Tuesday, December 14, 2010

Pantaskah Koruptor itu Dihukum Mati ?


Oleh: Ach. Juhairi Dan Moh Abu Bakar/Abim Pribumi
Jum’at, 22 Oktober 2010
            Prilaku korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan bangsa dan negara, baik secara materil maupun non-materil. Korupsi materil terkait dengan pengambilan penyalahgunaan keuangan dan fasilitas negara secara tidak sah untuk kepentingan pribadi atau golongan. Sedangkan korupsi non-materil terkait dengan tindakan profesionalitas pejabat negara dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tindakan korupsi ini juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena memang yang dirugikan dari tindakan korupsi adalah manusia secara umum. Dalam kehidupan bernegara, mereka dikenal dengan sebutan rakyat.
            Menurut Kartini Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[1]
            Di indonesia tindakan korupsi telah membudaya. Hampir setiap pergantian kepemimpinan, tugas utama bagi seorang presiden di negeri ini tidak terlepas dari segera diakukannya pemberantasan korupsi. Namun sampai hari ini, persoalan korupsi ini belum juga terselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya tindakan menyalahgunakan wewenang ini ternyata juga dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri yang semestinya menjadi aktor utama dalam pengakan hukum. Misalnya, dalam kasus jaksa Urip Tri Gunawan (ketua tim penyelidikan kasus BLBI) yang ditangkap oleh KPK pada awal Pebruari 2008 saat menerima suap sebesar Rp. 6 Milyar.
            Kondisi tersebut semakin diperparah oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp. 100 Milyar dengan perincian sebagai berikut:
a.    Sebesar Rp. 68,5 Milyar digunakan untuk membiayai bantuan hukum bagi mantan gubernur Bank Indonesia (BI), mantan direksi BI, dan mantan Deputi Gubernur BI yang terlibat dalam pengucuran Dana Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI) dan kredit ekspor.
b.    Sisanya Rp. 31,5 Milyar disalurkan ke Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan untuk penyelesaian kasus BLBI dan pembahasan sejumlah RUU termasuk perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.[2]
Kasus-kasus korupsi di atas merupakan sedikit dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia yang sebenarnya tidak hanya terjadi di pusat, akan tetapi telah menyebar ke seluruh nusantara, sampai di tingkat RT/RW sekalipun. Bahkan benar adanya, jika Indonesia termasuk negara terkorup di dunia.
Hasil survei Transparency International (TI) menetapkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2007 sebesar 2,3 atau turun 0,1 jika dibandingkan tahun 2006 sebesar 2,4. IPK Indonesia lebih buruk daripada tahun 2006. Indonesia berada diurutan 143 dari 180 negara yang diamati lembaga berbasis di Berli, Jerman. Negara dengan tingkat korupsi tertinggi jika indeksnya mendekati nol, dan sebaliknya semakin bersih apabila mendekati angka 10. Nilai IPK tersebut memasukkan Indonesia kedalam daftar negara yang dipersepsikan terkorup di dunia berasama 71 negara berindeks IPK di bawah 3.[3]
Data-data faktual di atas mungkin masih bisa dipertanyakan kebenarannya, namun yang pasti kerugian dari tindakan korupsi ini telah menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, khususnya dalam bidang ekonomi. Uang negara yang begitu besar jumlahnya seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagai salah satu perwujudan HAM, tetapi dengan munculnya para koruptor, mereka terus hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan ekonomi yang berkepanjangan yang seringkali berujung pada kematian. Pendek kata, koruptur telah melakukan pembunuhan massal terhadap manusia (rakyat) dan kehidupan generasinya.
Oleh sebab itu, terkait demi perwujudan HAM, ditegakkannya hukuman mati bagi para koruptur bukan hanya pantas dilakukan, tetapi memang seharusnya dilaksanakan. Karena pada dasarnya mereka tidak beda jauh dengan aktor-aktor pelanggar HAM dalam masa-masa perang ataupun konflik yang seringkali dituntut untuk dihukum mati oleh masyarakat internasional.


[1]KartiniKartono, 1983,Pathologi Sosial, dalam Erika Revida, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, di: http://library.usu.ac.id/download/fisip/fisip-erika1.pdf, diakses 22 Oktober 2010, hal. 22
[2]Soepriyatno, 2008, Nasionalisme dan Kebangkitan Ekonomi, Jakarta: INSIDe Press, hal. 183-184
[3]Ibd, hal. 187
Read More..

