perdamaian. Inilah saatnya untuk menghentikan permukiman itu”.
Namun, seperti ditulis Gideon Levy, setelah para pemimpin Israel waspada menantikan tindak lanjut dari pidato Obama, kini mereka telah kembali santai dan memastikan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari Obama. Para pemimpin Israel kini dengan berani terang-terangan mengeluarkan pernyataan menolak segala usulan penghentian pembangunan permukiman dan bahkan menolak berdirinya negara Palestina. Di hadapan pembangkangan Israel, Obama tetap mengajukan anggaran sebesar 2,77 milyar dollar untuk bantuan militer kepada Israel pada tahun 2010.
“Aliansi kita [AS-Israel] berdasarkan pada kesamaan kepentingan dan kesamaan nilai-nilai. Siapa yang mengancam Israel, mengancam kita. Israel selalu menghadapi ancaman-ancaman itu di garis depan. Dan saya akan membawa Gedung Putih ke arah komitmen yang tak tergoyahkan bagi keamanan Israel. Komitmen ini dimulai dengan menjamin bantuan militer Israel. Saya akan menjamin bahwa Israel dapat membela diri dari segala ancaman, dari Gaza hingga Teheran”.
John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, dua pakar Hubungan Internasional dalam makalah mereka berjudul The Israel Lobby and US Foreign Policy menulis,
“Organisasi teroris yang mengancam Israel (seperti Hamas dan Hizbullah) tidak mengancam AS kecuali ketika AS ikut campur tangan melawan mereka (seperti di Lebanon tahun 1982). Lebih lagi, terorisme Palestina bukanlah kekerasan yang secara acak dilancarkan kepada Israel dan Barat; melainkan sebuah respon atas kekerasan berkepanjangan Israel yang menduduki Gaza dan Tepi Barat.”
“Dukungan AS kepada Israel bukanlah satu-satunya sumber terorisme anti-Amerika, namun inilah [sumber] yang terpenting, dan [dukungan] ini membuat upaya memenangkan perang melawan terorisme menjadi lebih sulit. …Washington tidak akan mengkhawatirkan Iran, Partai Baath Irak, atau Syria jika saja AS tidak sedemikian terikat dengan Israel.”
Obama juga menyebut akan membela Israel dari ancaman Teheran. Iran dianggap mengancam keselamatan Israel dengan alasan Iran sedang berupaya membuat senjata nuklir. Terkait hal ini, Mearsheimer dan Walt menyatakan,
“Bahkan bila negara-negara itu memiliki senjata nuklir—tentu saja hal ini tidak diinginkan—mereka bukanlah ancaman strategis bagi AS. …Lebih jauh lagi, hubungan AS dengan Israel sesungguhnya membuat AS sulit menghadapi negara-negara itu. Senjata nuklir Israel menjadi alasan mengapa sebagian tetangga Israel ingin memiliki senjata nuklir dan ancaman AS terhadap negara-negara itu berkaitan dengan ‘perubahan rezim’, justru meningkatkan keinginan itu.[5]
kesimpulan
Meskipun masa pemerintahan Obama baru berjalan delapan bulan dan masih mungkin akan terjadi perubahan, namun situasi sementara ini menunjukkan bahwa harapan besar akan adanya perubahan (change) sebagaimana semboyan Obama selama ini telah menemui kenyataan pahit. Faktor citra dan asumsi, serta kecenderungan birokrasi politik luar negeri AS yang untuk mempertahankan status quo, telah membuat upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina berjalan di tempat.
Dari pembahasan di atas, jelaslah bahwa kebijakan luar negeri AS selama ini malah merugikan kepentingan nasional AS. Selain itu, dalam konteks ini kebijakan luar negeri AS terhadap Israel sama sekali tidak bisa disebut ‘mempertahankan pengendalian suatu negara terhadap negara lain.’ Malah sebaliknya, Israel yang terus-menerus mampu mengendalikan AS.
Daftar Pustaka :
http://birulangit.net/kabar-dunia/kabar-dunia/serangan-ke-jalur-gaza-lupakan-berharap-kepada-obama.html diakses 01-01-2010.
http://www.commongroundnews.org/ diakses 01-01-2010.
http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/09/26 / diakses 01-01-2010.
http://www.gmnisurabaya.org/potret-konflik-di-palestina/ diakses 01-01-2010



[2] http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/09/26 / diakses 01-01-2010.

[3] http://www.gmnisurabaya.org/potret-konflik-di-palestina/ diakses 01-01-2010.

[5] http://www.commongroundnews.org/ diakses 01-01-2010

No comments:

Post a Comment

silahkan anda berkomentar namun dengan tidak melakukan spam