Monday, December 13, 2010

PEMBANGUNAN DAN KEAMANAN MASYARAKAT PERBATASAN


Oleh : Moh Abu Bakar/Abim Pribumi (06260140)

A.PENDAHULUAN

Belakangan ini Kalimantan Barat memiliki 5 kabupaten yang berbatasan dengan Sarawak baik melalui jalan darat, air dan udara. Kelima Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Bengkayang, Sintang dan Sambas. Kawasan perbatasan antar negara ini merupakan kawasan yang sangat strategis, sebagai titik pertumbuhan dan perkembangan perekonomian regional maupun nasional. Melalui kawasan ini kegiatan ekonomi antar negara dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah yang tentunya dapat meningkatkan aktivitas dan produktivitas masyarakat, pendapatan masyarakat serta kesejahteraan masyarakat.
Adapun kenyataanya, implementasi pembangunan sumber daya alam dan sumber daya manusia di kawasan perbatasan Kalimantan Barat terlihat masih sangat lambat, sehingga kawasan yang sepatutnya menjadi potensi nasional, pada saat ini malah sering terjadi masalah sosial yang bersifat nasional, transnational bahkan international dengan munculnya isu-isu seperti penyelundupan, illegal logging, human trafficking, illegal fishing, illegal trading, deforestasi dan degradasi hutan, ketidakseimbangan pendapatan dan konflik sosial.
Salah satu penyebab terpinggirnya masyarakat dan pembangunan di perbatasan karena masih adanya anggapan pada masa lampau bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang “menakutkan” tak boleh “disentuh” sehingga perlu dipantau secara lebih ketat karena dikhawatirkan akan menjadi sarang persembunyian para perampok, teroris, pemberontak dan penyelundup, sehingga pandangan tersebut memicu kepada arah berkembangnya paradigma pembangunan di kawasan ini yang lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan (security approach) daripada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
Sehubungan dengan itu sebagai implikasi dari berbagai masalah sosial yang terjadi di kawasan perbatasan membuat penduduk di kawasan perbatasan memiliki loyaliti yang sangat lemah kepada negaranya sendiri bahkan secara etnis, emosi, dan ekonomi, mereka seringkali merasakan bagian dari yang lain yakni sebaga entitas bukan-negara. Semua ini karena mereka memiliki suatu pandangan bahwa mereka memiliki hubungan sosial ekonomi yang lebih rapat dengan masyarakat di kawasan perbatasan dibandingkan dengan pusat pemerintahan yang jauh dari kawasan mereka, hal inilah yang menghasilkan perasaaan lemah dalam hal rasa memiliki (feel of belonging) dan penghayatan identitas nasional (internalization of national identity).
Selain itu masyarakat di perbatasan juga memiliki kecenderungan untuk memelihara hubungan ekonomi transnasional walaupun mereka harus melanggar hukum nasional, dalam banyak kejadian, mereka hanya memiliki sedikit pilihan karena pemerintah gagal mengintegrasikan kawasan perbatasan ke dalam ekonomi nasional yang lebih besar (Baud and Schendel 1997:229).
Masyarakat perbatasan kemudian memperlihatkan kecenderungan untuk menghindari, mengelak atau melawan hukum yang mereka lihat sebagai campur tangan atas kepentingan mereka dan cara hidup mereka yang khas dan unik. Hukum kaku yang mengatur interaksi di perbatasan ini juga akan mengakibatkan konflik yang luas dan serta mengabaikan hukum (Martinez 1994b:12).
Lebih jauh, perasaan ‘lain’ kepada negara seperti yang dialami oleh masyarakat perbatasan meningkat karena kepentingan mereka sangat berbeda bahkan kadang-kala bertentangan dengan kepentingan nasional. Mereka melihat diri mereka sebagai kelompok yang terpinggirkan dari kesatuan nasional yang besar, bahkan banyak masyarakat perbatasan seringkali merasakan bahwa pusat politik yang jauh, tidak mengerti dinamika keunikan dan kehidupan khas mereka di perbatasan.
Meskipun demikian ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan, faktor ekonomi ternyata belum cukup untuk melaksanakan pembangunan, artinya faktor ekonomi hendaknya dapat diikuti oleh faktor non-ekonomi seperti faktor sosial- budaya, politik, psikologi serta pertahanan dan keamanan yang sama pentingnya dengan faktor ekonomi. Selanjutnya faktor keamanan juga mesti mendapat perhatian yang besar dalam pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan sosial.Keamanan yang dimaksud disini adalah keamanan bagi manusia berupa adanya kepastian dan jaminan mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, karena keamanan manusia tersebut merupakan pra- syarat untuk mencapai tujuan akhir pembangunan yakni mencapai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat serta meningkatkan stabilitas pertahanan dan keamaman nasional.
Konsep keamanan yang ada selama ini telah berkembang sejak pasca perang dingin dan berlanjut pada era globalisasi dewasa ini. Konsep diperluas tidak hanya menekankan aspek militer tetapi berkembang mengarah kepada berbagai aspek seperti pelestarian lingkungan, hak asasi manusia, perluasan perdagangan dan investasi pemberantasan kejahatan transnational dan perdagangan barang terlarang. Oleh karena itu konsep keamanan perbatasan ini perlu dipahami tidak hanya berhubungan dengan konsep pertahanan darat dan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga mencakup ancaman non- militer seperti pelestarian lingkungan, jalur perdagangan dan pemberdayaan manusia. Oleh karena itu perbatasan darat maupun laut memberikan pengaruh yang kuat kepada aspek keamanan, strategis dan kerjasama regional.
Menjaga keutuhan pertahanan dan keamanan kawasan perbatasan dari ancaman adalah menjadi tanggung jawab nasional bahkan secara international. Dalam hal ini menurut penulis reformasi dalam sektor pertahanan dan keamanan adalah penting, kerana berkaitan dengan tuntutan masyarakat mengenai transparansi, dan pertanggungjawaban institusi negara. Pemerintah harus mampu memberikan rasa aman, kepastian dan jaminan dalam mensosialisasikan program pemberdayaan masyarakat serta memberikan pelayanan masyarakat, sehingga masyarakat dapat terhindar dari ancaman bersifat internal baik berupa kemiskinan, kebodohan dan wabah penyakit maupun ancaman external seperti kejahatan, teror maupun kekerasan.
Meskipun pembangunan perbatasan sudah bersifat otonom dengan adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola kawasan mereka namun, pelaksanaan pembangunan masih jauh dari yang diharapkan dan masih kurang tepat sasaran. Masyarakat lokal (sekitar kawasan perbatasan) masih dalam keadaan yang miskin, marginal dan jauh dari hasil pembangunan karena yang mengecap hasil pembangunan dan terlibat langsung dalam pembangunan perbatasan adalah masyarakat pendatang baik yang datang dari Pontianak dan juga dari daerah lain (Jawa, Sumatera dan daerah lainnya). Orientasi kebijakan pembangunan di perbatasan selama ini lebih bersifat pembangunan untuk kawasan perbatasan bukan pembangunan untuk masyarakat perbatasan, artinya pembangunan lebih banyak terfokus kepada pembangunan ekonomi dengan upaya untuk mengelola sumber daya alam yang ada dan kurang menekankan pembangunan sumber daya manusianya, sehingga masyarakat lokal yang berada disekitar kawasan perbatasan tetap menjadi penonton tidak terlibat secara aktif dan represantativ dalam proses implementasi pembangunan , maka mereka masih tetap miskin, marginal dan kurang terjamin dan diberdayakan kehidupannya. Hai ini terjadi karena masih minimnya pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki sehingga mereka kurang mampu memiliki daya saing dan produktivitas yang tinggi. Maka perlu dikaji lebih mendalam bagaimana strategi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di perbatasan sehingga memberikan implikasi konstruktif terhadap keamanan masyarakat, khususnya masyarakat lokal atau masyarakat yang menetap disekitar kawasan perbatasan.

B. Pembahasan
1. Konsep Keamanan Manusia Sen (1998) menyatakan keamanan manusia disini maksudnya berhubungan dengan berkurangnya atau mungkin hilangnya ketidakamanan yang mengganggu kehidupan manusia “ human security is concerned with reducing and when possible-removing the insecurities that plague human lives”.
Selain itu makna keamanan dapat dipahami sebagai freedom from fear yang memberi makna lebih kepada keamanan nasional, yakni tidak adanya ancaman terhadap kedaulatan negara. Sedangkan makna freedom from want lebih kepada pertumbuhan ekonomi atau pembangunan untuk memenuhi keperluan asas hidup manusia. Dalam pernyataan ini penulis tambahkan kepada freedom from dehumanization yakni adanya kebebasan dari perlakuan yang tidak berprikemanusiaan atau dehumanisasi serta adanya jaminan dalam memenuhi keperluan hidup mereka, kepastian untuk menjalani identitas budaya kelompok suatu atau etnik serta kebebasan dalam mengekspresikannya. Karena kebanyakan konflik dan kekerasan yang terjadi disebabkan oleh rendahnya pemahaman dan penghayatan keanekaragaman yang ada, perbedaan agama, etnik, dan juga gender.
Rendahnya pemahaman dan penghayatan perbedaan dan keanekaragaman ini kemudian memicu kepada tindakan yang desktruktif seperti deskriminasi, prasangka dan stereotype bahkan berkembang menjadi konflik kekerasan seperti penghapusan suatu etnik (ethnic cleansing). Maka tujuan utama keamanan masyarakat adalah bebas dari ketakutan, keinginan, serta bebas untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat, serta bebas untuk mengekspresikan identitas budaya yang ada.
Dengan demikian dalam kajian ini konsep keamanan yang penulis maksud adalah development of community security (pembangunan keamanan masyarakat). Maksudnya dalam proses pelaksanaan pembangunan baik itu pembangunan ekonomi maupun sosial hendaknya dapat menjadikan faktor keamanan manusia (human security) sebagai prioritas, oleh karena itu keamanan masyarakat perlu dikaitkan dengan pembangunan masyarakat karena keamanan masyarakat merupakan pra-syarat tercapainya matlamat pembangunan masyarakat yakni mencapai kesejahteraan masyarakat dengan menekankan kepada aspek perlindungan, partisipasi dan pemberdayaan.
Searah dengan penjelasan diatas konsep community security adalah bagian daripada human security sebagaimana dijelaskan Human Development Report (UNDP 1994 dalam Shahrbanou Tadjbakhs & Anuradha M. Chenoy 2007:16)
Community security, where the threat is the integrity of cultural diversity, requires security from oppressive traditional practices, threating women harshly, discriminating against ethnic or indigenous groups and refugees, group rebellion and armed conflicts.
Keamanan masyarakat dipahami sebagai adanya ancaman dalam keanekaragaman budaya yang menuntut adanya keamanan daripada penindasan, kekerasan perempuan, deskriminasi etnik, orang asli dan para pelarian, kelompok pemberontak serta konflik senjata.. Keamanan masyarakat juga dipahami bagaimana menjaga dan menjamin terselenggaranya keamanan hak asasi manusia dan kelompok minoritas dari ancaman hilangnya kearifan lokal dan nilai-nilai murni identitas budaya masyarakat terutama bagi masyarakat yang multikultur dan multietnik.
Pembangunan keamanan masyarakat ini mencakup bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia serta memberikan jaminan keberlanjutan akses sosial ekonomi masyarakat serta keperluan dasar manusia dengan meningkatkan modal ekonomi (economic capital), modal manusia (human capital), modal kemasyarakatan (societal capital ) dan modal keamanan/jaminan (security capital) yang dilakukan secara terpadu, berkelanjutan dan berkesinambungan.
2. Strategi Pemerintah dalam Meningkatkan Keamanan Masyarakat.
Seperti yang dijelaskan diatas ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi biasanya lebih menekankan kepada perubahan indikator ekonomi seperti pelaksanaan perubahan pada sistem pertanian, pembangunan infrastruktural, pasar dan sebagainya. Sedangkan pembangunan ekonomi dapat meliputi masalah perubahan struktur masyarakat, sikap dan perilaku, nilai, kemajuan teknologi, penyempurnaan sistem administrasi pemerintahan dan sebagainya dimana pada dasarnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tadi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, pembangunan ekonomi ternyata berkaitan erat dengan pembangunan sosial dan manusia, sehingga dapat dipahami bahwa penyebab gagalnya suatu pembangunan, salah satunya adalah karena tidak adanya kesinambungan dan keberlanjutan hubungan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial, sebagaimana yang dijelaskan dalam diagram berikut:
Diagram 1. Model Pembangunan Konvensional dan Pembangunan Sosial
Dengan mengadakan perawatan masyarakat dan pengembangan manusia maka pertumbuhan ekonomi akan dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan. Dan apabila pertumbuhan ekonomi ini diibaratkan sebagai kepala manusia maka pengembangan manusia dan perawatan masyarakat diibaratkan kaki yang menopang kepala tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini untuk membangun dan memberdayakan kawasan dan masyarakat perbatasan , pemerintah perlu mengkombinasikan pendekatan pembangunan konvensional dengan pembangunan sosial dan lebih lanjut lagi pembangunan yang mengutamakan masyarakat sebagai aktor pembangunan itu sendiri, sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang mandiri dan produktif, yang penulis maksud dalam pendekatan keamanan manusia (human security) .
Menurut penulis upaya yang tepat untuk menciptakan keamanan masyarakat adalah dengan menggunakan pendekatan pendidikan dan pengajaran yang tidak hanya bersifat formal bahkan juga non-formal. Pendidikan ini sangat penting terutama dalam upaya mewujudkan kesamarataan hak pendidikan sebagai dasar kesamarataan elemen pembangunan manusia, seperti kesamarataan pendapatan, kesehatan, pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih baik. Pendidikan ini dapat menghasilkan dan meningkatkan keterampilan, pengetahuan yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat. Pendidikan juga berhubungan rapat dengan demokrasi karena pendidikan mengajarkan kesadaran masyarakat keatas hak-hak asasi mereka baik di bidang ekonomi, social, politik dan juga budaya.
Searah dengan penjelasan tersebut aspek pendidikan adalah amat penting untuk ditingkatkan sebagai proses untuk meningkatkan sumber daya manusia dan apabila sumber daya manusia ini telah cukup mendapatkan keterampilan dan pengetahuan maka mereka dapat mengelola sumber daya alam yang ada dan kemudian dapat membantu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi mereka. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan memiliki peran yang signifikan tidak hanya sebagai proses pengalihan nilai-nilai dan pengetahuan (transformation of knowledge) dari pendidik kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan kesadaran manusia agar memiliki kemampuan kritis, menghilangkan rasa ketakutan terhadap sesuatu serta meningkatkan kemampuan kreatifitas masyarakat. 

C. Kesimpulan
Dengan demikian, berdasarkan paradigma keamanan manusia, maka pada umumnya pembangunan dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan dan keamanan masyarakat, dengan adanya keseimbangan fokus pembangunan baik pembangunan ekonomi dan juga pembangunan sumber daya manusia yang ada sebagai objek dan aktor pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini ada dua komponen utama dalam keamanan manusia (1) aman dari ancaman (2) perlindungan dari ancaman.
Fokus utama keamanan manusia tidak hanya berupa tindakan untuk mengatasi ancaman, namun juga berupa tindakan pencegahan terjadinya kembali ancaman tersebut dengan memberikan perlindungan dan jaminan kehidupan dan kesehateraan masyarakat yang berkelanjutan, yang tentunya dimainkan oleh peranan pemerintah dalam membentuk jaringan keamanan manusia baik berupa jaringan sosial maupun ekonomi serta membentuk payung hukum untuk melindungi kepastian berlanjutnya keamanan manusia tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Edi Soeharto. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat. Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.Bandung: Refika Aditama
Eilenberg, Michael. 2005. “Borderland Strategies – Fluid Borders and Flexible
Identities: A Case of the Iban in West Kalimantan, Indonesia.” Master’s thesis,
Department of Anthropology and Ethnography.Denmark: University of Aarhus.
Haq, Mahbub ul.1995. Reflections on Human Development. New York: Oxford
University Press.
Hilmi Safi’i (2007) Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Perspektif
Teoritik. Yogjakarta:Averroes Pres
Martinez, Oscar J. 1994b. “The Dynamics of Border Interaction: New Approaches to
Border Analysis.” In Global Boundaries, World Boundaries: Volume 1., ed. Clive H. Schofield, pp 1-15. London: Routledge.
Martinussen, J. 1997. Society, State and Market: A Guide to Competing Theories of
Development. London & New York;: zed Books
Page,John. Three Isues in Security and Development dalam Robert Picciotto & Rachel
Weaving (eds).2006. Security and Development in Investing in Peace and Prosperity. London: Routledge
Sen,Amartya.1999. Development as freedom New York : Alfred A. Knorf
----------------. 1997. On economic inequality. Oxford, UK : Oxford University Press
----------------. 2006. Identity and violence the illusion of destiny. London : Allen Lane
Sfeir, Alfredo- Younis. Violation of Human Rights is a Threat to Human Security. dalam
Robert Picciotto & Rachel Weaving (eds).2006. Security and Development in Investing in Peace and Prosperity. London: Routledge
Steward, Francis. 2006 Development and Security dalam dalam Robert Picciotto &
Rachel Weaving (eds).2006. Security and Development in Investing in Peace and Prosperity. London: Routledge
Tadjbakhsh, Shahrbanou tadjbakhsh & M.Chenoy, Anuradha.2007. Human Security
Concepts and Implications . London: Routledge
United Nation Development Program (UNDP). 1994. Redefining Security the Human
Dimension, dalam Current History v 94. 229-236
Jurnal
Baud, Michiel, and Willem van Schendel. 1997. “Toward a Comparative History of
Borderlands.” Journal of World History 8: 211-242
Martinez, Oscar J. 1994b. “The Dynamics of Border Interaction: New Approaches to
Border Analysis.” In Global Boundaries, World Boundaries: Volume 1. ed. CliveH. Schofield, pp 1-15. London: Routledge.
Riwanto Tirtosudarmo .2002. Kalimantan Barat sebagai Daerah Perbatasan: Sebuah
Perspektif Demografi-Politik Jurnal Antropologi Indonesia 67. Volume Khusus
Robert Siburian. 2002. “Entikong: Daerah tanpa Krisis Ekonomi di Perbatasan
Kalimantan Barat-Sarawak.” Antropologi Indonesia 67: 87-93
Wadley, R.L. 1998. “The Road to Change in the Kapuas Hulu Borderlands: Jalan
Lintas Utara.” Borneo Research Bulletin 29: 71-94.
---------------------. 2004. Punitive Expeditions and Divine Revenge: Oral and Colonial
Histories of Rebellion and Pacification in Western Borneo, 1886-1902.”
Ethnohistory 51: 609-636.
Wadley, R. L., and Eilenberg,M. 2005. “Autonomy, Identity and “Illegal”
Logging in the Borderland of West Kalimantan, Indonesia.” The Asia Pacific
Journal of Anthropology 6: 19-34.
Read More..

ANALISIS KONFLIK ISRAEL PALESTINA: SEBUAH PENJELAJAHAN DIMENSI POLITIK DAN TEOLOGIS


Oleh : Moh Abu Bakar/Abim Pribumi (06260140)

Abstraksi
Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai “pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan” bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Rumusan masalah
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai “pasukan jihad”.

Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah “jihad” sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah,[2] sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya “fakta lain“ di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.

Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.[3] Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap “dimentahkan“ Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai “kampung halaman Islam”, dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.

Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai “…a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.[4] Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.

Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap “tanah yang dijanjikan” sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan mewarnai konflik? dan atau, aspek mana yang lebih dulu memicu konfli. Tulisan yang dituangkan pada makalah ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.

B. Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis
Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman,[5] ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman.[6] Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.

Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.[7]
Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan: pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.[8]
Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam.[9] Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return Israel: “setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel.[10] Alih-alih, al Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah “bani Israel” kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.
Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap,[11] sebagai salah satu kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata Sion yang “legitimasinya” dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi.[12] Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya.[13] Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.[14]
Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.

C. Mengurai Konflik Israel-Palestina
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam “derivasinya”. Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann Islam.[15] Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah “Yahudi” dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang “bersifat jelek”.

Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.

Hampir mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik untuk membenci Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan keduanya cukup baik sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode pertengahan. Dalam literatur Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai orang yang pernah menjadi sekretaris nabi khususnya untuk keperluan korespondensi luar negeri, bahkan nabi juga menunjukkan toleransinya kepada Yahudi dengan berpuasa pada saat mereka berpuasa.[16] Pada periode Islam di Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen bersama-sama membangun dan menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada Renaisance Eropa.[17]

Memang kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam. Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini – sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik.[18]

Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[19] Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.

Trias Kuncahyono mengutip Dershowitz[20] menuliskan, pembagian Jerusalem – menjadi bagian Israel dan bagian Palestina – sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.
Yahudi menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas.[21] Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: “bangsa tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa”.[22] Streotipe tentang Yahudi sebagai “bangsa yang terusir dari tanahnya” ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh para makhluknya.[23] Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga. Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.[24]
Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah.[25] Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan: Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos penciptaan Luria[26]).
Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, kronologi konflik Israel-Palestina dapat dipahami sebagaimana penjelasan berikut:

Kronologi dan Anatomi Konflik Israel-Palestina
Tahun, Pristiwa, Deskripsi
- 1917  Deklarasi Balfour       
2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina.
- 1922  Mandat Palestina       
- 1936-1939     Revolusi Arab
Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh
-1947   Rencana pembagian wilayah oleh PBB         
29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat
-1948   Deklarasi Negara Israel          
Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya.
-1949   Perseteujuan gencatan senjata
3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB
-1956   Perang Suez   
29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel.
-1964   Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri        
Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel.
-1967   Perang enam hari        
Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit.
Resolusi Khartoum    
Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.

-1968   Palestina menuntut pembekuan Israel
Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.

-1970   War of Attrition         
Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition.
-1973   Perang Yom Kippur   
Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi.
-1978   Kesepakatan Camp David     
Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.
-1982   Perang Libanon          
Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.
-1990-1991      Perang Teluk  
-1993   Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel         
13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.

-1996   Kerusuhan teromongan al Aqsha       
Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.
-1997   Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat

-1998   Perjanjian Wye River 
Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.
-2000   KTT Camp David      
-2002   Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina
-2004   Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya
-2005   Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden     
9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004
Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas
Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat

-2006   Hamas memenangkan Pemilu
Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun
-2008   Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan
November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.
26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.
(Disadur dari beberapa sumber)

D. Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis
Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik yang kemudian meningkat menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut.[27] Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk “bertarung” melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya.

Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.

Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan “kolektif” hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru.[28] Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).[29]

Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif (cooperation), akan tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri.[30] Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya sifat konflik.[31] Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.[32]

Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan “tanah yang dijanjikan”, sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.

E. Penutup
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan “tangan-tangan politik”.
Dafta Pustaka
A. Oberschall. 1978. “Theories of Social Conflict”. Annual Review of Sociology. Vol. 4. Page:291-315 Ralph Scoenman. 2007. “The Hidden Histroy of Zionism”. Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss.
Alwi Shihab. 1999. Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan
Derk Prince. 1982. “The Last World on the Midle East”. Terjemah: Timur Tengah, Ungkapan Nubuat. Malang: Gandum Mas
Hamid Basayib. 1998. “Perspektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi”, dalam: Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Harun Nasution. 1986. Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Irshad Mandji. 2008. “The Truble with Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change”. Terjemah: Herlina Permata Sari. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher


Irwansyah. 2004. “Perkembangan Pemikiran tentang Kerukunan Hidup Umat Beragama: Suatu Analisis”, dalam: H. M. Ridwan Lubis, dkk (ed). Konsep Kerukunan Hidup Umat Beragama, Kumpulan Karya dalam Konteks Pluralitas Agama dan Budaya. Medan: LPKUB Perwakilan Sumut


2008. “Teologi Islam tentang Agama-agama: Suatu Kajian Konsep ad Din dalam al Quriān. ” Buletin Multikultural Edisi IV/November 2008, hal:15-23. lihat juga:
James Turner Johnson. 1997 “The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Bandung: Mizan
John Obert Voll. 1997. “Islam Continuity and Change in the Modern World”. Terjemah: Ajat Sudrajat. Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan Dunia Modern. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
K. J. Holsti. 1988. Politik Nasional, Kerangka untuk Analisis. Jakarta: Rajawali Perss
Karen Armstong. 2000. “The Battle of God”. Terjemah: Satrio Wahono, dkk. Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Jakarta: Serambi, hlm: 231
2003. “Islam: A Short History”. Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela
Meutia Ghani. 2007. “Analisis Sosial Relasi Etno-Religius di Indonesia”. Buletin: Kebebasan. No: IV/2007, hlm:2-5
Muhammad Husein Haekal. 1982. Sejarah Hidup Muhammad. (Terjemah: Ali Audah). Jakarta: Tintamas
Osman Raliby. 1982. Kamus Internasional. Jakarta: Bulan Bintang
Philips K. Hitti. 2002. History of the Arabs. (terjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi. S. Riyadi. Jakarta: Serambi
Rohadi Abdul Fatah. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Titian Kencana Mandiri
Safuan al Fandi. tt. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang Islam. Solo: Sendang Ilmu
Soerjono Soekanto. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss
Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas
Read More..